"Mamaku yang itu," bantah anaknya sambil menunjuk Atun.
       "Iya, itu mama juga, ini mama juga," Ana mencoba menjelaskannya.
       "Jadi mamaku ada dua? Horeeee....!" anak kecil itu senang-senang saja.
       "Iya, Sayang! Coba lihat apa yang mama bawa buat kamu," kata Ana sambil menyodorkan sebuah bungkusan besar.
       "Wahhh...! Boneka beruang! Adik ingin sekuat beruang nantinya, Ma! Terima kasih, Mama!" anaknya kegirangan mendapatkan hadiah. Dipeluknya boneka itu dan ditenteng ke sana kemari.
Sebutir air bening haru menetes di pelupuk matanya saat si anak memanggilnya "mama". Sebuah panggilan yang sudah lama ia nantikan. Air matanya semakin deras saat anak terkasihnya memeluknya dengan hangat. Sebuah kerinduan yang tuntas terbayarkan oleh kebahagiaan yang tak dapat diungkapkan dengan bahasa apa pun di dunia ini.
Sebenarnya, luka yang pernah menganga dulu tidak pernah sembuh sepenuhnya. Sakitnya membekas hingga dada terasa sesak. Kembali ke kota kecil itu bagai meniti jalan kenangan yang penuh genangan air mata. Namun inilah realita kehidupan. Segetir apa pun kenyataannya, harus tetap dijalani. Yang menjadi penyemangat hidupnya saat ini adalah melihat sang anak tumbuh dan berkembang menggapai masa depan yang lebih baik.
Sekembalinya, Ana mulai merintis usaha dengan mempraktekkan keterampilan yang dipelajarinya kemarin. Pagi-pagi sekali, ia membuat kue-kue jajanan dan dititipkannya di beberapa warung kopi yang ramai pengunjung setiap hari. Siang harinya, ia mengolah abon ikan dan mengambil upah jahitan dari beberapa langganan. Usahanya cukup membuahkan hasil. Dalam beberapa tahun pertama, Ana sudah dapat membeli motor dan beberapa perhiasan untuk investasinya di jangka panjang.
"Ana!" sebuah suara yang tidak asing memanggilnya.
Saat dia menoleh, orang yang pernah mengusirnya dulu berdiri di hadapannya.
"Iya, Bu! Apa kabar?" sapa Ana, menahan kepedihan hatinya yang seketika muncul lagi.