Mohon tunggu...
toni nur ardiansyah
toni nur ardiansyah Mohon Tunggu... wiraswasta -

pelajar yang ingin terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Layla: Chapter 7 (Dia)

8 Maret 2019   11:58 Diperbarui: 8 Maret 2019   12:26 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Suara gedoran di pintu membuatku terbangun, dengan jiwa yang masih setengah tidur aku membuka pintu kamar kesal, siapa yang berani menggedor pintu kamarku di minggu pagi seperti ini karena jelas-jelas bibi tidak berani, sementara ayah dan ibu sudah pasti tidak ada di rumah hari ini. 

Kubanting daun pintu sekeras mungkin dan mendapati dua wajah familiar yang kesal, satu wajah manis bermata coklat keemasan dan satu lagi wajah putih sangar maskulin yang memelototiku.

"eh... kalian?" aku bingung sambil mengucek kedua mataku.

"ah eh ah eh.... Jam berapa ini?!" Zahra nyelonong masuk ke kamarku.

"masih pagi kan?" jawabku. Sreeet.... Zahra menarik gorden jendela kamarku, seketika cahaya matahari merangsek masuk, menyinari bagian kamar yang gelap.

"pagi dari hongkong! Sudah jam 10 tau..." jawabnya kesal.

"oh..." jawabku datar.

"ah oh ah oh.... Kita janjian jam berapa ya?" kini Rani angkat bicara.

"jam 8?" aku mencoba mengingat-ingat.

"terus?" Zahra dan Rani berkata hampir berbarengan.

"hehe... maaf ya, semalam aku tidur terlalu larut, jadi bangunnya telat." Aku segera menuju kamar mandi di kamarku untuk mencuci wajah. 

Kudengar Zahra masih mengoceh saja soal aku yang tidak tepat janji, padahal aku sendiri yang menentukan jamnya, lalu Rani berkomentar tentang kamarku yang berantakan, sungguh tidak mencerminkan kamar seorang perempuan katanya. Aku hanya berdiri di pintu kamar mandi memperhatikan mereka sambil bersandar.

"kalian sudah seperti ibuku saja...."

"bagus kan?" jawab Zahra.

"iya... kan jarang-jarang ada yang ngomelin kamu tentang hal beginian," sambung Rani. Aku senang mereka mengomel, aku tahu itu karena mereka peduli padaku.

Zahra dan Rani ketar-ketir menghadapi ulangan Matematika nanti senin, oleh karena itu mereka meminta bantuanku untuk mengajari materi Matematika untuk ulangan nanti. Lalu kami sepakat untuk berkumpul di kafe 24 jam tempat kami biasa nongkrong jam 8 pagi. 

Tapi apalah daya, semalam aku tidak bisa tidur, aku menonton film dan tahu-tahu sudah hampir pagi, jadi ya terlambat bangun. Akhirnya kami belajar bersama di halaman belakang rumahku, selama hampir dua jam lebih aku berjuang mencari cara agar mereka bisa paham dan mampu mengerjakan soal-soal yang mungkin akan muncul di ulangan nanti. 

Rani sih cukup pintar dan tidak terlalu menyulitkanku, tapi Zahra, dia lain cerita. Dia memang tidak pandai Matematika, targetnya tak muluk-muluk, cukup dapat nilai 75 saja sudah puas.

"penjelasan kamu lebih bisa dimengerti daripada Bu Atik," kata Rani. Aku hanya tersenyum. Sementara itu Zahra sedang tiduran terlentang di sofa setelah menyelesaikan empat soal dari buku.

"Aku capek sekali... lebih capek dari lari keliling lapangan karena dihukum Pak Sunardi." Keluhnya.

"eh kemarin aku lihat dia dihukum lari keliling lapangan oleh Pak Sunardi loh..." kata Rani.

"dia?" aku memastikan.

"iya dia..." jawab Rani.

"kenapa?" tanyaku.

"kalau gak salah sih karena seragamnya gak lengkap gitu deh..."

"oh... ko aku gak tau ya...." Gumamku.

"cieee yang pengen tahu terus segala hal tentang dia." Goda Zahra.

"apaan sih... biasa aja."

"masa?" Zahra kini duduk di sampingku. "tau gak? Kemarin malam, aku ketemu sama dia." Lanjutnya.

"dimana? Terus?" aku bertanya spontan.

"katanya biasa aja, ko kamu keponya gak biasa gini?" Zahra tertawa, aku menimpuknya dengan bantal.

"kamu ketemu dimana?" kini Rani yang bertanya.

"di tempat dugem."

"hah serius?" aku dan Rani kaget. "semalem kamu dugem?" aku tak percaya.

"enggaklah... udah lama aku gak gitu kan, semalem aku nganter cowoku jemput temennya yang mabok, nah terus aku lihat dia di deket tempat dugem." Jawab Zahra. Dulu main ke tempat seperti itu adalah kebiasaannya, tapi sejak di SMA lalu bergaul denganku dan Rani, dia mulai mengurangi kebiasaannya itu. Ditambah lagi pacarnya pun orang yang tobat dari dunia seperti itu.

"oh.... Itu mah bukan ketemu, tapi kamu ngeliat aja, dia gak liat kamu kan?" kata Rani.

"itu juga tak berarti dia sedang dugem kan?" tambahku.

"iya sih... kan biar sensasional aja.... Haduh... kamu gak terima banget sih kalau dia punya kejelekan." Jawabnya tertawa.

"dia itu gak sok sempurna, tapi terlihat sempurna..." Rani menambahkan, dan aku sangat setuju dengannya.

"kalian ingat waktu kita darmawisata ke Yogya kemarin?" aku bertanya.

"iya..." Rani dan Zahra menjawab berbarengan.

"nah... waktu di Malioboro, aku kan jalan sama dia..."

"cieee jalan bareng di Malioboro..." Zahra tidak tahan untuk menggodaku lagi.

"ish... diem dulu deh..." aku mencubitnya. "waktu jalan ada orang minta-minta gitu, bilang bahwa dia butuh uang untuk ongkos pulang. Lalu tanpa curiga dia memberikan uang sebesar 50rb ke orang tersebut."

"orang kayak gitu kan biasanya penipu, dia bodoh banget sih..." kata Zahra.

"nah... aku pun bilang begitu ke dia ketika orang tersebut telah pergi, kau tahu apa jawabannya?"

"apa?" Rani bersemangat.

"dia bilang begini, - kamu tahu darimana dia penipu? Mungkin saja orang tadi itu benar-benar sedang dalam kesulitan, aku justru akan menyesal jika tidak membantunya. Lalu jika memang iya dia itu penipu, aku bersyukur, setidaknya dia tidak dalam kesulitan hidup. 

Aku hanya berdoa semoga uang yang tidak seberapa itu dapat bermanfaat baginya, semoga masalah yang membuatnya menjadi penipu akan diangkat dan dia tak perlu menipu lagi."

"orang yang aneh...." Komentar Zahra.

"aneh... tapi menarik..." tambah Rani. "aku tertarik sama presentasi dia waktu pelajaran Agama loh..."

"yang waktu kapan?" tanyaku.

"udah lama sih... waktu itu judulnya kalau gak salah Tuhan Maha Cinta."

"ah... aku mana ingat..." seloroh Zahra.

"hm... aku lupa-lupa inget deh.... Emang yang menarik apa?" tanyaku.

"yang paling menarik adalah waktu dia bilang bahwa semua yang ada di dunia ini adalah tanda cinta-Nya, mau yang baik atau buruk dalam sudut pandang kita. Musibah pun artinya adalah bentuk cinta Tuhan pada manusia."

"alamak... berat banget ya..." Zahra menepuk jidatnya.

"iya... saking beratnya, anak-anak sekelas waktu itu gak pada merhatiin, kebanyakan ngelamun, ada yang tidur malah, cuma Pak Jujun aja tuh yang perhatiin, taunya dia dapet nilai yang paling besar di presentasi itu kan...."

"ho... iya aku ingat itu," aku pasti selalu ingat jika ada nilai yang lebih besar dariku. "kalau semua itu cinta Tuhan? Kenapa Tuhan ngasih kanker ke anak kecil coba? Sepupuku tuh masih umur 8 tahun, eh udah kena kanker, hidupnya kasian banget, penuh penderitaan. 

Gak bisa maen seperti anak kecil sebayanya, hari-harinya dipenuhi obat, kemo dan rumah sakit. Gimana tuh?" tanyaku pada Rani.

"buseet... yang presentasi kan dia, bukan aku. Kamu tanya saja dia..." Jawab Rani kesal. Aku dan Zahra tertawa, Rani kalau sudah kesal tambah manis.

Sorenya Zahra dan Rani pamit pulang, setelah mereka pergi pikiranku seakan tidak dapat beralih dari apa yang Rani ucapkan tentang presentasi pelajaran agama waktu itu, dia selalu bicara cinta, cinta, dan cinta tapi bukan dalam konteks cinta yang anak sebayanya pahami. 

Aku pun tak sabar bertemu dengannya esok, untuk menanyakan pertanyaan yang membuat Rani kesal tadi. Malamnya ibuku pulang lebih cepat dari biasanya sehingga aku sempat mengobrol dengannya sebelum tidur.

"bu... kabar Daniel gimana?" Daniel adalah sepupuku yang terkena kanker itu. Dia anak yang lucu sekali, jika saja dia tidak kena kanker pastilah dia menjadi anak yang periang dan aktif.

"ya... begitu," jawab ibu. "kemarin ibu dapat kabar dari tante Maria, Daniel sudah stadium 4." Ibu menyalakan tv dan duduk di sofa, aku duduk di sampingnya.

"artinya kemungkinan besar tinggal menunggu waktu?" tanyaku.

"iya sayang..." tangan kirinya memelukku.

"bu..." aku menyandarkan kepalaku di dadanya.

"iya?"

"menurut ibu Tuhan jahat gak sih?" ibu menatapku heran.

"maksud kamu?"

"Daniel kan masih kecil, ko tega-teganya Tuhan ngasih kanker ke dia?" ibu tersenyum mengelus-elus kepalaku.

"ibu gak tahu... tumben kamu nanya-nanya hal begini?" tanya ibu sambil menguap.

Sambil menyandarkan kepalaku di dadanya, aku lalu menceritakan obrolanku dengan Zahra dan Rani tadi siang, sampai soal presentasi agamanya, tapi ketika aku berhenti dan menatap ibuku, ternyata dia sudah tertidur lelap, mungkin dari awal aku bercerita dia sudah tidur, mungkin di tengah-tengah ceritaku, aku tidak tahu. Dia pasti lelah, aku segera mematikan TV mengambilkan selimut untuknya dan pergi ke kamarku untuk tidur.

Esoknya, aku mendekati dia saat jam istirahat makan siang, Rani pun mengikutiku, hanya Zahra yang tidak ikut, dia tidak tertarik dengan apa yang akan kami obrolkan. Setelah memesan siomay favoritku dan mie ayam kesukaan Rani, kami duduk di meja tempat dia sedang makan. 

Dia tidak pernah membeli makanan dari kantin, dia selalu bawa bekal sendiri, dan menu yang selalu dia bawa adalah sayuran rebus, nasi merah dan telur dadar.

"presentasi pelajaran agama?" tanyanya.

"yang judulnya Tuhan Maha Cinta..." kata Rani.

"oh.... Terus, kenapa?"

"jadi kamu kan bilang, kalau musibah itu juga cinta kan? Nah, aku punya sepupu nih, dia masih kecil, tapi udah kena kanker, hidupnya jadi menderita gitu, kalau menurut kamu kanker itu cinta Tuhan, ko cinta menyebabkan penderitaan bagi manusia?" tanyaku. Dia berikir sejenak lalu berkata.

"kalau ibu kamu memberi hukuman kepadamu, itu tanda apa?" aku dan Rani berpandangan.

"hukuman seperti apa?" Rani angkat bicara.

"ya... hukuman, misalnya kamu malas belajar, terus ibu kamu gak ngasih kamu uang jajan selama sebulan, tanda apa itu?"

"itu biar kita belajar kan?" Rani menjawab ragu.

"itu tanda ibu kamu sayang sama kamu, dia gak mau kamu jadi bodoh karena malas belajar, sayangnya kamu gak sadar, kamu ngerasa ibu kamu jahat, kamu ngerasa menderita karena uang jajan hilang, kamu gak memahami dibalik tindakan ibu kamu itu ada rasa cinta untukmu." Dia menjelaskan. "memang tidak semua manusia kan bisa sadar hanya dengan teguran ringan, kadang manusia harus ditegur agak keras untuk bisa sadar." Lanjutnya.

"kalau begitu, kanker sepupuku itu bisa jadi teguran? Dia kan masih kecil, kalau kata agama tuh ya, dia belum cukup dewasa untuk mempertanggungjawabkan dosanya sendiri." Aku tidak terima.

"mungkin, tegurannya bukan untuk dia, tapi untuk orang tuanya..." jawabnya. "pasti ada hikmah dibalik itu, kalau kita mau membersihkan hati, pasti kita bisa melihat cinta-Nya dibalik semua itu." Dia tersenyum.

Aku dan Rani mengerutkan dahi bingung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun