Apa yang terjadi kemudian, tentu bisa pembaca tebak. Rombongan yang kembali melalui jalur berangkat, terjebak. Betul, terjebak dan tersesat. Mereka berpapasan dengan gelombang manusia dari berbagai bangsa yang sedang menuju tempat lempar jumrah. Dengan suara takbir yang bergemuruh, gelombang manusia dengan penuh semangat menuju Jamarat.
Tentu kami kewalahan dan terpencar. Kami, saya dan ibu termasuk  juga yang kehilangan arah ke tenda penginapan. Kami terdesak, kami juga kehausan. Sinar matahari yang sudah mulai terik menambah penderitaan. Tidak ada tempat persinggahan, karena begitu banyaknya manusia. Tak sedikit yang pingsan. Kehausan dan kelelahan.Â
Kami pasrah dan menunggu di tengah lautan manusia yang tidak kami kenal. Datang gelombang demi gelombang. Untungnya, ada orang baik yang berbagi air, dan petugas menyemprotkan air dari kendaraan tangki yang khusus disediakan petugas haji.
Waktu duhur pun berlalu. Panas matahari semakin terik. Terik padang pasir yang belum kami kenal sebelumnya. Belum ada tanda-tanda kami bisa menuju tenda penginapan.Â
Kami berusaha tanya ke petugas berpakain seragam setempat. Mereka hanya bisa menunjukkan arah. Kami juga tanya kepada sesama jamaah haji Indonesia, namun mereka pun juga sama, tersesat. Sedang mencari tendanya.
Ada kejadian unik. Saat itu ada sepasang suami-istri. Mereka juga tersesat seperti kami. Mengingat kondisi yang panas dan ingin segera sampai tenda untuk istirahat, mereka bertengkar hebat. (Konon ceritanya, kalau suami istri naik haji bersama, sering banyak yang bertengkar). Kami berusaha melerainya dengan baik.Â
Singkat cerita, sang suami tetap kekeh menyalahkan istrinya. Dan akhirnya mereka berpisah jalan. Suaminya pergi berusaha mencari jalan sendiri. Dan istrinya "dititipkan" kepada kami.
Sepanjang hari itu, kami terus mencari jalan ke tenda penginapan. Kami menyusuri jalan-jalan yang mirip dengan tenda-tenda yang sama berwarna putih. Memang ada bendera kebangsaan, namun kebetulan bendera merah putih tidak tampak. Karena memang jauh dari tempat tenda penginapan Indonesia.
Dalam menyusuri jalan-jalan itu, sempat ada pemuda "setempat" yang mau meminta kursi roda yang saya bawa. Dengan sedikit berdebat, saya katakan bahwa kursi roda itu hak kami untuk memakainya.Â
Sebelumnya, petugas hotel penginapan menyarankan dan memberi kertas berbetuk bendera merah putih untuk ditempelkan di kursi roda. Sarannya kami lakukan. Dan disitulah gunanya.Â