Mohon tunggu...
Dewanto Nugroho
Dewanto Nugroho Mohon Tunggu... -

Mantan penulis naskah iklan ...

Selanjutnya

Tutup

Money

Proaktif Salah Kaprah

18 November 2009   05:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:17 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada sebuah milis, saya lihat seorang kawan sedang hot-hotnya mengeluhkan telemarketer sebuah bank swasta yang begitu gencar mengejarnya. Sebelum itu terbaca pula adanya kawan lain yang mengomel habis-habisan soal salesman peralatan rumah tangga yang kelewat agresif berjualan. Karena itu, di ajang ini saya mau ikut berkomentar; sedikiiiit saja.

Sepemerhatian saya, fenomena mengejar-ngejar (calon) konsumen ini mulai mewabah tahun 1998 (jaman ekonomi Indonesia mulai gonjang-ganjing).

Entah dari mana, muncul istilah 'proaktif'.  Sepengamatan saya, istilah ini bisa ditafsirkan dengan pemikiran luas atau pemikiran sempit.

Secara luas, mengelola pemasaran secara proaktif bisa bermakna sangat luas (banyak), antara lain: riset perilaku konsumen, riset kompetitor, analisis peluang, peningkatan kualitas produk, peningkatan kemampuan menangkap perubahan pasar, peningkatan kemampuan memanfaatkan media massa, penyusunan strategi secara berkala, dan buwanyaak lagi faktor lain.

Sepemerhatian saya lagi, orang-orang kita tidak menggunakan pemikiran luas buat menafsirkan pengertian 'proaktif' itu.  Alasan lain, duit (= budget) juga udah cekak banget. Sementara, keinginan untuk dapet dana segar sesegera mungkin kayanya udah tidak bisa ditahan lagi. Alhasil, seperti biasa yang mengemuka adalah pikiran sempitnya.

Dalam pemikiran sempit, pengertian 'proaktif' ini hanya berarti satu kata, yaitu: "kejaaaaaaaar".

Bener loh.  Orang-orang (para pemasar) itu sangat percaya bahwa konsumen/pelanggan/customer tidak akan datang dengan sendirinya.  Mereka itu harus dikejaaaar.

Erat kaitannya dengan 'kepercayaan ini, muncul pula istilah 'jemput bola' (he, he, dulunya istilah ini muncul waktu Bambang Nurdiansyah masih jadi pemain nasional PSSI, kalau gak salah tahun 1988-1994).

Bermodalkan kepercayaan pada pengertian 'jemput bola' itulah kita semua (khalayak) mendapat perlakuan yang begitu rupa dari para pemasar.

Datang ke bengkel aksesori mobil, baru buka jendela saja kita sudah diberondong oleh beberapa orang: "poles pak" atau "kaca filmnya pak, lagi promo neh" atau juga "ganti dunk audionya pak..., ada yang canggih neh bozz!"

Baru masuk ke pintu mal, udah dikejar-kejar dengan amat sangat memaksa: "kartu kreditnya pak, gak pakai iuran tahunan koq.  Mau yang platinum juga bisa.  Modal KTP doang koq."   Lantas, baru berjalan sedikit saja akan ada lagi yang mencegat: "pak/bu, pijat dulu dunk.  Enak koq sambil ngaso... ."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun