Beberapa waktu lalu ada pernyataan anggota DPR tentang pemidanaan RS yang menolak pasien. Sebenarnya pernyataan ini bukan pernyataan baru. Sejak akhir tahun 2013, sudah pernah pula dilontarkan oleh anggota legislatif yang sama.
Pernyaan ini secara tekstual memang benar. Pasal 32 dan 190 UU Kesehatan no 36/2009 memang menyatakan:
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Sedangkan pasal 190 UU yang sama, mengatur tentang ancaman pidana bila dengan sengaja tidak memenuhi ketentuan pasal 32 tersebut.
Secara individual, dokter juga terkena kewajiban tersebut, lengkap dengan ancaman pidananya, sesuai UU Praktek Kedokteran 29/2004 (pernah diulas dalam salah satu tulisan terdahulu).
Berarti mau tidak mau harus demikian ya? RS dan Dokter akan dipidana bila menolak? Mari kita kupas dengan lebih jernih. Pasal-pasal yang disebutkan itu, merujuk pada kondisi kegawat daruratan (emergensi). Jadi bukan dalam kondisi biasa atau umum. Apa yang dimaksud kondisi emergensi? Pasal 1 butir (2) UU RS no 44/2009 menyebutkan: "2. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut."
Bahkan tanpa uang muka? Betul, dalam kondisi emergensi, tidak boleh menarik uang muka. Dalam kondisi bencana atau kejadian luar biasa, tanggung jawab pembiayaan ada pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 6 UU RS no 44/2009 menyebutkan tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Kesehatan di RS, bunyi pada huruf (h): "h. menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa."Â
Bagaimana pelaksanaan tugas pemerintah dan pemda tersebut? Untuk saat ini, digunakan mekanisme JKN-BPJS. Untuk Faskes (Fasilitas Kesehatan) yang telah bekerja sama dengan BPJS, pelayanan emergensi diberikan tanpa mensyaratkan rujukan berjenjang. Artinya tidak harus urut dari Faskes paling bawah dulu (PPK 1), bisa langsung ke RS (PPK 2 atau PPK 3).Â
Biaya kondisi emergensi itu masuk dalam tarif INA-CBGs yang ditetapkan. Sedangkan untuk Faskes yang belum atau tidak bekerjasama, pasien tetap harus ditangani, kemudian setelah stabil, pasien dirujuk ke Faskes yang sudah bekerja sama dengan BPJS. Biaya yang dikeluarkan Faskes pertama tersebut, bisa dimintakan kompensasi ke BPJS dengan besaran seperti tarif rawat jalan di INA-CBGs.Â
Pasien pada Faskes yang belum bekerja sama ini, harus dirujuk ke Faskes yang sudah bekerja sama dengan BPJS, agar bisa ditanggung. Bila pasien tidak mau dirujuk, atau sudah diverifikasi oleh BPJS bahwa ada hambatan untuk merujuk sehingga harus dirawat inap, maka selanjutnya tidak lagi menjadi tanggungan BPJS. Poin penting dalam hal ini adalah, pasal 29 UU RS no 44/2009 menyatakan salah satu kewajiban RS adalah: "c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya"