Mohon tunggu...
Toni Pamabakng
Toni Pamabakng Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat Sosial, Hukum dan Pemerintahan

Tenang, Optimis, Nasionalis dan Idealis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Meningkatkan Akuntabilitas Administrasi Pengelolaan Hibah

29 Juni 2018   07:06 Diperbarui: 29 Juni 2018   08:38 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-99/PMK.05/2017 tentang Administrasi Pengelolaan Hibah, yang dimaksud dengan hibah adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri. 

Dalam tulisan ini, penulis akan fokus pada pembahasan hibah langsung berbentuk uang (Rupiah) yang bersumber dari dalam negeri dan penarikannya tidak melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) selaku Kuasa Bendahara Umum Negara (Kuasa BUN) atau off treasury, tetapi langsung melalui Satuan Kerja (Satker) Pemerintah Pusat sebagai penerima hibah.

Sebagaimana kita ketahui, selain dana yang bersumber dari APBN, Satker juga kadang menerima dana di luar APBN, salah satunya adalah hibah langsung berbentuk uang dari pemberi hibah. 

Di Provinsi Kalimantan Barat biasanya pemberi hibah adalah Pemerintah Daerah (Provinsi/Kab/Kota) terkait biaya penyelenggaraan pilkada, sedangkan penerima hibah adalah: Polri, TNI, KPU dan Sekretariat Bawaslu. 

Tahun 2017 yang lalu total pagu dana hibah langsung dalam negeri yang diterima Satker Pusat di Provinsi Kalimantan Barat mencapai nilai Rp 134,5 miliar dengan realisasi belanja mencapai Rp 73,3 miliar (54,48%). Sedangkan untuk tahun 2018, sampai dengan data tanggal 20 Juni 2018, pagu dana hibah langsung dalam negeri telah tercatat sebesar Rp 220,7 miliar dan realisasi belanja mencapai Rp 328,1 juta (0,15%).

Dalam tata kelola keuangan negara yang baik, maka seluruh penerimaan negara termasuk hibah langsung berbentuk uang, harus dikelola secara transparan, akuntabel dan dilaksanakan sebagai bagian dari mekanisme APBN. Dengan demikian, tidak diperbolehkan Satker mengelola dana "gelap" yang biasa disebut dengan off-budget atau non-budgeter, yaitu dana yang sengaja dikumpulkan/diterima oleh K/L/Satker untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak atau kegiatan lainnya di luar dana legal yang tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

dokpri
dokpri
 Di sinilah pentingnya akuntabilitas dalam administrasi pengelolaan hibah, mulai dari bagaimana proses penerimaan hibah, konsultasi rencana penerimaan hibah, perjanjian hibah dan pengesahan hibah. 

Administrasi pengelolaan hibah ini mengatur mekanisme bagaimana mengintegrasikan dana hibah yang semula merupakan off-budget atau non-budgeter menjadi dana legal yang tertuang dalam DIPA dan realisasi pelaksanaannya tercatat dalam pembukuan Satker maupun Kuasa BUN. 

Hal di atas diwujudkan dengan dilakukannya penyesuaian estimasi pendapatan dan pagu belanja yang bersumber dari hibah dalam DIPA melalui revisi DIPA serta dengan mekanisme pengesahan pendapatan dan belanja ke KPPN selaku Kuasa BUN.

Sebelumnya, Satker juga wajib melakukan permohonan nomor register hibah kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan persetujuan pembukaan rekening hibah ke KPPN setempat. Dengan demikian, maka seluruh dana yang digunakan untuk mendukung pencapaian sasaran kerja keluaran kegiatan oleh Satker Pemerintah Pusat terintegrasi dalam mekanisme APBN. 

Jangan sampai terjadi ada Satker Pemerintah Pusat yang menerima dana hibah langsung berbentuk uang namun menggunakannya secara diam-diam tanpa melakukan proses permohonan register hibah ke Kanwil Ditjen Perbendaharaan, tidak membuka rekening hibah yang disetujui KPPN, tidak melakukan revisi DIPA serta tidak melakukan pengesahan pendapatan hibah dan belanja dalam bentuk uang tersebut ke KPPN setempat.

Dalam prakteknya, administrasi pengelolaan hibah langsung berbentuk uang memang belum berjalan sebagaimana mestinya. Berdasarkan hasil pembinaan dan supervisi yang dilakukan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kalimantan Barat, masih ditemukan adanya Satker yang kurang tertib dalam administrasi pengelolaan hibah, misalnya: terlambat mengajukan permohonan nomor register hibah ke Kanwil Ditjen Perbendaharaan, dana hibah sudah diterima melalui rekening yang tidak mendapatkan persetujuan pembukaan rekening dari KPPN, revisi DIPA dan pengesahan hibah terlambat dilakukan (biasanya baru dilakukan pada akhir tahun anggaran, bahkan sudah memasuki tahun anggaran berikutnya), permohonan persetujuan pembukaan rekening diajukan padahal dana hibah sudah habis digunakan, mengajukan pengesahan belanja hibah ke KPPN padahal kegiatan/belanja belum dilaksanakan serta saldo dana hibah pada rekening koran berbeda dengan saldo pada Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung (SP2HL)/Surat Pengesahan Hibah Langsung (SPHL) dan/atau secara fisik/aktual. Semua ketidaktertiban dalam administrasi pengelolaan hibah dimaksud berpotensi menjadi temuan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) maupun Badan Pemeriksa Keuangan.

Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas administrasi pengelolaan hibah dimaksud, penulis berpendapat, perlu dilakukan pengambilan kebijakan-kebijakan baru yang mendukung tata kelola hibah menjadi lebih baik dan penyempurnaan regulasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-99/PMK.05/2017 tentang Administrasi Pengelolaan Hibah.

Pertama, menyangkut urutan administrasi pengelolaan hibah. Dalam proses yang normal sesuai ketentuan, mestinya urutan administrasi pengelolaan hibah adalah: perjanjian hibah, penerbitan nomor register hibah, pembukaan rekening hibah dengan persetujuan Kuasa BUN (KPPN), pencairan dana hibah dari pemberi hibah ke penerima hibah, proses revisi DIPA, penggunaan dana hibah/pelaksanaan kegiatan, dan terakhir pengesahan hibah.  

Kenyataannya, urutan dimaksud kadang tidak ditaati dan sering terbalik-balik, misalnya: perjanjian hibah, penggunaan dana hibah/pelaksanaan kegiatan, penerbitan nomor register hibah, pembukaan rekening hibah dengan persetujuan Kuasa BUN (KPPN), proses revisi DIPA, dan terakhir pengesahan hibah. Kondisi ini harus diakhiri dengan mempertegas aturan yang ada dengan sanksi administrasi kepegawaian kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang lalai dalam memproses administrasi pengelolaan hibah sesuai ketentuan yang berlaku.

Kedua, menyangkut penerbitan nomor register hibah.  Dalam regulasi yang ada saat ini, tidak terdapat ketentuan yang mengatur jangka waktu penerima hibah wajib mengajukan permohonan nomor register hibah kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Hal ini mengakibatkan penerima hibah kerap mengabaikan tahapan ini, sehingga tidak mengherankan, banyak penerima hibah yang sudah menerima dana hibah (bahkan sudah habis menggunakannya) namun belum mendapatkan nomor register hibah. 

Oleh karenanya, perlu dirumuskan ketentuan yang mengatur bahwa penerima hibah wajib mengajukan permohonan nomor register hibah kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan paling lama dalam jangka waktu tertentu (misalnya: 15 hari kerja) setelah penandatanganan perjanjian hibah. Selanjutnya dalam rangka pembinaan, Kanwil Ditjen Perbendaharaan wajib menegur Satker penerima hibah yang belum mengajukan permohonan nomor register hibah dalam jangka waktu tersebut.

Ketiga, menyangkut pembukaan rekening hibah. Dalam regulasi yang ada saat ini, disebutkan bahwa Satker "dapat" membuka rekening untuk menampung uang dari hibah dimaksud. 

Kata dapat bisa ditafsirkan menjadi bukan suatu keharusan. Oleh karenanya perlu diubah menjadi wajib sehingga tidak ada lagi dana hibah yang diterima cash ataupun ditampung dalam rekening yang tidak jelas  legalitasnya (belum/tidak mendapat persetujuan dari KPPN). Di samping itu, perlu dipertegas dalam regulasi, pembukaan rekening tersebut juga wajib dilakukan dalam jangka waktu tertentu (misalnya: 10 hari kerja) setelah mendapatkan nomor register hibah dari Kanwil Ditjen Perbendaharaan. 

Ketentuan Pasal 22 ayat (3) PMK-99/PMK.05/2017 yang memberikan peluang dana hibah dapat diterima pada rekening lain yang tidak jelas legalitasnya sebaiknya dihapuskan. Bila memungkinkan, Kanwil Ditjen Perbendaharaan dapat berkoordinasi dan menyampaikan pemberitahuan kepada Pemerintah Daerah di wilayahnya masing-masing  untuk tidak melakukan transfer hibah kepada Satker Pusat melalui rekening yang tidak/belum mendapatkan persetujuan pembukaan rekening hibah dari KPPN. 

Selanjutnya perlu diatur juga secara tegas bahwa dalam hal dana hibah sudah habis digunakan, maka tidak perlu lagi mengajukan ijin pembukaan rekening ke KPPN dan syarat ijin pembukaan rekening tersebut tidak perlu juga dimintakan oleh Kanwil DItjen Perbendaharaan sebagai syarat revisi DIPA. Konsekuensinya, KPA Satker penerima hibah harus dikenakan sanksi administrasi atas kelalaiannya mengadministrasikan pengelolaan dana hibah tersebut sesuai ketentuan yang berlaku.

Keempat, menyangkut penyesuaian estimasi pendapatan dan pagu belanja yang bersumber dari hibah dalam DIPA melalui revisi DIPA. Dalam regulasi saat ini, tidak terdapat ketentuan yang mengatur jangka waktu penerima hibah wajib mengajukan revisi DIPA kepada Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Oleh karenanya tidaklah heran, banyak terjadi kasus revisi DIPA baru diajukan menjelang akhir tahun anggaran, bahkan sudah memasuki tahun anggaran berikutnya. Untuk itu perlu diatur penegasan jangka waktu kewajiban melakukan revisi DIPA dimaksud, misalnya paling lambat 10 hari kerja setelah menerima pencairan dana hibah di rekening hibah. 

Dalam hal terjadi keterlambatan, dokumen harus dilengkapi dengan Surat Pernyataan KPA yang menjelaskan alasan terjadinya keterlambatan revisi DIPA. Di samping itu, ketentuan pada Pasal 27 ayat (5) PMK-99/PMK.05/2017 yang menyatakan K/L dapat langsung menggunakan uang yang berasal dari hibah yang penarikannya tidak melalui Kuasa BUN tanpa menunggu terbitnya revisi anggaran, perlu ditinjau kembali. 

Penulis berpendapat, untuk meningkatkan akuntabilitas administrasi pengelolaan hibah, penerima hibah, seharusnya dilarang menggunakan uang sebelum terbitnya revisi anggaran, kecuali jika hibah yang menyangkut penanggulangan keadaan darurat (bencana alam dan bantuan kemanusiaan).

Kelima, menyangkut pengesahan pendapatan hibah dan belanja.  Dalam regulasi yang ada saat ini terkesan sangat "longgar" pengujian yang dilakukan oleh KPPN. Berdasarkan Pasal 30 ayat (3) PMK-99/PMK.05/2017, KPPN melakukan pengujian atas Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung (SP2HL) meliputi:

  • Memeriksa kesesuaian kode kegiatan/output/jenis belanja/sumber dana dengan DIPA;
  • Memastikan jumlah belanja tidak melebihi pagu dalam DIPA; dan
  • Memeriksa kesesuaian pencantuman pendapatan dan/atau belanja pada SP2HL dan Surat Pernyataan Telah Menerima Hibah Langsung (SPTMHL).

Penulis berpendapat, pengujian di atas kurang lengkap karena tidak melakukan pengujian sama sekali terhadap salinan rekening koran atas rekening hibah yang menjadi lampiran SP2HL. Meskipun tanggung jawab formil dan materil penggunaan dana hibah berada pada Satker penerima hibah, seharusnya KPPN juga menguji kesesuaian saldo hibah yang tercantum pada SP2HL dengan saldo yang tercantum pada salinan rekening koran. 

Untuk itu salinan rekening koran yang disampaikan ke KPPN harus yang terbaru sesuai dengan tanggal penyampaian SP2HL. Dalam hal saldo pada SP2HL berbeda dengan saldo yang tercantum pada salinan rekening koran, harus dilengkapi dengan Surat Pernyataan dari KPA yang menjelaskan selisih saldo tersebut. Dengan demikian, secara formil dapat dihindari pengesahan dana hibah yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.

(Penulis adalah Kepala Seksi Supervisi Proses Bisnis, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kalimantan Barat)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun