Dari sebuah diskusi di medsos, dituliskan sebagai berikut:
Menghadapi aturan ngaco yg dibuat BPJS, bahwa demam pada anak harus > 40°C baru dianggap gawat darurat dan bisa ditangani di IGD :
Kalau yakin perlu MRS ...bikin saja dilaporan 40 C ...Â
Perawat : Dok.. suhunya 39,5 C
Dokter : Ok, makasih sus, tolong disiapkan opname
Perawat : Tapi suhunya 39,5 Dok..
Dokter : Iya sus.. 40,5 udah masuk kriteria BPJS koq
Perawat : 39,5 Dok.. bukan 40,5 ..
Dokter : iya iya ..saya dengar koq.. 40,5..
Perawat : 39,5 Dok ..!
Dokter : Ho oh.. 40,5 kan?
Perawat : Walah .. dokter dengar ga sih?
Dokter : Sus .. kita mau nolong pasien atau BPJS? .. kalau mau nolong BPJS .. yuk pejabatnya kita opnamekan semua ..kayaknya pada sakit jiwa itu..
Perawat : Hahaha... ternyata.. Siap dok.. saya siapkan ppname untuk pejabat BPJS .. eh... pasien kita maksud saya.... 😂
Hanya Copas ...btw..SETUJU
Diskusi ini sebaiknya dijernihkan. Kalau ini muncul 2 tahun lalu, barangkali kita bisa menyatakan sebagai "kurang sosialisasi". Tetapi kalau sekarang, rasanay kita harus fair: kita memang yang kurang mau tahu. Apalagi, kalau ditlilik pada tulisan sebelumnya, maka sebenarnyalah daftar dan kriteria itu sudah muncul sebelum ada JKN 1 Januari 2014.Â
Mari kita coba jernihkan dari awal. Bahwa ada tugas BPJSK sebagai pasal 24 ayat 3 UU SJSN 40/2004, sudah banyak dipahami. Kata kuncinya: harus efektif dan efisien. Salah satu turunannya adalah pada pasal 40 Perpres 12/2013:
Amanah pasal ini yang nampaknya menjadi beban bagi BPJSK terutama ayat 5. Atas nama efektivitas dan efisiensi, maka BPJSK berkewajiban "mengatur" sal penilaian kegawatdaruratan dan prosedur penggantian biayanya. Untuk memenuhinya, dalam Peraturan BPJSK 1/2014 disusun pasal 63-66. Namun dalam pasal-pasal itu sama sekali tidak ada penjelasan atau penyebutan secara eksplisit tentang "penilaian kegawatdaruratan". Isinya lebih pada bagaimana mengatur soal "pembayaran" atas layanan kegawatdaruratan.Â
Maka kemudian, sebagaimana dibahas pada tulisan sebelumnya, BPJSK menggunakan klausul dalam Permenkes 416/2011. Dalam Permenkes tersebutlah, ada uraian tentang Kriteria kegawatdaruratan. Bila dilihat dari sisi legalitas, sebenarnya Permenkes 416/2011 sudah tidak berlaku, ketika PT Askes sudah ditransformasikan menjadi BPJSK pada 1 Januari 2014. Namun dari sisi lain, itulah dasar hukum yang paling akhir tentang "penilaian kegawatdaruratan".
Terhadap klausul pasal 40 ayat (5) Perpres 12/2013 itu, pernah ditanyakan kepada yang terlibat dalam penyusunannya. Klausul "penilaian kegawatdaruratan" ini sebenarnya tentang isi dari ayat-ayat sebelumnya yaitu klausul Faskes yang memberikan pelayanan apakah bekerjasama dengan BPJSK. Klausul itu kemudian menjadi dasar tentang bagaimana cara pembayarannya.Â
Namun di lapangan, atas dasar perintah Pasal 24 UU SJSN 40/204 maupun Pasal 40 Perpres 12/2013 itulah, BPJSK merasa berkewajiban untuk melakukan penialian kegawatdaruratan sebagai dasar "dibayar atau tidak". Hal ini mengingat dalam hal pembayaran dengan uang negara, harus selalu jelas dasar hukum secara hitam putih. Maka kemudian, digunakanlah Permenkes 416/2011 tersebut.Â
Mengapa di banner yang banyak dipasang di IGD, ada tambahan kata-kata "... dan yang ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Medik"? Karena memang demikian klausul dalam Permenkes 416/2011. Seberapapun penulis tidak sependapat dengan keberadaan DPM, tetapi memang itu bunyi Permenkesnya.Â
Bukankah tidak berlaku lagi? Seharusnya. Tetapi selama tidak ada aturan yang lebih baru, apa yang bisa digunakan oleh BPJSK dalam melaksanakan pasal 40 Perpres 12/2013 tersebut? Akan jauh lebih tidak tepat lagi bila tiba-tiba BPJSK menerbitkan sendiri kriteria tersebut. Tentu lebih tepat bila kita sebagai profesi dan Kemenkes sebagai regulator, memberikan lagi dasar hukum yang lebih terkini sebagai pegangan bagi BPJSK terkait "penilaian kegawatdaruratan".Â
Di atas itu semua, baik masih menggunakan Permenkes 416/2011 atau nanti ada regulasi baru, sebenarnya tetap berlaku bahwa Dokter berhak melakukan modifikasi terhadap Standar yang berlaku ASAL beralasan dan ditulis dalam Rekam Medis. Selanjutnya dipertanggungjawabkan dalam mekanisme audit medis yang bisa saja nanti berarti mengamanahkan revisi terhadap standar yang berlaku (pasal 13 Permenkes 1438/2010). Tentu saja juga sebaliknya, audit medis dapat menilai pula apakah memang diperlukan modifikasi tersebut.Â
Tapi bagaimana kalau sudah soal klaim INA-CBGs? Itu tantangannya. Kita harus "berani" kalau kita yakin benar. Pertahankan walau memang tentu ada proses yang tidak ringan. Tetapi sekali kita mampu bertahan dan membuktikan, maka selanjutnya akan menjadi jauh lebih ringan.Â
Terhadap diskusi di awal tulisan ini, kita juga harus fair. Kalau sampai sekarang ini kita masih berpandangan seperti dalam diskusi tersebut, artinya kita yang tidak mau tahu. Padahal jelas klausulnya dalam regulasi, seberapapun regulasi itu sendiri seharusnya sudah kita revisi. Justru mari soal kriteria gawat darurat ini menjadi titik tolak kita untuk berbenah: memperbaiki regulasi yang menjadi ranah kita, sekaligus menjawabnya dengan profesionalitas dalam kasus per kasus. Menyudutkan BPJSK dalam hal penilaian kegawatdaruratan ini, maaf, bisa-bisa berarti justru menepuk air di dulang. Yang jelas, menambah jarak dan kesenjangan diantara sesama pilar JKN. Mari kita perbaiki.Â
Jangan biarkan dan jangan paksa BPJSK mengatur yang bukan ranahnya.Â
#SalamKawalJKN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H