Mohon tunggu...
Ahmad Fatoni
Ahmad Fatoni Mohon Tunggu... Guru - Guru dan pengamat warung kopi

Ahmad Fatoni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Dasar Negeri yang Mulai Redup

19 Juli 2024   17:24 Diperbarui: 19 Juli 2024   17:28 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan signifikan dalam preferensi orang tua di Indonesia terkait pemilihan institusi pendidikan dasar untuk anak-anak mereka. Sekolah Dasar (SD) negeri, yang dahulu menjadi primadona, kini mulai kehilangan peminat. 

Sebaliknya, lembaga pendidikan MI semakin diminati. Hal ini terbukti dari banyaknya berita tentang SDN yang sering tidak dapat murid, di kampung saya sendiri SDN masih kalah pamor dengan MI.

Mungkin tulisan ini tidak dapat mengurai benang kusut tentang fenomena SDN yang mulai sepi peminat, tapi saya akan berusaha menggambarkan secara kasar mengapa SD Negeri mulai tidak diminati masyarakat?

Pertama, market telah berubah. Masyarakat sekarang sedang pada fase kesadaran akan pentingnya pendidikan akhlak di tengah arus zaman yang mulai edan, SDN tidak bisa menjawab itu, mereka cenderung kaku dalam penerapan kurikulum, sementara lembaga swasta (MI, SDI) lebih longgar dalam berinovasi, meski masyarakat harus mengeluarkan biaya lebih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.

Dari kesadaran masyarakat ini akhirnya munculnya pengelompokan status sosial bahwa anak yang sekolah di SDN dianggap dari kalangan "wong abangan". Tentu ini tidak bagus untuk pendidikan di Indonesia.

Kedua, guru di SDN tidak merasa memiliki sekolah karena mereka pegawai pemerintah. Guru SDN rata - rata tidak berdomisili di area sekolah, mereka beranggapan hanya penempatan saja sehingga jika tidak dapat murid mereka tidak merasa risau karena tinggal dimutasi / pindah tugas. 

Berbeda dengan MI yang rata-rata gurunya adalah tokoh di masyarakat sekitar sehingga memunculkan kesan masyarakat lebih percaya menitipkan anaknya pada sosok yang dikenali dalam keseharian daripada menitipkan anak pada sekolah yang kurang "ngopeni" anaknya.

Ketiga, citra buruk anak lulusan SDN. Di MI anak tidak bisa ngaji adalah hal yang sangat tabu, sementara di SDN hal ini biasa saja karena pelajaran Agama Islam memang sedikit. Dari kesan pelonggaran hal yang paling mendasar seperti itu merebet pada pelonggaran pembentukan karakter, seperti nilai kesopanan yang kurang ditekankan, "unggah-ungguh". 

Dari situ asumsi masyarakat, anak lulusan SDN dengan anak lulusan MI/SDI jauh berbeda. anak lulusan MI jauh lebih siap jika terjun di masyarakat seperti adzan di mushola, meramaikan masjid, dll. Lagi - lagi ini tentang kebutuhan masyarakat dan SDN kurang bisa menjawabnya.

Saya dulu termasuk anak yang sekolahnya berpindah - pindah, pernah merasakan jadi anak SDN, SMP, MTs. Dan memang benar secara subjektif saya harus mengatakan faktor emosional kedekatan guru dengan murid lebih terasa saat bersekolah di MI atau MTS. Makanya rata - rata orang tua yang dulu lulusan MI lebih yakin menyekolahkan anaknya di MI meski mungkin fasilitas MI tidak sebaik SDN.

Faktor emosional dan kedekatan antara guru dan muridlah yang menjadi penyebabnya. Ini bukti pendidikan tidak hanya soal transfer knowledge tapi juga harus adanya ikatan bathin antara guru dan murid. Dan guru SD Negeri tidak dapat melakukan itu.

Pare, 19 Juli 2024

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun