Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tegak Lurus Limas JKN

2 Januari 2016   10:41 Diperbarui: 2 Januari 2016   11:51 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ditulis 25 November 2015)

Setelah sekitar 2 tahun mengikuti dinamika perjalanan JKN, ada satu hal yang menjadi ganjalan mendasar. Sependek pemahaman saya, JKN dibangun berbasis konsep “Managed Care” (Pelayanan Tertata). Makna Managed Care adalah: Suatu sistem dimana pelayanan kesehatan dan pembiayaannya (pelayanan kesehatan) diselenggarakan dan tersinkronisasi dalam kerangka kendali mutu dan biaya, sehingga menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan dengan biaya yang efisien.

Masih dalam pemahaman saya, seperti sering saya sampaikan dalam paparan JKN, managed care meniscayakan kemitraan dan kesejajaran antara tiga pihak: Peserta sebagai pengguna layanan, Fasilitas Kesehatan (Faskes) dan Tenaga Kesehatan (Nakes) sebagai penyedia layanan, dan Penyelenggara sebagai pengelola keuangan.

Dengan adanya kemitra sejajaran ini, maka ada keseimbangan hak dan kewajiban diantara ketiga pihak. Tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Ada satu perubahan penting: biasanya ketika berhadapan dengan penyedia layanan, maka bagi pasien sebagai pengguna layanan, seolah hanya ada 2 pilihan yaitu “kalah” dan “salah”.

Kondisi itu tentu tidak sehat walau jelas juga bahwa keadaan demikian bukan serta merta adalah kesalahan penyedia layanan. Sistem yang membuatnya demikian pada masa sebelumnya. Itu yang hemat saya, perubahan mendasar pada konsep JKN ini.

Gambar ke sejajaran itu biasanya digambarkan sebagai segitiga di bidang datar yang menggambarkan kesejajaran dan keseimbangan hak-kewajiban diantara para pihak.

Namun, tidak jarang kita mendengar bahwa “BPJSK bertindak seolah sebagai super-body”. Lama saya merenungi, mengapa terjadi demikian? Akhirnya saya menyimpulkan, pangkal masalahnya ada pada Pasal 24 Ayat (3) UU SJSN nomor 40/2004. Bunyi selengkapnya sebagai berikut:

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan, kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.

Ayat ini menunjukkan luasnya tugas dan tanggung jawab BPJSK. Tentu saja itu juga berarti semakin besar kewenangan BPJSK. Sebenarnya, ayat-ayat selanjutnya dalam UU dimaksud dan turunannya, telah “mengurangi” luasnya kewenangan tersebut untuk beberapa aspek: 

  1. Daftar dan harga tertinggi obat-obatan, serta bahan medis habis pakai yang dijamin, ditetapkan dengan Permenkes (pasal 25). Begitu juga dengan standar tarif pelayanan ditetapkan dengan Permenkes.
  2. Jenis pelayanan yang tidak dijamin, ditetapkan dengan Perpres (pasal 26)
  3. Besaran premi (dalam skema JKN disebut “iuran”) ditetapkan dengan Perpres (pasal 27)

Terhadap ayat (3) itu sendiri kemudian diturunkan dalam pasal 42 Pepres 12/2013. Selengkapnya merinci dan menegaskan pasal 24 ayat (3) UU SJSN tersebut bahwa:

(1) Pelayanan kesehatan kepada Peserta Jaminan Kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun