Sebagai sebuah sistem, INA-CBGs sebenarnya bukan barang baru. Dipersiapkan sejak 2006, sistem CBG (waktu itu disebut DRG) mulai diterapkan untuk Program Jamkesmas. Hanya waktu itu baru diterapkan pada Saudara-saudara kita yang kurang mampu, sekitar 32% penduduk, khusus di kelas 3, dan di RS pemerintah. Relatif tidak banyak keluhan, meski sebenarnya bukan tanpa masalah.
Ketika diterapkan ke JKN, program ini meliputi 40% penduduk di awal, dan terus berkembang sampai 72% penduduk sudah menjadi peserta saat ini. Bahkan pada tahun 2019, ditargetkan minimal mencakup 95%. Program ini juga diterapkan pada semua RS yang memenuhi syarat, di kelas 1, 2, 3 bahkan menyentuh kelas VIP. Banyak yang sudah mendapatkan manfaat dari Program JKN, dibandingkan era sebelum JKN. Banyak juga sisi positif untuk pelayanan kesehatan. Tetapi relatif banyak juga keluhan dan masalah yang timbul, apalagi di tahun pertama JKN. Meskipun sudah berkurang, tetapi sampai saat ini pun masih banyak masalah. Biasanya ditutup dengan bahasa halus "yah, namanya sosial, membantu yang kurang mampu".Â
Sedangkan data coding akan makin "cerdas" bila berbasis kuat juga pada data-data kasus dalam rentang waktu cukup lama, di area cukup luas dan bervariasi, serta pada jumlah peserta atau pasien yang makin banyak. Maka setelah JKN berjalan 4 tahun, kita dorong agar dilakukan reklasifikasi dan regrouping agar logic thinking (alur pikir) kode dalam aplikasi INA-CBGs akan makin sensitif dan spesifik.
Begitupun ternyata, meski ramuan data costing dan coding sudah optimal, masih ada faktor berikutnya: kecukupan fiskal. Hasil perhitungan tarif, tetap harus mempertimbangkan kecukupan dan keberlangsungan program JKN (pasal 39 Perpres 19/2016). Sampai disini kembali ke soal komitmen dan prioritas. Ketika ruang fiskal ternyata belum cukup, maka tarif jadi tidak sesuai hasil perhitungan. Tapi ujung-ujungnya, sistem INA-CBGs nya yang dituding sebagai penyebabnya. Padahal masalahnya lebih pada "amunisi" nya, bukan sistem CBGs nya.
Bila memang disepakati bahwa ruang fiskal belum cukup, maka regulasi JKN sebenarnya memberi pilihan untuk ruang urun biaya secara terkendali: artinya tidak kemudian dilepas bebas. Sumber urun biaya bisa dari peserta sendiri, maupun melalui CoB dengan pemberi kerja atau asuransi kesehatan tambahan. Bahkan sebenarnya JKN juga mengamanahkan untuk menuju suatu kelas standar saja, sedang selebihnya, silakan melalui urun biaya.
Ditambah lagi, variasi kapasitas manajerial dan SDM di Faskes-faskes khususnya di DPTK (Daerah Perbatasan, Terpencil dan Kepulauan). Untuk area-area tersebut, perlu dipertimbangkan adanya cara lain dalam pembayaran pembiayaan kesehatan. Prinsip tetap menuju INA-CBGs tetapi secara bertahap. Sementara itu perlu pengampuan dan pendampingan, termasuk digunakan cara lain seperti Global Budget atau bahkan Fee for service untuk beberap item pelayanan tertentu.
Mari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H