Diberitakan bahwa Aplikasi Insiden yang dirancang BPJSK termasuk yang mendapatkan penghargaan sebagai satu dari 99 Top Inovasi Pelayanan Publik tahun 2019. Ketika seorang peserta JKN mengalami kecelakaan, maka bagi RS ada pertanyaan besar: siapa yang seharusnya menanggung? Permenkeu 141/2018 memiliki 3 tabel panjang yang harus diikuti alurnya oleh RS. Tujuannya: agar tepat menentukan, kemana klaim harus diajukan. Apakah ke BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, PT Jasa Raharja, PT Taspen atau PT Asabri. Kalau salah memilih? Ya RS tidak mendapatkan klaim atas layanan yang diberikan.
Secara praktis, yang sering terjadi di lapangan: pasien datang dalam keadaan segera membutuhkan banyak pemeriksaan (foto rontgen, CT Scan, USG, laboratorium). Kemudian membutuhkan terapi (infus, obat, transfusi darah). Selanjutnya tindakan (pasang gips, operasi). Masih diteruskan perawatan segera (masuk ICU).
Atau harus segera dirujuk karena RS memang tidak sanggup merawat. Tapi sesuai standar pelayanan, bila hendak merujuk, tidak begitu saja dirujuk. RS pertama harus melakukan beberapa hal untuk meminimalkan risiko selama proses dirujuk: diperiksa dulu, diberi terapi sementara, dipasang alat untuk menjaga kondisi, baru dirujuk.
Sementara, masih belum jelas benar siapa yang menanggung. Klausul dasarnya: harus jelas dulu apakah Jasa Raharja menaggung? Kalau tidak, apakah BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen atau PT Asabri menanggung? Bila sudah jelas dan tertulis bahwa TIDAK DAPAT DITANGGUNG oleh penjamin lain, baru BPJSK akan menanggungnya. Bila TIDAK JELAS (artinya tidak jelas apakah ditanggung maupun tidak ditanggung), maka pasien tidak dapat ditanggung oleh BJSK. Terpaksa menjadi pasien umum. Artinya: harus membayar sendiri ke RS.Â
Begitu harus jadi pasien umum, RS harus "berhadapan" dengan pasien. Padahal pasien merasa "saya kan sudah pegang kartu peserta JKN, terus apa gunanya?" Di situ biasanya terjadi debat dan salah paham. Dianggap RS yang mempersulit pelayanan, padahal kondisi gawat darurat.
Memang diberi waktu maksimal 3 hari untuk memperjelas: siapa yang menanggung. Tetapi berarti risiko tetap berada dan semakin besar ditanggung oleh RS. Ketika sampai tiga hari ternyata tidak ada kejelasan, RS yang harus "menjelaskan" kepada pasien. Bukan Para Penjamin tersebut. Apalagi kalau ternyata pasien, maaf, meninggal sebelum 3 hari perawatan karena memang kondisinya berat. Padahal belum ada kejelasan siapa penjaminnya. Lebih sulit lagi bagi RS untuk menjelaskan kepada pasien. Kalau ditahan? Bisa viral: RS menahan jenazah karena belum bayar. Sungguh itu sangat berat bagi RS.
Masalah yang sering terjadi: persyaratan belum lengkap. Misalnya, ketika terjadi Kecelakaan Lalu lintas, maka harus ada Laporan Polisi, setelah itu baru PT Jasa Raharja akan memutuskan: dapat dijamin atau tidak. Apapun isi keputusannya, harus jelas dan tertulis. Baru kemudian BPJSK memutuskan. Bila tida jelas, artinya tidak ada surat tertulis dari PT Jasa Raharja, maka: terpaksa menjadi pasien umum.
Gambaran mudahnya seperti foto berikut ini. Foto ini merangkum "secara sederhana" isi dari Permenkeu 141/2018. Siapa yang HARUS memilih dan memutuskan saat itu? RS. Bukan BPJSK, BPJSTK, Jasa Raharga dan lain-lain tersebut. Mereka terima jadi pilihan RS. Jadi RS yang harus menentukan, mau "klik" yang mana. Kalau salah pilih? Ya risiko bagi RS tidak dapat mengajukan klaim. Ibaratnya: salah RS sendiri, ya risiko ditanggung RS sendiri.
BPJSK menjelaskan bahwa aplikasi Insiden berusaha membantu menghadapi situasi tersebut. Yang sudah terangkum di dalamnya adalah: RS dapat melaporkan secara digital ketika ada peserta JKN mengalami kecelakaan. Harapannya: lebih cepat, dapat dipantau, karena ada laporannya.
Tetapi ada satu langkah yang tetap harus manual: Laporan Polisi. Padahal tanpa surat itu, PT Jasa Raharja tidak dapat memutuskan. Kalau JR tidak dapat memutuskan? BPJSK juga tidak dapat memutuskan. Akibatnya? Pasien terpaksa menjadi pasien umum.
Siapa yang harus lapor polisi? Dari pihak pasien atau keluarganya. Masih untung, bukan RS juga harus lapor ke polisi.
Dapat dibayangkan, itulah kondisi yang dihadapi RS saat ada peserta JKN mengalami kecelakaan. Ada dua hal yang sama-sama tidak bisa ditinggalkan: menolong pasien karena rata-rata kegawatan, dan mengurus proses penjaminan agar tidak salah pilih yang berakibat tidak dapat diajukan klaimnya. Dibalik dua hal tersebut, ada risiko: salah paham dari pasien dan keluarganya, lebih-lebih masyarakat.
Belum lagi, yang dipaparkan ini baru tentang kejadian kecelakaan. Belum kalau terkait Penyakit Akibat Kerja.
Harapan RS sebenarnya sederhana. Cukuplah kami bertugas melayani sebaik-baiknya. Sesuai standar pelayanan medis. Soal-soal lainnya, mangga silakan yang berkepentingan.
Praktisnya: Pasien KLL datang, terbukti peserta JKN, kami melayani sebaik-baiknya, klaim ke BPJSK. Perkara nanti jadi tanggungannya BPJSTK, Jasa Raharja, Taspen dan Asabri, mangga silakan antar lembaga itu saling mengurus sendiri.
Jadi, sebenarnya aplikasi Insiden itu lebih tepat dipakai oleh BPJSK bersama-sama Penjamin yang lain. Bukan oleh RS. Bukankah demikian esensi dari Koordinasi Manfaat antar Penjamin? Bukankah kita semua sama-sama berorientasi pada melayani masyarakat?
Jadi, harapan RS itu bukan karena RS tidak peduli. Justru karena kami peduli pada pelayanan terbaik bagi masyarakat, maka sebaiknya tidak dibebani di luar tugas intinya. Sedangkan tugas-tugas terkait penjaminan, sebaiknya diselesaikan antar penjamin. Semua demi masyarakat.
Mangga. Nuwun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H