Berbicara soal defisit Dana Jaminan Sosial bidang Kesehatan (DJS, atau untuk mudahnya disebut Dana JKN), tentu rumus yang mudahnya:
Saldo Dana JKN adalah hasil perhitungan dari Iuran yang terkumpul dikurangi Biaya Pelayanan Kesehatan yang harus dicairkan dan Biaya Operasional yang harus dikeluarkan.
Besaran biaya pelayanan kesehatan, sudah menggunakan tarif yang ditetapkan Permenkes. Rujukan berjenjang sudah ditetapkan, aturan verifikasi sudah ditetapkan, dorongan ke sisi FKTP melalui Norma Kapitasi dan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan telah dijalankan. Begitu juga, soal fraud terus didengungkan. Potensi inefisiensi dari sisi penyedia pelayanan, memang masih ada. Tetapi tentu saja justru kecil, karena ikatan aturan sudah begitu ketat.
Besaran iuran terkumpul, paling mudah dipengaruhi oleh berapa cakupan kepesertaan dan berapa kolektabilitas iurannya. Semakin tinggi pada kedua faktor, maka semakin besar iuran terkumpul. Tentu saja, faktor dasarnya adalah berapa besaran iurannya. Tetapi setelah besaran iuran ditetapkan, maka analisis selanjutnya yang akan menentukan adalah dua faktor tadi: berapa cakupan peserta dan berapa kolektabilitas iurannya?
Untuk dua faktor ini, hanya BPJSK yang bisa menjawabnya berbasis data dan kinerja. Berbicara kinerja, tentu juga terkait dengan Biaya Operasional yang telah dianggarkan dan dikeluarkan.
Setelah itu, berarti akan diketahui dengan jelas berapa Saldo Dana JKN: postif atau negatif.
Ukuran positifnya adalah:
1. Minimal dapat memenuhi biaya klaim setengah bulan ke depan
2. Maksimal memenuhi 6 bulan biaya klaim ke depan.
Di luar rumus baku tadi, banyaknya uang yang tersedia untuk Dana JKN juga dapat diperoleh dar penambahan melalui 3 sumber :
1. Hasil pengembangan melalui mekanisme investasi yang diatur ketat dalam regulasi, agar justru tidak mengganggu kelancaran pencairan klaim biaya pelayanan kesehatan dan biaya operasional.
2. Pengalihan aset BPJSK (hasil pengalihan dari PT Askes saat dilikuidasi di 31 Desember 2013 menjadi BPJSK pada 1 Januari 2014) menjadi Dana JKN.
3. Dana talangan (atau apapun nama yang digunakan) oleh pemerintah untuk menjaga Saldo Dana JKN tetap positif.
Dalam beberapa hari terakhir diberitakan bahwa Pada semester I 2017 iuran peserta hanya Rp35,96 triliun sementara klaim Rp41,18 triliun. Artinya rasio klaim 114%. Per Agustus 2017 defisit BPJS Kesehatan Rp8,52 triliun dan hingga akhir tahun ini diperkirakan melebihi Rp10 triliun.
Padahal estimasi di APNB 2017, besaran defisit terbesar pada angka 8,3 T. Besaran itu berbasis asumsi cakupan kepesertaan sesuai target, klaim rasio 99-104%, kolektabilitas iuran 95% untuk PBI dan PPU serta 65-90% untuk PBPU. Kalau di Agustus saja sudah mencapai 8,52 T maka pertanyaan mendasarnya: dimana melesetnya estimasi tersebut? Cakupannya? Kolektabilitasnya? Klaim rasionya?
Kalau klaim rasio, kita kembali bertanya soal serangkaian aturan yang sudah disusun. Hemat penulis, dalam hal ini, jelas tidak mutlak salahnya penyedia layanan. Tetapi lebih pada kenyataan kondisi di lapangan. Soal ketersediaan faskes dan nakes, sesuai dengan standar dan baku mutu, adalah tanggung jawab Pemerintah dan Pemda (UU SJSN dan Perpres JKN). Jelas tidak tepat bisa disandarkan pada semata-mata penyedia pelayanan.
Soal cakupan dan kolektabilitas? Sekali lagi, sebaiknya ini disampaikan terbuka daripada menjadi prasangka.
Saat ini, masalah yang sudah jelas di depan mata adalah menjaga ketersediaan, kelancaran dan kesinambungan JKN untuk akhir tahun 2017. Bila tidak dijaga, maka kepercayaan terhadap program JKN akan terancam.
Selanjutnya, mari bersama perbaiki agar tahun depan tidak terulang lagi terjadinya defisit atau mencegah risiko defisit bertambah berat.
Jadi kuncinya: mari saling terbuka, untuk bersama berbenah diri.
Selamat Hari Kesehatan 12 November 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H