Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pakai BPJS kok Masih Tombok?

6 Mei 2016   05:40 Diperbarui: 6 Mei 2016   07:16 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jenis pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang moral hazaard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik. Urun biaya itu harus menjadi bagian upaya pengendalian, terutama upaya pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan. Penetapan urun biaya dapat berupa nilai nominal atau persentase tertentu dari biaya pelayanan, dan dibayarkan kepada fasilitas kesehatan pada saat peserta memperoleh pelayanan kesehatan"

Dengan demikian, memang bisa saja pasien meminta yang "melebihi" standar (ambil contoh Fornas untuk hal penggunaan obat). Kalau hal seperti ini ditanggung sepenuhnya, maka akan menimbulkan ketidak adilan bagi peserta lain. Itu satu sisi. Sisi lain, terjadi utilitas sumber daya yang tidak rasional. Ini yang dikhawatirkan sebagai moral hazard. Untuk itu dikenakan iur biaya.

Ruang untuk boleh adanya "iur biaya" ini harus disikapi secara hati-hati. Salah satu hak pasien memang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar. Di sisi lain, pasien juga berhak memilih dokter dan kelas perawatan (Pasal 32 UU RS 44/2009). Untuk itu, pengenaan iur biaya sebaiknya disepakati bersama pasien dalam bentuk formal. Semata agar menghindari masalah di kemudian hari. Selanjutnya, tetap harus dikaji agar "permintaan" pasien tersebut memang tetap sesuai indikasi medisnya.

Sesuai amanat UU SJSN, seharusnya soal iur biaya ini diatur lebih rinci dalam Peraturan Presiden. Sayangnya, Perpres 12/2013 maupun 111/2013 tidak mengatur hal tersebut. Demikian juga dalam Permenkes 71/2013. Harapannya tidak menjadi "liar" dan tidak terarah. Karena tidak ada aturan baku, akibatnya di lapangan, terbentuk ruang yang harus hati-hati didekati agar tidak justru mengaburkan tujuan mulia JKN itu sendiri. Alih-alih malah bisa jadi sumber masalah, bahkan bisa jadi masalah hukum. Jangan sampai ruang itu justru menjadi bumerang, termasuk - atau terutama - bagi pemberi layanan itu sendiri.

Kembali, saling kesepahaman, menjadi mutlak dalam hal ini. Mangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun