Kudengar Zahra masih mengoceh saja soal aku yang tidak tepat janji, padahal aku sendiri yang menentukan jamnya, lalu Rani berkomentar tentang kamarku yang berantakan, sungguh tidak mencerminkan kamar seorang perempuan katanya. Aku hanya berdiri di pintu kamar mandi memperhatikan mereka sambil bersandar.
"kalian sudah seperti ibuku saja...."
"bagus kan?" jawab Zahra.
"iya... kan jarang-jarang ada yang ngomelin kamu tentang hal beginian," sambung Rani. Aku senang mereka mengomel, aku tahu itu karena mereka peduli padaku.
Zahra dan Rani ketar-ketir menghadapi ulangan Matematika nanti senin, oleh karena itu mereka meminta bantuanku untuk mengajari materi Matematika untuk ulangan nanti. Lalu kami sepakat untuk berkumpul di kafe 24 jam tempat kami biasa nongkrong jam 8 pagi.Â
Tapi apalah daya, semalam aku tidak bisa tidur, aku menonton film dan tahu-tahu sudah hampir pagi, jadi ya terlambat bangun. Akhirnya kami belajar bersama di halaman belakang rumahku, selama hampir dua jam lebih aku berjuang mencari cara agar mereka bisa paham dan mampu mengerjakan soal-soal yang mungkin akan muncul di ulangan nanti.Â
Rani sih cukup pintar dan tidak terlalu menyulitkanku, tapi Zahra, dia lain cerita. Dia memang tidak pandai Matematika, targetnya tak muluk-muluk, cukup dapat nilai 75 saja sudah puas.
"penjelasan kamu lebih bisa dimengerti daripada Bu Atik," kata Rani. Aku hanya tersenyum. Sementara itu Zahra sedang tiduran terlentang di sofa setelah menyelesaikan empat soal dari buku.
"Aku capek sekali... lebih capek dari lari keliling lapangan karena dihukum Pak Sunardi." Keluhnya.
"eh kemarin aku lihat dia dihukum lari keliling lapangan oleh Pak Sunardi loh..." kata Rani.
"dia?" aku memastikan.