Mohon tunggu...
Toni Pamabakng
Toni Pamabakng Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat Sosial, Hukum dan Pemerintahan

Tenang, Optimis, Nasionalis dan Idealis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Modus Operandi Mafia Hukum

26 Januari 2015   20:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:20 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_393377" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]

Diakui atau tidak, jujur kita harus berani mengakui bahwa proses penegakan hukum di Negara kita masih diwarnai dengan praktek-praktek mafia hukum. Mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan dan bahkan proses di lembaga pemasyarakatan, selalu saja ada praktek mafia hukum yang terjadi. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (“Satgas PMH”) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 para era Presiden SBY, dalam sebuah penelitiannya mendefinisikan Mafia Hukum sebagai “praktik menjualbelikan atau menyalahgunakan kedudukan dan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum dan hakim, baik yang sifatnya terorganisir dan sistematis maupun yang tidak, yang dilakukan atas inisiatif apparat penegak hukum dan hakim atau atas bujukan pihak lain, sehingga hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya” (Satgas PMH, Mafia Hukum, Jakarta, 2010, hal.6).

Bukan rahasia umum, harapan masyarakat untuk menyelesaikan masalah hukum yang menimpa dirinya dengan melaporkan kasusnya ke aparat hukum (Kepolisian), kadang-kadang justru adalah awal dari sebuah “bencana hukum”. Bayangkan saja, berdasarkan hasil penelitian Satgas PMH, yang tertuang pada buku Mafia Hukum halaman 11 – 12, modus mafia hukum pada tahap pra penyelidikan dan penyelidikan, praktik yang umum terjadi adalah adanya permintaan biaya ‘dinas’ oleh oknum kepolisian ke pelapor, misalnya dengan alasan untuk biaya transport dan biaya lain dalam menindaklanjuti laporan. Kepada pihak terlapor, aparat kepolisian dapat pula meminta uang atau menawarkan bantuan (dengan meminta imbalan) kepada terlapor dengan janji penanganan kasus tersebut akan menguntungkan terlapor. Praktek terakhir dapat pula terjadi dalam hal kepolisian mendapatkan laporan dugaan tindak pidana dari instansi negara, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Penyidik PPNS, dan seterusnya. Jangan heran ada anekdot yang mengatakan, lapor kehilangan kambing, malah sapi pun ikut hilang.

Penentuan jenis kasus (perdata atau pidana) pun dapat dijadikan sebagai alat bagi para mafia hukum untuk mengais keuntungan. Bilamana pelapor telah memberikan sejumlah uang atau pelapor adalah seorang yang kuat, memiliki kekuasaan ataupun kedekatan tertentu dengan pejabat kepolisian, maka sengketa perdata dapat dilaporkan ke kepolisian dan dijadikan kasus pidana. Hal yang sebaliknya terjadi pula dimana perkara yang sebenarnya merupakan tindak pidana diangggap sebagai perkara perdata sehingga laporan/pengaduan ditolak –tentu atas “pesanan” dari terlapor.

Dalam tahap pra penyelidikan dan penyelidikan pihak-pihak yang terlibat mafia hukum cukup luas, mulai dari polisi, terlapor/calon tersangka, pelapor, advokat ataupun mereka yang memang berprofesi sebagai calo perkara. Dalam kasus-kasus tertentu, praktik mafia hukum di tahap ini dilakukan pula oleh jaksa, khususnya jaksa bidang intelijen. Modus yang dilakukan adalah dengan melakukan pemanggilan terhadap seseorang yang diduga terlibat perkara pidana tertentu dan mengancam akan melanjutkan perkaranya ke tahap penyidikan.

Bagaimana dengan modus-modus mafia hukum pada tahap penyidikan??

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penyidikan adalah “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dalam tahap penyidikan ini kekuasaan aparat hukum sangat besar, di antaranya Kepolisian berhak untuk menangkap, menggeledah, melakukan penyitaan dan bahkan melakukan penahanan. Pada tahapan ini asas hukum “Praduga Tidak Bersalah” dalam kenyataannya biasanya terabaikan. Yang terjadi pada tahap ini justru adalah asas “Praduga Bersalah” dengan mengejar pengakuan tersangka. Tidak jarang dari berita-berita media massa kita mendengar aparat hukum kerap menggunakan kekerasan, baik kekerasan verbal maupun fisik dalam memeriksa seorang tersangka. Apalagi jika tersangka adalah orang kecil, penjahat jalanan atau penjahat yang dianggap sadis. Bahkan konon beritanya, sekelas Pejabat Negara, BW (Komisioner KPK) juga ditangkap secara “sadis”, dicegat di tengah jalan oleh pasukan bersenjata dan diborgol seperti seorang teroris. Kalau Pejabat Negara saja diperlakukan seperti itu, bayangkan apa perlakuan yang (mungkin) akan kita peroleh sebagai rakyat biasa yang tidak jelas….. Semoga berita-berita itu tidak benar, dan kita yakin masih banyak polisi-polisi yang jujur serta bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

Pada tahap penyidikan, modus mafia hukum yang digunakan oleh aparat biasanya tidak jauh berbeda dengan tahap pra penyelidikan dan penyelidikan. Bedanya dan parahnya, pada tahap penyidikan ini praktek mafia hukum akan semakin meningkat “kuantitas” dan “kualitasnya” sebagai konsekuensi dari semakin besarnya kekuasaan aparat hukum tersebut. Dari berbagai modus mafia hukum tersebut, salah satu yang menurut saya sangat berbahaya adalah “mengkriminalisasi” seseorang yang telah menjadi target. Satgas PMH dalam hasil penelitiannya yang tertuang dalam buku Mafia Hukum halaman 13 merumuskan “kriminalisasi” tersebut dengan uraian sebagai berikut:

Meski tidak ada tindak pidana, polisi atau jaksa tetap dapat melakukan praktik mafia hukum dengan cara mencari kesalahan pidana seseorang sehingga dapat diproses lebih lanjut –hal mana umumnya dilakukan berdasarkan “pesanan”. “Pesanan” tersebut bisa jadi diterima dari atasan aparat atau pihak yang memiliki kepentingan (baik secara langsung maupun melalui calo). Prinsip yang dipergunakan adalah dipilih dahulu target operasinya dan kemudian dicari-cari kesalahan pidananya, serta aturan hukum yang mendukung. Tidak jarang untuk melakukannya, kepolisian atau kejaksaan secara sengaja merekayasa bukti (membuat bukti tindak pidana yang sebenarnya tidak ada atau kerap disebut planting evidence).

Betapa mengerikannya negeri ini kalau penegakan hukum hanya menjadi topeng untuk melakukan “kriminalisasi” terhadap seseorang yang menjadi target. Kasus terbaru yang menyangkut BW (Komisioner KPK) semoga bukan merupakan contoh dari kriminalisasi tersebut. Dalam praktek hukum di Negara kita, mungkin sudah banyak orang-orang yang menjadi korban kriminalisasi tersebut. Hanya karena mereka umumnya “rakyat yang tidak jelas”, maka tidak heran kalau kasusnya tidak terangkat ke permukaan. Apalagi “rakyat yang tidak jelas” itu umumnya buta hukum dan tidak memiliki kekuatan apapun, baik kekuatan ekonomi maupun politik. Tambah lagi, konon katanya hukum itu tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Stop Mafia Hukum, Stop Kriminalisasi terhadap seseorang yang tidak bersalah. Lebih baik membebaskan 100 orang penjahat daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah.

Save KPK, Save Polri, Save Presiden, Save Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun