Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

ICW dan Dugaan Penyimpangan Dana JKN

15 September 2017   16:14 Diperbarui: 15 September 2017   20:46 1826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas hari ini memuat berita dengan judul "ICW Temukan Dana JKN Diselewengkan". Sub judulnya menyebutkan bahwa "Klaim Biaya Ke BPJS Kesehatan Digelembungkan". Berita itu didasarkan pada keterangan dari ICW pada hari Kamis 14 September 2017. Ada beberapa poin menarik dalam berita tersebut, yang perlu dijernihkan.  

Dalam salah satu bagian berita disebutkan bahwa "... pasien rawat inap sudah dinyatakan sembuh oleh dokter, tetapi rumah sakit tidak mengijinkan pulang dan meminta pasien dirawat lebih lama, sehingga tagihan yang dibebankan kepada pasien lebih banyak". Dalam konsep JKN, informasi ini menjadi rancu. Sepertinya ada pemahaman yang justru terbalik.  

screen-shot-2017-09-15-at-3-46-05-pm-59bb938c2d622c57164ed944.png
screen-shot-2017-09-15-at-3-46-05-pm-59bb938c2d622c57164ed944.png
Memasuki era JKN, terjadi perubahan paradigma sangat berbeda dari era sebelumnya.Pada era JKN, yang didorong adalah Efektifitas dan Efisiensi. Faskes seperti rumah sakit (RS) harus berusaha optimal. Prinsip dasarnya adalah memenuhi kebutuhan medis pasien. Bila kebutuhan medis sudah terpenuhi, dan pasien sudah layak dipulangkan, maka tentu segera pasien dipulangkan. Selanjutnya tempat di RS tersebut dapat disediakan bagi pasien lain yang juga membutuhkan pelayanan kesehatan. 

Berlama-lama "menahan" pasien padalah sudah layak dipulangkan, artinya RS justru melakukan kinerja yang tidak efisien. Justru biaya perawatan akan semakin tinggi. Siapa yang menanggung? Klaim dari BPJSK, akan tetap nilainya, walau dirawat lebih lama. Jadi yang menanggung risiko biaya adalah RS itu sendiri. Sama sekali bukan pasiennya. Karena itulah, temuan dalam berita tersebut justru rancu. 

Demikian pula pada bagian lain ada pernyataan bahwa "... pasien rawat inap, ketika diinfus, belum habis infusnya, sudah diganti infus baru". Sesuai konsep efektif dan efisien, dan prinsip memenuhi kebutuhan medis, maka pemberian maupun penggantian infus, berbasis pada indikasi. Bila memang dibutuhkan, maka akan diberikan. Bila memang sudah tidak dibutuhkan, maka akan dilepas. 

Dari sisi dugaan "menggelembungkan klaim", maka pernyataan itu kembali rancu. Dengan justru melakukan penggantian infus, maka risiko biaya ada pada RS, bukan pada pasien. Dengan demikian, tidak ada penggelembungan klaim dengan langkah tersebut. 

Juga, tidak tepat pernyataan bahwa "... dalam sistem INA-CBGs, sudah ditentukan paket obat dan perawatannya". Tarif INA-CBGs ditetapkan sesuai grup diagnosis. Terhadap grup itu, ditetapkan besaran klaim sekian rupiah. Bagaimana RS mendayagunakan besaran klaim tersebut, menjadi wilayah RS itu sendiri. Dasar dan basisnya adalah Standar Pelayanan. Jadi tarif INA-CBGs tidak menentukan apa obatnya dan seperti apa perawatannya. 

Tantangan besar bagi RS saat ini adalah menjaga keseimbangan secara hati-hati agar pelayanannya efektif secara mutu dan efisien secara biaya. Ini memang bagai menyisir bibir jurang, meniti jalan sempit. Karena itu memang dukugan dari masyarakat sangat diharapkan juga agar RS tetap terkawal dan berhasil menjalankan misinya. 

Pemahaman-pemahaman seperti dijelaskan terhadap isi berita ini sangat penting, agar tidak timbul salah paham. Apalagi bila kemudian dikaitkan dengan dugaan penggelembungan klaim. Pasalnya, itu merupakan dugaan (dan tuduhan) yang sangat serius. Ancamannya dari perdata sampai pidana. Maka diharapkan tentu pembahasannya harus sangat berhati-hati. Bukan tidak mungkin, kecurigaan yang kurang tepat seperti ini, membuat langkah RS semakin berat dalam meniti jalan sempit antara mutu dan efisiensi tadi. 

Kita menghargai ICW karena juga menyebutkan bahwa yang berpotensi melakukan kecurangan dalam JKN, tidak hanya Faskes dan Nakes. Peserta, Petugas BPJSK maupun penyedia obat dan alkes pun berpeluang. Atas nama kehati-hatian bersama, ada baiknya juga diharapkan ICW menjelaskan temuan atau analisisnya terhadap potensi kecurangan para pihak tersebut. Semata untuk menjaga kelancaran dan kesinambungan program JKN. 

Ada 3 aspek untuk keberhasilan program JKN: Ketersediaan, Kelancaran dan Kesinambungan. Peran masyarakat, termasuk ICW, sangat diharapkan untuk bersama-sama mengawal Program JKN pada 3 aspek tersebut. Termasuk juga mengawal ketersediaan anggaran bagi kelompok PBI, maupun anggaran untuk menjaga ketersediaan Nakes dan Sarpras Kesehatan terutama di daerah-daerah perbatasan, terpencil dan kepulauan. 

Mari bersama-sama mensukseskan JKN. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun