Hukuman mati atau pidana mati (bahasa Belanda: doodstraf) adalah praktik yang dilakukan suatu negara untuk membunuh seseorang terpidana sebagai hukuman atas suatu kejahatan yang telah dilakukannya. Dengan demikian, hukuman mati adalah hukuman pidana paling terberat karena terpidana dihilangkan nyawanya. Sementara hukuman lainnya yang lebih ringan, seperti hukuman penjara, terpidana hanya dihilangkan kebebasannya saja, terkungkung dalam sel Lembaga Pemasyarakatan.Â
Hukuman mati ini menjadi pro kontra, karena sebagian pihak berpendapat hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi oleh apapun, dan hanya Tuhan lah yang memiliki "otoritas" atas matinya seseorang. Sebagian pihak lagi berpendapat hukuman mati masih diperlukan untuk mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat, khususnya untuk kejahatan-kejahatan berat.
Menurut informasi yang tercantum di Wikipedia, sampai dengan tahun 2022, sebanyak 55 negara masih memberlakukan hukuman mati (termasuk Indonesia), 109 negara telah meniadakan hukuman mati sepenuhnya secara de jure untuk semua jenis kejahatan, 7 negara telah meniadakan untuk kejahatan biasa (selagi tetap mempertahankan untuk kondisi khusus seperti kejahatan perang), dan 24 negara lainnya sebagai abolisionis dalam praktik. Sekalipun sebagian besar negara telah meniadakan hukuman mati, lebih dari 60% populasi dunia tinggal di negara di mana hukuman mati masih berlaku, termasuk di Indonesia.
Baru-baru ini dunia hukum Indonesia dikejutkan dengan adanya vonis hukuman mati atas terdakwa Sambo karena terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Pertanyaannya adalah: apakah Sambo bisa langsung dieksekusi?
Tentu jawabannya adalah tidak. Sebuah putusan pengadilan baru bisa dieksekusi apabila telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Putusan Pengadilan Negeri menjadi "mentah" kembali apabila terpidana atau Jaksa tidak menerima keputusan dan mengajukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi. Atas keputusan Pengadilan Tinggi, jika dirasa masih belum sesuai dengan hukum dan belum memenuhi rasa keadilan, para pihak juga masih memiiki kesempatan untuk mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Dan atas keputusan kasasi, bisa saja para pihak kemudian mengajukan lagi upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali. Jika para pihak sudah menerima putusan pengadilan dan/atau tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan, barulah keputusan pengadilan tersebut disebut memiliki kekuatan hukum yang tetap.Â
Dengan demikian eksekusi atas putusan Pengadilan Negeri tersebut bisa jadi masih akan cukup lama prosesnya, dan tidak tertutup kemungkinan juga hukumannya akan diubah oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung menjadi hukuman yang lebih ringan seperti hukuman penjara seumur hidup atau penjara untuk waktu tertentu. Terpidana juga masih diberi kesempatan untuk mengajukan grasi (pengampunan) kepada Presiden.
Lalu bagaimanakah tata cara pelaksanaan hukuman mati itu di negara kita Indonesia? Praktek di dunia kita mengenal berbagai cara untuk melakukan hukuman mati, seperti dengan cara digantung, dipancung, disuntik racun, sengatan listrik, kamar gas beracun dan ditembak sampai mati. Nah, negara kita menggunakan cara ditembak sampai mati sesuai dengan Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1964 tentang Tata Cara Pelakasanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Ketentuan lebih teknis diatur pada Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Berdasarkan peraturan di atas disebutkan bahwa eksekusi pidana mati dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Kejaksaan sebagai eksekutor putusan pengadilan kepada Kapolda, dan selanjutnya Kapolda memerintahkan Kepala Satuan Brimob untuk menyiapkan pelaksanaan eksekusi. Selanjutnya ditugaskan regu penembak dari Brimob berjumlah 14 orang yang terdiri dari: 1 orang komandan pelaksana (Inspektur Polisi), 1 orang komandan regu (Brigadir atau Brigadir Kepala), dan 12 orang anggota (Brigadir Polisi Dua atau Brigadir Polisi Satu).
Terpidana yang akan dieksekusi mati biasanya kemudian ditempatkan pada sel khusus dan 3 x 24 jam sebelum pelaksanaan eksekusi, terpidana sudah diberitahukan akan dieksekusi. Kesempatan ini bisa digunakan oleh terpidana untuk menyampaikan keterangan atau pesan terakhirnya. Apabila terpidana adalah wanita hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. Berbeda dengan jaman dulu di banyak negara dimana hukuman mati dilaksanakan di depan umum, pidana mati saat ini di Indonesia dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sesederhana mungkin.
Secara rinci tata cara pelaksanaan hukuman mati tersebut saya kutip dari Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati adalah sebagai berikut:
- terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati;
- pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan;
- regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati;
- regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan;
- regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan;
- Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan "LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP";
- Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati;
- setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan "LAKSANAKAN" kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan "LAKSANAKAN";
- Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 (satu) butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor;
- Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa;
- terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 (tiga) menit dengan didampingi seorang rohaniawan;
- Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak;
- Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana;
- Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati;
- Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana;
- Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana;
- Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat di tempat;
- pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas;
- Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana;
- Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada Regu penembak untuk membuka kunci senjata;
- Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak;
- setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata;
- Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan Dokter memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut Dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Pelaksana melakukan penembakan pengakhir;
- Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga;
- penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan;
- pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana;
- selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan
- Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan "PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI".