Awalnya, defisit 2016 diestimasikan 9,25 T. Kemudian terbit Perpres 19/2016 yang menyesuaikan besaran iuran, maka diperkirakan ada tambahan 2,19 T. Dengan demikian, estimasi defisitnya adalah 7,1 T untuk 2016. Untuk itu, pemerintah mengalokasikan dana cadangan 6,8 T.
Dari situ sudah terlihat bahwa pemerintah memang "mengharuskan" BPJSK berusaha sekuat tenaga agar estimasi defisit itu dapat ditekan lagi: estimasi 7,1 disediakan cadangan 6,8. Nampaknya ini cerminan dari amanah pasal 24 ayat 3 UU SJSN 40/2004: BPJSK harus mengusahakan efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kesehatan.
Frase "efisiensi dan efektivitas" ini adalah apa adanya dari bunyi UU. Padahal esensi pelayanan kesehatan adalah "kendali mutu dan kendali biaya" sehingga seharusnya urutannya yang rasional adalah efektivitas dan efisiensi.
Tetapi apapun adanya, itulah yang terjadi. Bahkan di tahun 2017 inipun, kembali terulang. Estimasi optimis menunjukkan perhitungan defisit 4,3 sedangkan bila terjadi skenario terburuk, diperkirakan defisit mencapai 8,2 T. Namun dalam APBN 2017, pemerintah hanya menyediakan cadangan 3,6 T.
Setahun lalu berita ini dilaporkan di media nasional: estimasi defisit DJS 2016 sebesar 7 T. Sekarang justru kita bingung tentang data. Berita akhir Desember, disebutkan bahwa besaran iuran terkumpul 167,7 T sedangkan biaya pelayanan kesehatan mencapai 167,2 Apakah berarti tidak terjadi defisit?
Diduga kuat data itu memang belum final, karena dinamika regulasi akhir tahun waktu itu. Tetapi yang jelas, PP 71/2016 menyatakan pemerintah menempatkan dana sebesar 6,82 T sebagai Penyertaan Modal Negara untuk menutup defisit Dana Jaminan Sosial.
Tetapi akhir Maret kemarin, terberitakan laporan dari Kemenko PMK bahwa defisit DJS untuk 2016 adalah 9,7 T. Mana yang benar? Atau yang lebih penting lagi: bagaimana sebenarnya perhitungannya?
Bila benar defisit DJS mencapai 9,7 T itu berarti bahkan melebihi prediksi awal 9,25 T. Padahal defisit 9,25 T itu diestimasikan bila tidak ada penyesuaian iuran. Mengapa bahkan setelah penyesuaian iuran, justru defisitnya bertambah? Apakah target penambahan dari pengumpulan iuran sebesar 2,19 setelah penyesuaian itu ternyata tidak tercapai?
Nampaknya memang perlu dicermati bersama apakah penambahan peserta baru yang tidak mencapai target? Ataukah keberhasilan pengumpulan iuran dari peserta yang tidak tercapai?
Atau kah, bisa saja diargumentasikan walau sulit diterima, bahwa biaya pelayanan kesehatan melebihi estimasinya? Mengapa sulit diterima, karena tentu dengan usaha efisiensi yang dilakukan oleh BPJSK maupun tentu saja pemberi pelayanan, maka kalaupun benar melebihi estimasi, angkanya tidak akan banyak melebihi estimasi.
Mengapa "angkanya tidak akan banyak melebihi estimasi"? Karena jelas kendalinya: ajuan klaim, verifikasi, dan pencegahan kecurangan. Betul memang kita belum mencapai efisiensi maksimal. Tetapi jelas tidak akan jauh melebihi estimasi. Terbukti sejak 2014 dan dan 2015, hasil akhir penggunaan DJS selalu di bawah estimasi defisitnya. Estimasi 3,5 T di tahun 2014 terbukti akhirnya hanya 3,2 T. Estimasi 6 T di 2015 terbukti akhirnya hanya 5,85 T.
Hal-hal seperti ini lebih penting untuk dijelaskan. Lebih dari sekedar mengkonfirmasikan mana data defisit yang benar. Karena dari sana lah kita bisa banyak belajar agar JKN semakin sesuai harapan.
Untuk memulainya, kiranya kita banyak berharap kepada Kemenkes, Kemenkeu, DJSN dan OJK untuk secara sendiri maupun bersama-sama, memberikan laporan akuntabilitas pengelolaan JKN oleh BPJSK sesuai dengan ranah masing-masing.
Hal demikian tidak untuk menempatkan BPJSK sebagai seolah pelaku tunggal atau penyebab dari terjadinya defisit (atau lebih jauh lagi pencapaian target JKN). Adanya laporan hasil pengawasan oleh lembaga lain, adalah wujud nyata dari prinsip check-and-balances dalam implementasi sistem demokrasi.
Hal yang demikian juga terjadi ketika antara BPJSK dan Provider (penyedia layanan) untuk dapat saling memberi masukan. Asal semua dalam semangat "demi NKRI", maka mari saling memperbaiki.
Bagaimana kalau diawali dari mengurai soal defisit ini? Barangkali satu hal yang jelas adalah penegakan aturan terkait kewajiban menjadi peserta JKN dan tentu saja kewajiban membayar iuran.
Adanya "masalah" dalam pengumpulan iuran, berujung pada pasokan dana untuk pelayanan kesehatan. Aliran berikutnya: strategic purchasing. Tidak ada yang salah secara filosofi: negara "membeli" pelayanan kesehatan yang sesuai standar secara efektif dan efisien.
Itu wajar, itu sudah seharusnya. Masalahnya, kalau konsep itu didasarkan pada aliran dana yang "bermasalah", maka risikonya justru merusak filosofi strategic purchasing itu sendiri. Bukan tidak mungkin justru pelayanan kesehatan seharusnya menjadi ujung tombak, terpaksa dijadikan ujung tombok.
Bila itu yang terjadi, maka harapan bersama JKN untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh NKRI, akan semakin jauh dari harapan kita.
Mari.
#SalamKawalJKN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H