Dharma Habangka (bagian 2)
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rendy mendapati tubuh Arif, adik keduanya, terbujur kaku di depannya. Kaus pemberiannya tadi pagi yang bergambar panda telah berlumuran darah. Bang Deni dan anaknya juga terbaring di ranjang sampingnya, tidak bernyawa lagi. Sungguh di luar dugaan, ternyata kecelakan yang dialami keluarganya demikian parah hingga memakan korban jiwa.
Rendy diam membatu. Wajahnya pucat dan tangannya terus bergetar. Tidak ada sedikitpun suara yang bisa keluar dari kerongkongannya yang tercekat. Tatapan matanya kosong. Rendy shock, jiwanya terguncang hebat hingga tak mampu bersuara. Ia hanya mematung dan menatap tubuh adiknya dalam-dalam. Ia tidak percaya bahwa inilah yang terjadi.
"Ren... Rendy.... Ren," panggil Yadi sambil menepuk pelan pundaknya.
Rendy baru bereaksi setelah sadar dari kebekuannya.
"ARIFFFF.....! Ya Allah...! Yaaa... Allah! ARIFFF...!" Rendy histeris sambil dipeluk Yadi.
 Tangisan itu akhirnya pecah. Ia menangis meraung-raung sambil memanggil terus nama adik yang ia kasihi. Adik yang tadi pagi masih menyapanya dengan manis dan riang. Adik yang tadi pagi masih menyuguhkan dia teh hangat. Adik yang penuh perhatian dan baik hati. Adik yang sangat dicintainya.
"Istighfar, Ren! Istighfar! Semua sudah menjadi kehendak-Nya!" Yadi mencoba menenangkannya.
"Ayah? Ayah bagaimana? Mana ayah?" dalam kekalutannya, Rendy mencari keberadaan ayahnya.
"Ayah dirujuk ke Rumah Sakit Timah di Pangkal Pinang. Belum ada kabar terakhir kondisinya," jelas perawat.
"Yadi, kita susul ke Pangkal Pinang!" Rendy cepat memutuskan.