[caption caption="Laporan Keuangan BPJS Kesehatan"][/caption]Ada berita menarik di media kemarin sore dengan judul "BPJS Diminta Buka Laporan Keuangan Bulanan, Direksi Jangan Diam". Terhadap berita itu, tentu penulis berharap, BPJSK memberikan tanggapan resmi. Hanya karena narasumbernya disebut pengamat dari sebuah universitas, penulis tertarik untuk meluruskan yang penulis anggap kurang tepat.Â
1. Pengamat dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menyarankan pemerintah perlu membuka laporan keuangan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ke hadapan publik. Transparansi ini perlu dilakukan setiap bulan di tengah kota/kabupaten.
Barangkali pengaman tersebut terlewat membaca, bahwa apa yang disarankan itu sudah berjalan. Setiap bulan BPJSK melaporkan pengelolaan keuangannya kepada 4 lembaga. Batas waktunya tanggal 15 bulan berikutnya. Bisa saja kita berbeda pandangan. Kalau penulis lebih berharap bahwa 4 lembaga tersebut yang memberikan paparan kepada publik, bagaimana penilaian mereka terhadap pengelolaan keuangan oleh BPJSK.Â
Kemkeu menilai dari cara penggunaan, apakah sesuai dengan estimasi awal dan persiapan kemungkinan dana talangan bila terjadi likuiditas negatif. Kemkes menilai dari bagaimaan relevansinya dengan pelayanan kesehatan. DJSN menilai dari apakah sesuai dengan peta jalan JKN yang telah ditetapkan. OJK menilai dari kehati-hatian pengelolaan keuangan. Dengan demikian, menjadi lebih menyeluruh daripada kita justru mendesak BPJSK sendiri yang mengumumkan.Â
Penulis khawatir, lontaran agar BPJSK melaporkan secara terbuka ini lebih ke dorongan emosional, bukan atas dasar pertimbangan yang lebih rasional dan jangka panjang.Â
2. "BPJS juga harus mengumumkan ketersediaan obat dan diberi tahu ke publik setiap minggu," ujarnya, ahad (20/3).
Maaf, hal seperti ini justru berarti kita menyeret BPJSK ke hal yang bukan ranahnya. Masalah ketersediaan obat BUKAN ranah BPJSK. Kalau BPJSK dipaksa harus menangani hal itu, justru berarti kita memberi kewenangan terlalu besar kepada BPJSK. Masalah ketersediaan obat, ditangani oleh Kemenkes. Bila ada masalah, alur pengaduannya ada di Permenkes 28/2014. Artinya, kewenangan yang melaporkan soal ketersediaan, juga ada pada Kemenkes. Jangan berikan kewenangan itu kepada BPJSK.Â
[caption caption="Obat"]
Yang dimaksud ini barangkali adalah Utilization Review (UR). Setiap bulan, Faskes menyusun Laporan UR ke BPJSK. Kemudian BPJSK memberikan umpan balik dan melaporkannya kepada Kemenkes dan DJSN. Penulis merasa jauh lebih tepat bila justru Kemenkes dan DJSN yang memberikan paparan kepada masyarakat. Hal itu juga merupakan bagian dari Mekanisme Monev dalam JKN.Â
Tentu saja, paparan dari Kemenkes dan DJSN tentang UR kita harapkan tidak sekedar apa laporan BPJSK. Tetapi sekaligus bagaimana kedua lembaga itu menganalisisnya.Â
[caption caption="Monev JKN"]