Dharma Habangka (bagian 3-tamat)
Rendy memutuskan untuk tidak meneruskan kuliahnya di Jakarta. Ia harus tetap bersama keluarganya di Toboali. Bersama-sama memulihkan luka. Ia menyadari bahwa sekarang tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga ada di pundaknya. Kedua adiknya masih memerlukan biaya pendidikan. Ibu sering jatuh sakit sejak kejadian yang menimpa ayah dan Arif. Sebagai anak sulung, ia harus menjadi garda terdepan, tiang utama penopang keluarga.
"Ibu, Rendy akan membuka sebuah sanggar seni," kata Rendy memohon restu dari ibunya.
"Oh,ya? Apa pertimbangannya, Ren?" tanya ibu.
"Pertama, Rendy yakin dengan kemampuan seni yang telah Rendy kuasai selama ini. Kedua, di Toboali ini sanggar seni masih terbilang sedikit. Ini artinya peluang bisnis kita masih terbuka lebar. Lalu yang terakhir, beberapa teman Rendy siap membantu," jelas Rendy panjang lebar dengan nada percaya diri yang tinggi.
"Baiklah, Anakku. Ibu akan mendukungmu juga! Lakukanlah sesuai hati dan jiwamu! Pesan ibu hanya satu, selalu lakukan yang terbaik!" restu ibunya.
"Terima kasih, Ibu! Pesan ibu akan Rendy ingat!"
Merintis sebuah usaha sanggar seni tentulah tidak semudah membalik telapak tangan. Berbagai tantangan dan masalah datang silih berganti. Kekurangan modal, kekurangan sumber daya manusia, bahkan sekedar untuk tempat latihan pun masih numpang sana sini. Namun Rendy menyadari bahwa semua itu adalah proses yang harus dilalui. Tidak ada kesuksesan yang diraih dalam waktu semalam. Tekadnya yang kuat dan kedisiplian kinerjanya, Rendy menerobos semua hambatan yang ada. Ia bangkit bagaikan tunas baru yang menyongsong cakrawala.
"Sanggar siapa itu?"
"Itu lho, sanggar baru punyanya anak Almarhum Pak Jikrin."
"Ohhh...sanggar baru toh? Pantesan nggak pernah denger sebelumnya. Emangnya anak Pak Jikrin itu umur berapa?"