Mohon tunggu...
Toni Pamabakng
Toni Pamabakng Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat Sosial, Hukum dan Pemerintahan

Tenang, Optimis, Nasionalis dan Idealis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aspek Hukum Kecelakaan Lalu Lintas yang Menimbulkan Korban Jiwa

12 Agustus 2021   23:18 Diperbarui: 12 Agustus 2021   23:28 3673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alasan penghentian proses penyidikan perkara pidana adalah: tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum. Selanjutnya alasan yang dapat digunakan untuk menghentikan penuntutan menurut hukum pada Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP adalah: tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum. Penyidikan atau perkara dihentikan/ditutup demi hukum tersebut apabila tersangka/terdakwa meninggal dunia atau terdapat "ne bis in idem" (perkara tersebut sudah pernah diputus oleh pengadilan dan memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap) atau berlakunya kadaluarsa (penyidikan/penuntutan sudah lewat waktu sesuai masa kadaluarsa untuk menuntut yang ditentukan dalam Undang-Undang). Dengan demikian sangat jelas, pemenuhan hukum adat tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan proses penyidikan dan penuntutan menurut hukum nasional. Dan penjatuhan sanksi adat juga tidak memenuhi asas "ne bis in idem" karena bukan dijatuhkan oleh Pengadilan negara.

Namun demikian, dalam hal pihak ahli waris korban kecelakaan lalu lintas dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun menerima proses perdamaian dan memaafkan  pelaku/tersangka, maka hal tersebut dapat digunakan sebagai dasar bagi Kepolisian untuk memberikan diskresi penghentian penyidikan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Tentunya setelah pihak pelaku/tersangka memenuhi seluruh tuntutan hukum adat dan ganti kerugian yang telah disepakati para pihak. Meskipun tidak diatur dalam Undang-Undang, hal dimaksud dapat dilakukan oleh Kepolisian dengan mengedepannya "restorative justice", yaitu lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan dan perdamaian antara pihak yang berperkara, demi kepentingan masa depan yang lebih baik bagi pihak ahli waris korban.

Diskresi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang dan tanggung jawab dari aparat penegak hukum, karena penuntutan perkara pidana pada prinsipnya dilakukan/diambil alih oleh NEGARA melalui aparat penegak hukum (Polisi dan Jaksa), bukan oleh ahli waris korban. Dituntut atau tidaknya pelaku kejahatan tindak pidana biasa (bukan delik aduan), sesungguhnya berada pada kekuasaan aparat penegak hukum itu sendiri. Namun demikian, pihak ahli waris korban dapat mengajukan gugatan praperadilan apabila merasa penghentian penyidikan/penuntutan tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Di sinilah perlunya kesepakatan dengan pihak ahli waris korban agar tidak mengajukan keberatan dan gugatan atas diskresi aparat penegak hukum jika para pihak sepakat untuk mengedepankan "restorative justice". Jika pihak ahli waris korban tidak menghendaki/menyetujui hal tersebut, maka aparat penegak hukum wajib hukumnya meneruskan proses perkara pidana tersebut sampai tuntas ke Pengadilan Negeri.

Selain aspek hukum pidana di atas (baik hukum pidana nasional maupun hukum pidana adat), aspek selanjutnya yang sangat penting adalah aspek hukum perdata berupa tuntutan ganti rugi yang dapat dilakukan oleh pihak ahli waris korban kepada pelaku/tersangka. Dasar hukumnya adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: "Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut".

Tuntutan ganti rugi juga dapat diajukan kepada perusahaan secara "tanggung renteng" apabila pengemudi kendaraan bermotor yang menyebabkan kecelakaan maut tersebut bekerja pada perusahaan tertentu. Hal ini sesuai dengan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: "Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu...".

Tuntutan Ganti rugi tersebut meliputi: Ganti rugi materil berupa biaya yang telah dan akan dikeluarkan oleh pihak ahli waris korban dalam pengurusan korban kecelakaan, mulai dari awal di tempat kejadian, pengurusan jenazah, proses pemakaman, biaya ritual/adat dan sebagainya. Biaya dalam hal ini adalah setiap uang atau ongkos yang secara nyata harus dikeluarkan pihak ahli waris sebagai akibat terjadinya peristiwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya korban tersebut.

Selain ganti rugi materil berupa biaya tersebut, komponen kedua dalam tuntutan ganti rugi ini adalah tuntutan ganti rugi imateril yang layak dan pantas dari pihak pelaku/tersangka/perusahaan kepada ahli waris korban. Ganti rugi immateril ini bisa disamakan dengan uang santunan. Ahli waris korban sudah kehilangan nyawa anggota keluarga yang sangat dicintainya, maka sudah sepatutnya dan sewajarnya pihak pelaku/tersangka/perusahaan memberikan santunan yang layak sesuai dengan kedudukan sosial korban dan kemampuan dari pelaku/tersangka/perusahaan. Meskipun nyawa manusia tidak bisa diukur dengan nominal uang berapapun banyaknya, setidaknya hal tersebut dapat meringankan beban ahli waris yang telah kehilangan anggota keluarga yang dicintainya tersebut. Hal ini sejalan dengan Pasal 1370 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: "Dalam hal pembunuhan dengan sengaja atau kematian seseorang karena kurang hati-hatinya orang lain, suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban, yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban, berhak menuntut ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan".

            Tuntutan ganti rugi tersebut sebaiknya dilakukan dengan mengedepankan mediasi kedua belah pihak. Adapun yang dapat bertindak sebagai mediator adalah aparat penegak hukum yang menangani aspek pidananya atau fungsionaris adat di wilayah terjadinya peristiwa tersebut, ataupun pihak lain yang dianggap mampu mengayomi para pihak. Jika tidak tercapai kesepakatan, tentu pihak ahli waris dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun