Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Aplikasi Insiden: Seharusnya untuk Para Penjamin, Bukan untuk RS

19 November 2019   19:08 Diperbarui: 19 November 2019   19:39 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
screenshoot dari BPJS

Diberitakan bahwa Aplikasi Insiden yang dirancang BPJSK termasuk yang mendapatkan penghargaan sebagai satu dari 99 Top Inovasi Pelayanan Publik tahun 2019. Ketika seorang peserta JKN mengalami kecelakaan, maka bagi RS ada pertanyaan besar: siapa yang seharusnya menanggung? Permenkeu 141/2018 memiliki 3 tabel panjang yang harus diikuti alurnya oleh RS. Tujuannya: agar tepat menentukan, kemana klaim harus diajukan. Apakah ke BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, PT Jasa Raharja, PT Taspen atau PT Asabri. Kalau salah memilih? Ya RS tidak mendapatkan klaim atas layanan yang diberikan.

Secara praktis, yang sering terjadi di lapangan: pasien datang dalam keadaan segera membutuhkan banyak pemeriksaan (foto rontgen, CT Scan, USG, laboratorium). Kemudian membutuhkan terapi (infus, obat, transfusi darah). Selanjutnya tindakan (pasang gips, operasi). Masih diteruskan perawatan segera (masuk ICU).

Atau harus segera dirujuk karena RS memang tidak sanggup merawat. Tapi sesuai standar pelayanan, bila hendak merujuk, tidak begitu saja dirujuk. RS pertama harus melakukan beberapa hal untuk meminimalkan risiko selama proses dirujuk: diperiksa dulu, diberi terapi sementara, dipasang alat untuk menjaga kondisi, baru dirujuk.

Sementara, masih belum jelas benar siapa yang menanggung. Klausul dasarnya: harus jelas dulu apakah Jasa Raharja menaggung? Kalau tidak, apakah BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen atau PT Asabri menanggung? Bila sudah jelas dan tertulis bahwa TIDAK DAPAT DITANGGUNG oleh penjamin lain, baru BPJSK akan menanggungnya. Bila TIDAK JELAS (artinya tidak jelas apakah ditanggung maupun tidak ditanggung), maka pasien tidak dapat ditanggung oleh BJSK. Terpaksa menjadi pasien umum. Artinya: harus membayar sendiri ke RS. 

Begitu harus jadi pasien umum, RS harus "berhadapan" dengan pasien. Padahal pasien merasa "saya kan sudah pegang kartu peserta JKN, terus apa gunanya?" Di situ biasanya terjadi debat dan salah paham. Dianggap RS yang mempersulit pelayanan, padahal kondisi gawat darurat.

Memang diberi waktu maksimal 3 hari untuk memperjelas: siapa yang menanggung. Tetapi berarti risiko tetap berada dan semakin besar ditanggung oleh RS. Ketika sampai tiga hari ternyata tidak ada kejelasan, RS yang harus "menjelaskan" kepada pasien. Bukan Para Penjamin tersebut. Apalagi kalau ternyata pasien, maaf, meninggal sebelum 3 hari perawatan karena memang kondisinya berat. Padahal belum ada kejelasan siapa penjaminnya. Lebih sulit lagi bagi RS untuk menjelaskan kepada pasien. Kalau ditahan? Bisa viral: RS menahan jenazah karena belum bayar. Sungguh itu sangat berat bagi RS.

Masalah yang sering terjadi: persyaratan belum lengkap. Misalnya, ketika terjadi Kecelakaan Lalu lintas, maka harus ada Laporan Polisi, setelah itu baru PT Jasa Raharja akan memutuskan: dapat dijamin atau tidak. Apapun isi keputusannya, harus jelas dan tertulis. Baru kemudian BPJSK memutuskan. Bila tida jelas, artinya tidak ada surat tertulis dari PT Jasa Raharja, maka: terpaksa menjadi pasien umum.

Gambaran mudahnya seperti foto berikut ini. Foto ini merangkum "secara sederhana" isi dari Permenkeu 141/2018. Siapa yang HARUS memilih dan memutuskan saat itu? RS. Bukan BPJSK, BPJSTK, Jasa Raharga dan lain-lain tersebut. Mereka terima jadi pilihan RS. Jadi RS yang harus menentukan, mau "klik" yang mana. Kalau salah pilih? Ya risiko bagi RS tidak dapat mengajukan klaim. Ibaratnya: salah RS sendiri, ya risiko ditanggung RS sendiri.

screenshoot dari BPJS
screenshoot dari BPJS

BPJSK menjelaskan bahwa aplikasi Insiden berusaha membantu menghadapi situasi tersebut. Yang sudah terangkum di dalamnya adalah: RS dapat melaporkan secara digital ketika ada peserta JKN mengalami kecelakaan. Harapannya: lebih cepat, dapat dipantau, karena ada laporannya.

Tetapi ada satu langkah yang tetap harus manual: Laporan Polisi. Padahal tanpa surat itu, PT Jasa Raharja tidak dapat memutuskan. Kalau JR tidak dapat memutuskan? BPJSK juga tidak dapat memutuskan. Akibatnya? Pasien terpaksa menjadi pasien umum.

Siapa yang harus lapor polisi? Dari pihak pasien atau keluarganya. Masih untung, bukan RS juga harus lapor ke polisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun