Dari era ke era, masalah identitas dan karakter bangsa, semangat dan tekad bulat untuk membangun, serta nilai-nilai budaya bangsa memang selalu mengemuka. Bagi Indonesia apalagi; mengingat bangsa ini selalu berhadap-hadapan dengan berbagai masalah, tantangan, bahkan ancaman yang konon dapat membawa kita pada keterpurukan.
Tidak heran, bukan hanya sendi-sendi utama macam ekonomi, politik, pendidikan atau pertahanan yang disorot. Bahkan seluruh bagian kehidupan bangsa, berbagai aspek dari aktivitas masyarakat hingga partikelnya yang terkecil "diharapkan" juga berada dalam tekad dan semangat yang sama guna menata masa depan yang lebih baik.
Salah satu unsur yang --mau tak mau-- juga turut mendapat sorotan adalah perfilman. Bagaimana tidak. Dari nature-nya saja, film sudah merupakan media massa yang keberadaannya bersinggungan langsung dengan masyarakat luas.
Sorotan yang serius terhadap industri perfilman setidaknya mulai bergaung sekitar 2 dasawarsa silam. Waktu itu, menyusul lahirnya satu persatu saluran televisi swasta, tumbuh marak rumah-rumah produksi. Kerja mereka apa lagi kalau bukan membuat materi-materi tayangan di TV-TV swasta tadi.
Yang mengundang sorotan, jelas bukan kuantitas griya produksi tersebut. Juga bukan soal jumlah tayangan yang diproduksi apalagi perihal bintang-bintang muda yang muncul entah dari belahan dunia mana. Yang mengemuka hanya satu: urusan kualitas.
Hari demi hari, penonton TV bagaikan dicekoki dengan produk sinema elektronik (sinetron) yang "serupa tapi tak sama". Kemarahan, bentakan, ancam-mengancam, tangis dan air mata pun ramai menghiasi layar kaca penonton televisi; dari hari ke hari hingga tahun ke tahun.
Secara bersamaan, masyarakat semakin "kaya" dengan aneka tipu muslihat yang tidak hanya dipraktekkan pada tempat kerja, tapi bahkan sampai ke dalam keluarga. Tindak kekerasan, termasuk yang mengumbar darah juga menjadi bagian keseharian para keluarga pemirsa televisi, tak ketinggalan para anak.
Kritisi bermunculan dari banyak kalangan. Berbagai ajang diskusi maupun seminar digelar; tak kalah gencar dibandingkan caci-maki publik melalui sejumlah media. Namun, kilah dari yang empunya hajat selalu ada. Di antaranya dan yang paling santer adalah bahwa mereka semata menyajikan sesuatu yang sesuai dengan selera publik. Dan akhirnya, di tengah pro dan kontra, 'sang kafilah pun tetap berlalu'.
Seolah mendapatkan angin, beberapa saat kemudian dunia film layar lebar menampakkan pula geliatnya. Dalam waktu singkat, di awal milenium saja, sejumlah film produksi lokal beraksi di jaringan bioskop dalam negeri.
Tak bisa dipungkiri, ketika itu publik juga turut menggeliat senang. Masalahnya, telah belasan tahun papan poster dan layar bioskop seperti hanya menjadi tempat pajangan film-film karya anak bangsa lain. Inikah pertanda kebangkitan kembali perfilman Indonesia?
Kabar gembira lainnya adalah bahwa karya-karya film nasional yang bermunculan itu hanya sedikit melibatkan nama-nama lama. Selebihnya; sebagian besar tepatnya, justru wajah dan nama baru dengan usia relatif muda. Latar belakang mereka tidak semata beragam, tapi juga menjanjikan serta mendorong tumbuhnya optimisme; ada yang lulusan sekolah sinematografi atau teater mancanegara dan tidak sedikit yang cukup lama berkubang dalam proses pembuatan film pendek, macam iklan, profil perusahaan, video musik serta dokumenter.