Oleh : Toni Pratama
Hati mama seluas samudera. Tak bertepi membentang menyelimuti duniaku. Namun inilah tiga di antara ribuan kisah tentang kebesaran hati mama:
"Kamu mau sekolah ke Jakarta, Nak ?"
"Iya, Ma! Boleh ?"
Mama tersenyum dan mengganguk halus. Inilah kebesaran hati mama yang pertama. Waktu itu tahun 1993 dan aku akan segera menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat menengahku (SMP). Beberapa temanku berencana melanjutkan sekolah lanjutan atas ke luar kota. Ada yang bakal ke Jakarta, Palembang, Bandung, dan kota besar lainnya. Bahkan ada yang akan sekolah sampai ke Amerika.
Ekonomi keluargaku sederhana saja. Mama membuat beraneka ragam kue tradisional Bangka untuk dijual Aku membantunya setiap hari. Membersihkan perkakas, mengambil air, hingga ikut menjajakan kue. Untuk menyiapkan biaya sekolahku yang tentulah tidak sedikit, mama harus menambah varian kue yang dibuatnya. Yang biasanya mama bangun pukul 4 pagi, sekarang harus lebih awal lagi. Mama juga mulai membuat abon ikan yang cukup rumit pembuatannya. Butuh duduk berjam-jam mengaduk adonan dengan hawa panas tungku kayu api hingga abon berwarna kemerahan dan wangi semerbak. Mama terus berjuang demi masa depanku yang lebih baik.
Masih terbayang pagi itu di Bandara Depati Amir, mama mengantarku untuk pertama kalinya merantau demi mengejar cita-cita. Wajahnya sendu namun tetap tersenyum. Aku pamit sambil berlinang air mata. Mama melambaikan tangan hingga aku masuk ke ruang tunggu. Hatiku terkoyak oleh keharuan. Air mataku tak terbendung. Terbayang olehku mama kini harus menjalani hari tanpa bantuanku lagi. Mama harus mengambil air sendiri. Mama harus membuat kue dan mencuci perkakas kotor sendiri. Mama harus keliling kampung menjajakan kue sendiri. Semua akan serba sendirian.
Kebesaran hati mama yang pertama ini akhirnya menjadikanku hari ini dapat menjadi pelayan masyarakat di instansi pemerintah daerahku. Bekal ilmu yang kupelajari selama di pendidikan sarjana hingga magister, dapat kuabdikan untuk turut serta dalam membangun daerah dan membantu orang banyak. Karirku saat ini tidak terlepas dari pengorbanan dan air mata mama. Terimakasih Mama atas kebesaran hatimu!
"Kamu yakin tidak akan mencicipi makanan hewani lagi, Nak?"
"Iya, Ma! Boleh?"
Mama tersenyum dan menggangguk halus. Inilah kebesaran hati mama yang kedua. Waktu itu tahun 1999. Aku pulang liburan semesteran dari perkuliahan. Seperti biasanya, mama sudah menyiapkan beraneka ragam makanan untuk memenuhi giziku yang memprihatinkan selama di perantauan. Dengan tinggi badan 176 cm, berat badanku hanya 55 kg. Tipis bagai cicak terjepit daun pintu. Namun, aku bertekad memulai hidupku dengan menerapkan pola makan bervegetarian. Tidak menikmati segala jenis daging, unggas, dan ikan.
Mama tentu awalnya cukup khawatir. Bagaimana memenuhi kebutuhan protein, vitamin, dan mineral untuk otak dan badanku? Untunglah aku bisa meyakinkan mama karena aku sudah mengikuti beberapa kali seminar tentang pola makan vegetarian yang diselenggarakan oleh International Vegetarian Society. Ada 1001 alasan mengapa hidup bervegetarian adalah cara hidup yang menyenangkan dan sehat. Mama pun memancarkan kebesaran hatinya untuk mendukungku. Semua masakan beliau ganti dengan protein nabati. Dan tetap enak, karena ada kasih sayang mama di dalam hidangan itu. Selama liburan semesteran, aku bisa menaikkan berat badan hingga 5 kg.
Aku bervegetarian hingga detik ini dan akan terus sampai akhir hayatku. Sebuah pola makan yang menjadikanku tampak lebih bugar dan tentu saja bonusnya adalah awet muda. Siapa bilang bervegetarian akan menjadi loyo dan lemas tak bergairah? Siapa bilang bervegetarian akan menjadi linglung dan lemot otaknya? Siapa juga yang bilang bervegetarian tidak bisa tumbuh kembang dan kekar? Asal kebutuhan gizi terpenuhi dengan baik dan benar, semua anggapan itu adalah mitos.
Terimakasih mama atas kebesaran hati mama yang kedua ini. Raga ini berasal dari mama, akan kujaga sebaik-baiknya.
"Kamu akan menikahi pilihanmu, Nak?"
"Iya, Ma! Boleh?"
Mama tersenyum dan mengganguk halus. Inilah kebesaran hati mama yang ketiga. Waktu itu tahun 2006. Aku memilih akan menikahi perempuan pilihanku. Walaupun mama sempat memperkenalkan seorang gadis, putri dari sahabatnya dan notabene adalah bunga desa. Pilihan mama tidaklah salah, gadis itu cantik, terpelajar, dan berasal dari keluarga yang terhormat. Namun, hatiku lebih memilih seorang gadis yang sederhana, keibuan, dan memiliki kesabaran seperti ibuku. Dia sosok yang luar biasa di mata dan hatiku.
Dan sekali lagi, mama memancarkan kebesaran hatinya yang cemerlang bagai bintang dan rembulan. Aku pun menikah dengan pujaan hatiku pada awal Maret tahun itu. Dan saat ini aku sudah dikaruniahi dua orang putri yang cantik. Perjalanan rumah tangga kami pun sudah melewati 17 tahun. Segala tantangan dan lika-liku berkeluarga sudah dinikmati bersama. Sejauh ini kami mampu mempertahan cinta kami. Semoga akan tetap bersama hingga maut memisahkan nantinya. Terima kasih mama atas kebesaran hatimu yang telah merestui kisah kasih kami berdua.
Semoga mama selalu tersenyum bahagia di alam sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H