Terhadap diskusi soal jaspel di RS ini, ada dua komentar menarik di media sosial. Komentar pertama, menyampaikan bahwa sebenarnya memang ada variasi penerimaan jaspel di RS pada era JKN ini:
1. Era dan paradigma sudah berubah: dari era FFS ke Prospective Payment. Ini kenyataan, ini regulasi, ini kesepakatan nasional. Lebih baik kita juga harus berubah dan lebih menguasai perubahan paradigma itu daripada terjebak dalam keterkejutan. Bila memungkinkan, kita harus LEBIH TAHU dan LEBIH DULU menguasai paradigma baru itu dibandingkan orang lain.Â
Amanah Kendali Mutu dan Kendali Biaya bagi Dokter sudah tercantum eksplisit dalam UU Praktik Kedokteran 29/2004 mendahului terbitnya UU SJSN 40/2004. Jadi sama sekali tidak ada alasan mengatakan bahwa gara-gara JKN, Dokter jadi susah karena harus berpikir soal biaya. Apalagi "gara-gara BPJS".Â
Artinya sejak awal memang sebenarnya Dokter dilekati kewajiban Kendali Mutu dan Kendal Biaya, baik ada atau tidak ada JKN sekalipun. Apalagi sekedar karena ada BPJSK.Â
Klinisi mau tidak mau juga harus mau tahu tentang JKN, tentang Remunerasi, tentang indikator mutu klinik maupun indikator manajemen. Ini juga sudah ada sebelum ada JKN, sebelum ada BPJS. Mengapa harus mau tahu, karena kalau tidak, tentu sulit mengembangkan saling keterbukaan. Tentu harus diusahakan ada bahasa yang mendekati sama, ada standar dan indikator yang juga seharusnya menuju ke satu titik yang sama. Dengan demikian, bisa menjadi proses dialog, bukan proses saling menuntut.Â
Kemenkes sudah menerbitkan Kepmenkes 625/2010 tentang Remunerasi di RS. Di sana masih ada ruang untuk variasi, dan justru itu lebih tepat karena sekali lagi sebenarnya proses pembagian jaspel merupakan wilayah internal RS. Bila aturan itu terlalu rinci dan kaku, justru membuat repot. Kurang lebih sama dengan diskusi hangat soal Permenkes 21/2016 saat ini: tidak mungkin menerapkan aturan yang sama di semua wilayah dan semua faskes.Â