Selanjutnya mari kita dudukkan dengan jernih. Ungkapan Kepala Puskesmas Sudiang Kota Makassar di pemberitaan ini memang “menarik”:
Hal demikian memang terjadi, dengan beberapa variasi, di banyak daerah: semua tidak atau hanya menerima sedikit jasa pelayanan, sekarang menerima kapitasi di era JKN. Namun dengan memahami penjelasan ini, semoga menjadi utuh juga pemahaman kita. Kita syukuri bahwa ada pertambahan penghasilan dengan adanya JKN ini dibandingkan era sebelumnya. Namun, tidak pula lantas berarti menjadi berlebih karena sudah jelas juga proporsi pembagiannya.
Berita terbaru tentang ada satu Puskesmas menerima 734 juta kapitasi per bulan, itu memang benar, berbasis data. Namun kita lihat juga dalam daftar tersebut bahwa penerimaan kapitasi itu bervariasi, bahkan sama-sama di wilayah Jakarta sendiri.
Ada lagi yang kemudian menyatakan: tapi benar kan Dokter Gigi hanya dibayar 2000 per pasien? Yang benar: dibayar 2000 per peserta kapitasi. Awalnya dulu, layanan Dokter Gigi akan ditetapkan sebagai bagian dari FKTP sehingga kapitasinya menyatu. Ini didasarkan pada prinsip bahwa Pelayanan Medik Dasar itu meliputi Pelayanan Medis Dasar Umum dan Gigi. Tetapi kemudian disadari bahwa angka kunjungan ke Dokter Gigi tidak seperti pola pada layanan medis dasar umum. Karena itu, ditetapkan tarif kapitasi terpisah untuk layanan gigi, baik sebagai bagian dari suatu FKTP maupun sebagai Jejaringnya. Angka kapitasi yang diharapkan untuk Dokter Gigi adalah 20.000 Maka biasanya dalam satu satu kecamatan, hanya ditetapkan 1-2 Dokter Gigi yang menjadi tempat layanan gigi bagi peserta BPJSK. Satu hal yang pasti, dalam memberikan pelayanan, Dokter gigi TIDAK menerima “hanya” 2000 rupiah per pasien. Juga, jelas bahwa hal itu tidak diatur dalam ATURAN BPJSK.
Bagaimana untuk pembagian jasa di rumah sakit (PPK 2)? Hampir sama dengan di FKTP, berapa proporsi besaran jasa pelayanan dari tarif INA-CBGs juga belum ada aturan baku pada saat JKN diawali 1 Januari 2014. Akibatnya terjadi kebingungan dan ketakutan. Apalagi semua serba meraba-raba dengan perubahan sistem pembayaran yang baru.
Sebelum masuk JKN, ada Permenkes 12/2013 tentang Pola Tarif bagi RS BLU, dimana ditetapkan pada pasal 28 bahwa proporsi biaya bagi pegawai dari besaran pendapatan BLU adalah maksimal 44%. Biaya itu yang melingkupi gaji, jasa pelayanan, honor, insentif, uang lembur dan uang kesejahteraan. Tidak berapa dari porsi tersebut yang merupakan jasa pelayanan.
Dalam draft Pola tarif RS yang berlaku umum untuk seluruh RS, yang dibahas pada 7 Juli 2015 lalu, diusulkan bahwa Besaran Belanja Pegawai dalam bentuk Remunerasi BLU ataupun Jasa Pelayanan bagi yang non-BLU pada angka sebesar-besarnya 50% dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).