Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Janin dalam Kandungan, Boleh Didaftarkan BPJS?

26 Juni 2016   05:07 Diperbarui: 4 April 2017   16:59 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

(Ditulis pada 11 Januari 2015). 

Catatan: Seharusnya tulisan ini mendahului, dan memang termasuk yang dirujuk, pada dua tulisan sebelumnya di kompasianya yaitu berjudul Persalinan dalam JKN (6): Pendaftaran Calon Bayi dan Pendaftaran Calon Bayi bagi Peserta PPU. Maka disarankan seelah membaca tulisan ini, untuk melanjutkan dengan kedua tulisan tersebut.

Meski sudah lama, tetapi rasanya tulisan ini masih signifikan untuk merunut balik, dinamika regulasi terkait pendaftaran janin (calon bayi) ini. Terbukti masih banyak pertanyaan terkait pendaftaran calon bayi. Tulisan ini sendiri sebenarnya rangkaian dari beberapa tulisan di note FB terkait regulasi pendaftaran peserta sejak terbitnya Per BPJSK 4/2014.

saya pribadi tidak sependapat soal pendaftaran janin ini. Lebih tepat bahwa Pemerintah menanggung setiap bayi baru lahir, kemudian orang tua diberi waktu misalnya maksimal 1 bulan (saat sudah melewati masa perinatal) untuk memastikan status kepesertaan bayinya. Tetapi karena nyatanya regulasinya berjalan demikian, dan tidak ada koreksi dari Perpres maupun Permenkes, maka informasinya saya sebarkan untuk diketahui masyarakat. 

Mangga.  

Senin pekan ini (5 Januari 2015), sekira pukul 17.00 WIB, sebuah akun yang menyatakan diri akun resmi BPJS merilis pengumuman bahwa "Sekarang Bayi dalam kandungan dapat didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan" (Gambar 1 dan 2)Pengumuman itu dirilis di slideshare (1). Dokumen itu tanpa kop surat resmi, tanpa tanggal, tanpa kejelasan siapa yang bertanggung jawab, dan tidak jelas pula kapan mulai diberlakukan. Sejan Senin sore itu pula, beberapa kali saya coba lacak ke laman resmi, tetapi sampai saat ditulisnya catatan ini, tidak ada pengumuman atau berita terkait seperti yang disebutkan dalam dokumen dimaksud (gambar 3). 

Ketika saya tanyakan perihal dokumen regulasi yang diacu atau sebagai dasar pengumuman termaksud, akun BPJS Kesehatan menyatakan bahwa "Petunjuk Pendaftaran Calon Bayi Peserta PBPU ini diterbitkan sejak tanggal 17 Desember 2014 oleh Direktur Kepesertaan dan Pemasaran BPJS Kesehatan". Sebenarnya saya sudah sangat ingin mengulas kebijakan baru tersebut. Tetapi karena belum ditunjukkan dokumen otentik dan regulasi yang diacu, saya menahan diri untuk berkomentar lebih jauh.  

Sekira 3 hari kemudian (tanggal 8 Januari 2015) akun BPJS Kesehatan menambahkan dokumen berisi penjelasan atau alasan penerbitan kebijakan pendaftaran janin dalam kandungan itu (gambar 4). Disebutkan di sana dua alasan: (1) Benchmark ke Philiphina yang juga mendaftar janin dalam kandungan mengingat risiko masalah kesehatan saat lahi, dan (2) ada asuransi lokal di Indonesia yang juga memberikan perlindungan pada anak sejak masih dalam kandungan.

Pada hari Kamis itu pula, di sebuah milis Diskusi JKN, muncul foto adanya demo oleh sebuah LSM di sebuah kota di Jawa Barat. Demo yang dilakukan di depan Kantor Cabang BPJS itu menyatakan bahwa aturan masa tenggang 7 hari adalah tidak sesuai dengan hak rakyat. Saya sampaikan sekalian persoalan kebijakan "sekarang bayi boleh didaftarkan" tersebut. Tidak disangka, langsung disambut oleh salah satu Direktur BPJS menampilkan alasan benchmark ke Philiphina. Namun ketika saya tanggapi dengan uraian panjang menjelaskan duduk masalahnya dari kacamata saya, ternyata sampai saat ditulisnya catatan ini, belum ada tanggapan lagi di milis dimaksud.  

Kemarin, Sabtu 10 Januari 2015, barulah saya mendapatkan foto berisi potongan surat dimaksud bernomor 11255/VII.2/2014 tanggal 17 Desember 2014 (gambar 5). Saya konfirmasikan ke seorang teman di BPJS, memang benar surat itu ada, tertanggal 17 Desember 2014. Dengan adanya potongan surat itulah, saya baru berani menuliskan ulasan ini. 

Apa sebenarnya pokok masalahnya? Sejak awal, terhadap bayi baru lahir, memang terjadi dinamika kebijakan terkait JKN-BPJS ini. Pertama soal kepesertaan. Awalnya dulu, ada beberapa aturan:

1. Bayi baru lahir dari Peserta PBI secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Bayi tersebut dicatat dan dilaporkan kepada BPJS Kesehatan oleh fasilitas kesehatan untuk kepentingan rekonsiliasi data PBI.

2. Bayi anak ke-1 (satu) sampai dengan anak ke-3 (tiga) dari peserta Pekerja Penerima Upah secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Kelompok ini misalnya yang dulu mantan Peserta Askes, TNI, Polri, dan Perusahaan.

3. Bayi baru lahir dari :

a. Peserta pekerja bukan penerima upah;

b. peserta bukan pekerja; dan

c. anak ke-4 (empat) atau lebih dari peserta penerima upah

Dijamin oleh BPJS Kesehatan jika pengurusan kepesertaan dan penerbitan SEP dilakukan dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak kelahirannya atau sebelum pulang apabila bayi dirawat kurang dari 7 (tujuh) hari.

4. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor: JP/Menkes/590/XI/2013 tentang Jaminan Kesehatan Masyarakat tanggal 28 November  2013 point E nomor 2 bahwa: “Bila masih terdapat masyarakat miskin dan tidak mampu di luar peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang berjumlah 86,4 juta jiwa maka menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Penyusunan APBD Tahun 2014)”, maka: Bayi yang lahir dari peserta Jamkesmas non kuota menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Dalam perkembangannya, Permenkes 71/2013 hanya memiiki klausul umum bahwa pasien masih bisa melakukan pendaftaran BPJS sampai maksimal 3x24 jam setelah dirawat. Dalam Permenkes 28/2014 (diterbitkan 3 Juni 2014 dan diundangkan 25 Juni 2014), secara khusus disebutkan bahwa bayi kelompok nomor (3) di atas, masih ada kesempatan 3x24 jam untuk mengurus kepesertaan BPJS. Pada tanggal 17 Oktober 2014, terbit Peraturan BPJS no 4/2014. Salah satu butir pentingnya pada pasal 10 bahwa masa berlakunya Kepesertaan BPJS kelompok perseorangan (mandiri) adalah 7 hari setelah dilakukannya pembayaran iuran pertama. Kebijakan ini mulai berlaku 1 November 2014.

Segera saja, hal ini memicu penolakan dan diskusi hangat.  Alasan utama perubahan itu adalah mendidik masyarakat untuk mendaftar sebelum sakit. Filosofinya benar, karena lebih baik menjaga sebelum benar-benar sakit. Namun harap tetap diingat bahwa saat penerbitan Peraturan BPJS 4/2014 tersebut, masih berlaku Permenkes 28/2014 yang masih memberi waktu kelonggaran 3x2 jam setelah dirawat untuk mengurus kepesertaan BPJS. Saya menuliskan catatan tersebut pada 12 November 2014 (referensi no 2).

Setelah menjadi perdebatan, termasuk suara dari jajaran Kemkes yang baru, pada tanggal 18 November 2014, Direksi BPJS menerbitkan Peraturan Direksi BPJS no 211/2014. Isinya memberikan perkecualian aturan masa tenggang 7 hari itu kepada beberapa kelompok, khususnya terkait bayi baru lahir (pasal 7):

a. Bayi baru lahir dari anak peserta BPJS kelompok PBI Nasional (yang ditanggung oleh pemerintah pusat) atau yang dijamin oleh Pemda (saya sebut agar mudah sebagai PBI Daerah). Kepadanya didaftarkan sebagai Peserta Perorangan

b. Peserta dan bayi baru lahir dari peserta yang ditetapkan Kemsos sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), mendapatkan hak manfaat kelas III

c. Peserta dan bayi baru lahir dari peserta perorangan yang tidak mampu dan mendapatkan rekomendasi dari Dinas Sosial, serta mendaftar untuk manfaat kelas III.

Untuk peserta yang dikecualikan tersebut, Kartu dapat langsung berlaku walaupun baru didaftarkan saat menjalani rawat inap (pasal 8). Namun proses aktifnya untuk kategori Peserta Perorangan tetap mengacu pada klausul harus sudah melakukan pembayaran pertama.

Terhadap kebijakan ini, masih ada beberapa catatan kritis (referensi no 3). Tetapi khusus terkait bayi baru lahir, Per Dir BPJS 211/2014 ini masih menimbulkan masalah: pihak Dinsos sendiri masih ragu mengeluarkan rekomendasi karena belum ada juklak terkait dari pihak Kemdagri. Akibatnya, banyak yang melaporkan sulit mendapatkan Surat Rekomendasi. Lagipupa jelas bahwa perubahan itu tetap belum selaras dengan regulasi lai (Permenkes 71/2013, Permenkes 28/2014) yang masih berlaku. 

Sekarang ternyata, tanggal 17 Desember 2014 lalu, terbit lagi aturan untuk masalah bayi baru lahir dengan klausul "sekarang bayi dalam kandungan bisa didaftarkan". Kata "bayi" ini saja jelas tidak tepat. Yang tepat adalah janin. Kata "janin" pula yang disebutkan dalam gambar 4 sebagai benchmark dari Philiphina.

Terhadap hal ini, saya berpendapat aturan ini menjadi lucu. Dalam potongan surat tertanggal 17 Desember 2014 itu tidak disebutkan rujukan dasar hukumnya. Karena itu saya mengulas dari regulasi-regulasi yang ada. Pertama, pasal 1 UU SJSN no 40/2004 dan pasal 1 UU BPJS no 24/2011 menyatakan bahwa "Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran". Sejak kapan janin dalam kandungan disebut sebagai "orang" ? Bukankah untuk dicatat secara administrasi sebagai warga (orang) adalah dengan pemberian NIK?

Boleh jadi BPJS menggunakan klausul pasal 3 UU SJSN maupun UU BPJS, bahwa "BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya". Namun, apakah memang janin dalam kandungan adalah aggota keluarga? Bukankah menjadi anggota keluarga setelah didaftarkan dan masuk dalam Kartu Keluarga"? Karena dalam UU no 12/2006 tentang Kewarga negaraan, dinyatakan bahwa dinyatakan sebagai warga negara adalah setelah LAHIR.

Masalah kedua terkait dengan prinsip kehati-hatian (pasal 4 UU SJSN 40/2004) yang menurut penjelasannya bermakna "Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya". 

Mendaftarkan janin dalam kandungan menjadikan prinsip adanya iuran ganda dari satu orang (yaitu satu orang Ibu hamil). Bila disebutkan syarat mulai bisa didaftarkan setelah Dokter menyatakan ada denyut jantung janin, berarti sejak usia kandungan 16 minggu (4 bulan) atau bahkan 12 minggu (3 bulan) pun sudah bisa didaftarkan. Bila lahir pada usia 40 minggu (9 bulan) maka bagaimana BPJS mempertanggung jawabkan iuran yang diperolehnya? Bagaimana bila terjadi kematian janin dalam kandungan, harus dipertanggung jawabkan kemana iuran yang telah dibayarkan? Bukan tidak mungkin justru bisa muncul sinyalemen bahwa - maaf - kebijakan ini merupakan upaya menambah peluang menambah volume iuran?

Masalah ketiga, untuk diketahui bahwa sejak awal JKN 2014, bayi yang lahir normal tanpa penyulit, TIDAK ditanggung oleh BPJS. Biaya pelayanannya menjadi satu paket dengan Ibunya. Bahkan seandainya persalinan melalui operasi (SC) sekalipun, bila bayi dinyatakan sehat, maka tidak ada paket biaya bagi bayi yang bisa diklaim oleh RS. Baru bila bayi lahir ada penyulit, maka klaimnya menjadi dipisahkan dari Ibunya. Untuk itu, diberi waktu maksimal 3x24 jam untuk mengurus kepesertaan. Terkait hal ini, masalah yang biasa timbul adalah soal NIK (administrasi kependudukan). Kalau soal nama, sejak awal pelaksanaa JKN 2014, BPJS memang sudah menetapkan aturan bahwa 3 bulan pertama, bayi masih boleh menggunakan nama sebagai "By. Ny. ....". 

Adanya kebijakan "mendaftar sejak dalam kandungan" ini bisa memicu masyarakat, bahkah pemberi layanan, untuk medorong sebanyak mungkin ibu hamil mendaftarkan bayinya. Dengan demikian, begitu lahir, tidak ada lagi masalah terkait kepesertaan. Tetapi, tanpa disadari, "kemudahan dan kepastian" ini bisa mendorong praktek kurang baik karena tidak ada lagi masalah kepesertaan kalaupun bayinya dinyatakan "mengalami penyulit". Padahal secara kurva normal, tentu yang lebih banyak adalah bayi yang lahir normal, bukan yang lahir dengan penyulit. Bias ini sangat tidak positif terhadap upaya kendali mutu dan kendali biaya (Pasal 33-38 Permenkes 71/2013).

Belum lagi, di lapangan, tidak sedikit Ibu hamil adalah kelompok yang sebenarnya hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Alih-alih mendaftarkan janin dalam kandungannya. Untuk yang sudah nyata-nyata masuk KK saja mereka tidak mudah memenuhi kewajiban iuran rutin. Bagaimana mereka harus ditempatkan bila benar kebijakannya boleh mendaftarkan sejak dalam kandungan?

Masalah berikutnya, kalau kita runut dari dinamika regulasi sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sulit dipungkiri bahwa terbitnya surat 17 Desember 2014 ini untuk mengoreksi kebijakan sebelumnya (Per BPJS 4/2014 dan Per Dir BPJS 211/2014). Alasan benchmark ke Philiphina muncul belakangan, jadi bukan filosofi dasar yang menjadi pijakan sejak awal. Kesan kuat sebagai  "gali lubang tutup lubang", saya kira sulit ditutupi. 

Selain risiko bagi kelompok yang hanya sedikit di atas garis kemiskinan, kepada kelompok yang secara ekonomi mampu pun, masih ada risiko bias informasi karena efek digital literasi: tidak semua mendapatkan informasi ini, mengapa? 

Lebih tidak bisa dipahami lagi bahwa kebijakan tanggal 17 Desember 2014 ini tidak diumumkan terbuka di laman resmi (bpjs-kesehatan.go.id). Dua aturan sebelumnya, walau terlambat, ditampilkan di laman tersebut. Peraturan BPJS 4/2014 yang terbit 18 Oktober 2014 dan mulai berlaku 1 November 2014, baru tampil di laman pada tanggal 30 Oktober 2014. Sedangkan Peraturan Direksi 211/2014 yang terbit dan mulai berlaku 18 November 2014 sedikit lebih baik karena sudah tampil pada tanggal 20 November 2014 (gambar 6). Mengapa kebijakan 17 Desember 2014 ini tidak diumumkan terbuka?

Lebih mengagetkan karena dari laporan masyarakat di Grup Media Sosial, ada beda penerapan kebijakan tersebut antar daerah. Ada yang menambahkan syarat "setelah usia kehamilan 7 bulan", bahkan ada yang terkesan enggan melaksanakannya. Di suatu cabang bahkan berita tentang kebijakan ini sudah muncul di media pada tanggal 29 Desember 2014 kemarin (referensi no 5). Tetapi di daerah lain, bahkan sampai Sabtu kemarin pun ada yang belum bisa menjelaskan bagaimana implementasinya. 

Padahal sesuai UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat, harus diumumkan secara terbuka (pasal 7 dan pasal 9). Informasi tentang kebijakan 17 Desember 2014 ini juga tidak termasuk yang dikecualikan oleh UU tersebut (pasal 17). Mengapa tidak diumumkan terbuka bila memang itu adalah kebijakan yang diambil oleh BPJS? Ada apa? 

Dari uraian tersebut, usul saya untuk mengatasi masalah ini adalah "semua bayi baru lahir, dapat langsung berlaku kepesertaannya". Rinciannya

1. Untuk anak ke 4 dan seterusnya dari kelompok PPU, didasarkan pada Surat dari Pemberi Kerja bahwa anak tersebut masuk dalam pertanggungan (dengan menambahkan iuran sebesar 1% dari gaji, untuk setiap tambahan anak setelah anak ke 3).

2. Untuk anak dari kelompok PBI, maka kepesertaan langsung berlaku dengan PEMERINTAH yang menanggung iurannya, termasuk sebelum anak tersebut masuk dalam pendataan PBI (yang sesuai PP 101/2012, harus diperbarui minimal setiap 6 bulan). Apakah Pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dapat diatur dengan Permendagri). Hal yang sama berlaku untuk anak dari kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). 

3. Untuk anak dari kelompok mandiri, dapat langsung berlaku setelah didaftarkan dan dibayarkan iuran pertamanya dalam waktu 3x24 jam setelah lahir. 

4. Bila anak dari kelompok mandiri kelas III ternyata dari golongan kurang mampu sesuai penilaian pemerintah daerah, maka diterbitkan Permendagri untuk mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah menanggung preminya sampai saatnya masuk dalam perbaruan PBI. Begitu lahir, dalam waktu 3x24 jam, dapat dinyatakan statusnya oleh pemerintah daerah. 

Klausul yang sama dapat diterapkan juga untuk orang dewasa mandiri kelas III yang ternyata masuk dalam kriteria tidak mampu. Mengapa demikian? Karena kalau sampai ada orang tidak mampu tetapi belum masuk dalam pendataan pemerintah daerah, maka tentu ini adalah tanggung jawab pemerintah daerah.

Muara dari catatan ini, mengingatkan bahwa sebenarnyalah pemerintah yang harus hadir menjadi regulator dari tidak pihak terkait JKN: Peserta, Pemberi Layanan, BPJS sebagai penyelenggara. Dalam banyak kesempatan, pihak BPJS berkilah bahwa "kami hanya sebagai juru bayar, pemerintah yang menetapkan aturan". Namun dalam prakteknya, ada beberapa kebijakan BPJS yang jelas termasuk ranah "mengatur rumah tangga pihak lai". Sebagian dari kebijakan "luar ranah" itu terpaksa diambil BPJS karena absennya pemerintah yang tidak hadir di tengah-tengah para pihak. Namun terkait masa tenggang 7 hari ini, termasuk tentang pendaftaran bayi dalam kandungan, hemat saya BPJS sudah melangkah terlalu jauh. 

Catatan saya tentang hal ini, ada pada referensi no 4. Poin pentingnya, sudah saatnya kita berharap, pemerintah yang menegakkan posisi dan fungsinya sebagai regulator agar terjadi hubungan saling seimbang antar para pihak. Juga untuk menegakkan kewajibannya melindungi bagi seluruh rakyat, termasuk salah satunya membantu bagi kelompok tidak mampu. 

Salam Sehat!

Referensi:

1. Satu 

2. Dua 

3. Tiga

4. Empat 

5. Lima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun