Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kondisi Gawat, Bagaimana Seharusnya RS Bukan Mitra BPJSK Bertindak?

12 September 2017   16:12 Diperbarui: 13 Oktober 2017   08:42 5950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN

Banyak yang bertanya tentang berita di Kompas berikut yang berjudul BPJS Bayar Biaya Gawat Darurat Termasuk di RS yang Belum Bermitra. Terhadap berita itu ada yang mengatakan "kok baru sekarang dijelaskan". Sebenarnya aturan itu sudah ada sejak awal, bahkan sebelum JKN dimulai. 

Pertama, adalah pasal 23 UU SJSN 40/2004:

(2) Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Kemudian diturunkan dalam pasal 33 Perpres 12/2013

(1) Peserta yang memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung memperoleh pelayanan di setiap Fasilitas Kesehatan.

(2) Peserta yang menerima pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, harus segera dirujuk ke Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan.

Tentang cara pembayaran, dirinci pada pasal 40:

(1) Pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan yang tidak menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan dibayar dengan penggantian biaya.

(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagihkan langsung oleh Fasilitas Kesehatan kepada BPJS Kesehatan.

(3) BPJS Kesehatan memberikan pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setara dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biaya pelayanan gawat darurat diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan.

Selanjutnya diturunkan dalam Permenkes 71/2013 terdapat klausul tentang biaya ambulans:

Pasal 29
(2) Pelayanan Ambulan hanya dijamin bila rujukan dilakukan pada Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS atau pada kasus gawat darurat dari Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dengan tujuan penyelamatan nyawa pasien. 

maupun kompensasi:
Pasal 30
(4) Kompensasi dalam bentuk penggantian uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa penggantian atas biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. 

Saat JKN dimulai, Permenkes 69/2013 belum memuat tarif kompensasi bila ada layanan gawat darurat di RS yang belum bekerjasama ini. Baru tanggal 16 Januari 2014, terbit SE Menkes no 31/2014 yang salah satunya menjelaskan tentang kompensasi tersebut. 

screen-shot-2017-09-12-at-2-22-27-pm-59b78b40830de03c851482c2.png
screen-shot-2017-09-12-at-2-22-27-pm-59b78b40830de03c851482c2.png
Selanjutnya pada Permenkes 28/2014 disebutkan bahwa:

3. Pelayanan Kegawatdaruratan (Emergency): 

a. Pada keadaan kegawatdaruratan (emergency), seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) baik fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan atau belum bekerja sama, wajib memberikan pelayanan penanganan pertama kepada peserta JKN. 

b. Fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan menarik biaya kepada peserta. 

c. Fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus segera merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan 

Terkait cara pembayarannya:

13. FKTP dan FKRTL yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan menagihkan biaya pelayanan gawat darurat secara langsung kepada BPJS Kesehatan. 

14. BPJS Kesehatan membayar biaya pelayanan gawat darurat menggunakan tarif INA CBGs sesuai dengan penetapan kelas rumah sakit oleh Menteri Kesehatan dan regionalisasi tarif yang berlaku di wilayah tersebut. 

Besarannya, pada Permenkes 59/2014:

Pasal 14

BPJS Kesehatan memberikan pembayaran kepada FKTP yang tidak bekerjasama untuk pelayanan gawat darurat dengan tarif yang berlaku pada fasilitas kesehatan tersebut.

Pasal 18

(1) BPJS Kesehatan dapat memberikan pembayaran kepada FKRTL yang tidak bekerjasama yang melakukan pelayanan gawat darurat kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional.

(2) Pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar sesuai tarif INA-CBG's berdasarkan penetapan kelas.

Kalimatnya sedikit direvisi pada Permenkes 52/2016:

Pasal 18

(1) BPJS Kesehatan dapat memberikan pembayaran kepada FKRTL yang tidak bekerjasama yang melakukan pelayanan gawat darurat kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional.

(2) Klaim pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagihkan kepada BPJS Kesehatan sesuai tarif INA-CBG berdasarkan kelompok tarif INA-CBG sesuai kelas rumah sakit yang ditetapkan.

Pada Perpes 19/2016, ada penegasan lagi bahwa: 

Pasal 36A

(1) Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dilarang menarik biaya pelayanan kesehatan kepada Peserta selama Peserta mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya.

(2) Dalam hal pemberian pelayanan gawat darurat, Fasilitas Kesehatan baik yang bekerja sama maupun yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dilarang menarik biaya pelayanan kesehatan kepada Peserta.

Bagaimana kriteria gawat darurat?

Sudah dibahas pada tulisan sebelumnya bahwa tidak ada kriteria Gawat Darurat BPJS.

Tapi pada pasal 40 Perpres 12/2013 itu juga dikatakan soal kegawat daruratan itu kewenangan BPJSK?

Yang menjadi perdebatan biasanya pada ayat (5):

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biaya pelayanan gawat darurat diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan.

Seperti ditulis pada bagian sebelumnya, yang diatur pada pasal 40 itu sebenarnya hanya khusus tentang cara pembayarannya. Penulis pernah menanyakan ayat tersebut kepada Biro Hukum Kemkes, dijelaskan bahwa yang diatur dalam pasal 40 itu bukan tentang kriteria gawat daruratnya, tetapi tentang teknis pelayanan kegawat daruratan dan penggantian biayanya. 

Rincian lebih lanjut dari amanah ayat (5) itu ada di Peraturan BPJSK nomor 1/2014:

Pasal 65 

(1) Penagihan pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dibayar sesuai degan INA-CBG’s. 

(2) Penagihan pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan ditagihkan secara langsung oleh fasilitas kesehatan kepada BPJS Kesehatan. 

(3) Pembayaran pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan tarif INA-CBG’s yang berlaku di wilayah tersebut. 

(4) Tarif INA-CBG’s sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan kelas Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Menteri. 

(5) Rumah Sakit yang belum memiliki penetapan kelas, menggunakan tarif INA-CBG’s Rumah Sakit kelas D. 

Jadi isinya tidak menyangkut tentang kriteri gawat darurat. Pada Pedoman Pelaksanaan yang diterbitkan BPJSK, terkait kriteria kegawat daruratan itu tetap mengacu pada Permenkes 416/2011 yang terbit pada era Askes. Pembahasan lebih lanjut ada pada tulisan sebelumnya. 

Berapa besaran tarif penggantian tersebut?

Jadi ketika peserta JKN dibawa ke IGD RS yang belum bekerjasama dengan BPJSK, maka RS dimaksud mengajukan klaim ke BPJSK dan akan mendapatkan penggantian sebagai pasien rawat jalan. Klausulnya: setelah stabil, pasien dirujuk ke RS yang bekerjasama. Biaya ambulans juga diganti sesuai standar tarif ambulans setempat. Demikian yang selama ini berjalan di lapangan. 

Tetapi kalau pasien tidak mungkin dirujuk karena kondisinya tidak memungkinkan, maka memang pilihannya menjadi tidak mudah. Terpaksa pasien dilanjutkan rawat inap di RS yang belum bekerjasama tersebut. Tentu saja kemudian berarti klausulnya menjadi pasien biasa, tanpa tanggungan JKN. 

Pada titik inilah memang menjadi krusial. Perlu kejernihan dan komunikasi, agar tidak timbul salah paham. Maka patut disyukuri langkah Kemenkes menyusun Draft Permenkes tentang Kegawatdaruratan dan BPJSK menyusun draft Peraturan BPJSK tentang Penjaminan pada Kegawatdaruratan. Soal Teknis-Medis kegawatdaruratan adalah ranah Kemenkes. Sedangkan soal cara penjaminannya, menjadi ranah BPJSK. Semoga kedua regulasi itu nanti dapat mendudukkan pada tempatnya dan menjernihkan kesalahpahaman di lapangan.

Demikian. 

Mangga. 

@Menunggu terbang dari Padang ke Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun