[caption caption="PR 7/4/2016"][/caption]Beberapa hari ini kita dikejutkan dengan berita soal kasus dugaan tipikor di Subang terkait dana kapitasi JKN yagn dibayarkan oleh BPJSK. Terhadap berita itu, Ketua Dewas BPJSK menyatakan bahwa BPJSK tidak memiliki otoritas untuk mengawasi penggunaan dana kapitasi setelah secara prosedur dibayarkan oleh BPJSK. Dengan demikian, BPJSK tidak terlibat dalam kasus Subang tersebut. Apalagi terbukti bahwa BPJSK telah mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Modifikasian untuk pengelolaan keuangan tahun 2015.Â
Sampai di titik ini memang benar bahwa setelah dibayarkan sesuai prosedur, BPJSK tidak punya otoritas mengawasi penggunaan dana kapitasi setelah dibayarkan sesuai prosedur. Sebagaimana semangat kita, jangan biarkan dan jangan "paksa" BPJSK mengatur yang bukan ranahnya.Â
Tapi benarkah tidak ada kemungkinan potensi tipikor oleh BPJSK dalam hal dana kapitasi?Â
Apakah ada kemungkinan itu? Pihak kepolisian menyatakan bahwa: [caption caption="Polisi"]
Untuk PBI, pada padal 37, rekonsiliasi dilakukan dengan Menkes SETIAP 6 bulan. Tentu ini sesuai ketentuan PP 101/2012 bahwa verifikasi dan validasi PBI dilakukan SETIAP 6 bulan. Apabila hasil rekonsiliasi data menunjukkan terjadi kurang atau lebih pembayaran, kelebihan atau kekurangan pembayaran tersebut akan diperhitungkan pada pembayaran iuran berikutnya.Â
Masalahnya, PP 101/2012 telah direvisi dengan PP 76/2015 yang menyatakan bahwa proses verifikasi dan validasi dapat dilakukan setiap saat dan paling lambat setiap 6 bulan. Artinya proses rekonsiliasi harus dilakukan sekarang minimal setiap bulan (mengingat pembayaran premi PBI juga rutin dilakukan setiap bulan). Apakah BPJSK sudah merevisi aturan ini?
Kondisi yang hampir sama terjadi pada pembayaran untuk PPU Pemerintah pusat (Pegawai Negeri Sipil Pusat, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Pusat). Proses rekonsiliasinya SETIAP 3 bulan. Untuk kelompok ini, proses rekonsiliasi dilakukan setiap 3 bulan dengan Menteri Keuangan. Begitu juga untuk Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan Penerima pensiun yang preminya dibayar oleh pemerintah. Untuk kelompok ini, proses rekonsiliasinya dilakukan setiap 3 bulan dengan Menteri Keuangan dan pihak ketiga pengelola dana pensiun.
Padahal pembayaran dilakukan SETIAP bulan. Memang ada juga klausul bahwa toh setelah PNS/TNI/Polri pensiun kedinasan, tetap akan berlanjut pensiun. Tetapi selalu ada risiko ada yang meninggal, begitu juga penyebab lain secara aturan kepegawaian dan pensiun, yang bisa berpengaruh terhadap beban pemerintah menanggung premi JKN bagi kelompok ini.Â
Kondisi yang sama berlaku untuk kelompok PPU Pemda (Pegawai Negeri Sipil Daerah dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Daerah). Proses rekonsiliasi dengan Pemda setiap 3 bulan. Padahal, tetap saja ada yang meninggal, atau penyebab lain secara aturan kepegawaian yang bisa berpengaruh terhadap jumlah yang harus dibayar oleh pemerintah.Â
Bagaimana dengan PPU dari bukan penyelenggara negara? Mengingat di beberapa grup medsos, muncul keluhan belum transparannya data-data kepesertaan dari segmen PPU swasta. Sayang Peraturan BPJSK menyebutkan "selanjutnya diatur dengan Peraturan BPJSK".Â
Begitu juga dengan Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja (selain yang ditanggung pemerintah). Sayang juga dituliskan sebagai "diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direksi BPJSK". Sampai saat ini, penulis belum mendapatkan Peraturan Direktur yang dimaksud. Karena jelas hal ini menyangkut kepentingan publik, sebaiknya Peraturan Direksi yang terkait tersebut juga dibuka dan dapat diakses secara terbuka, sebagaimana Peraturan BPJSK nomor 1/2014. Apakah ada juga mekanisme rekonsiliasi dengan pemberi kerja?Â
Dalam semua klausul tersebut jeda waktu 3 bulan dan 6 bulan tentu berisiko. Sebaiknya dalam ukuran waktu tiap 1 bulan sehingga datanya lebih terkini. Dengan demikian meminimalkan risiko terjadinya selisih data yang dapat saja kemudian diduga ada upaya memperkaya diri sendiri dan/atau pihak lain. Bahkan sekarang ini salah prosedur pun tetap dianggap berpotensi tipikor.Â
Apalagi ada satu lagi yang belum didapatkan penulis di Peraturan BPJSK nomor 1/2014 yaitu PBI Daerah (yaitu PBI yang dananya dibayar oleh APBD Pemda). Tidak disebutkan dengan jelas apakah mengikuti alur di PBI nasional untuk melakukan proses rekonsiliasi berkala setiap 6 bulan (sebelum direvisi disesuaikan dengan PP 76/2012)?Â
Beberapa hal tersebut mengandung celah bahwa bisa terjadi kesalahan data dan pembayaran kapitasi bila proses rekonsiliasi tersebut tidak berjalan. Bahkan seandainya berjalan pun, masih ada celah yang dapat dianggap tidak mencerminkan pengelolaan secara akuntabel. Di titik inilah, ada potensi tipikor dapat diduga bisa dilakukan oleh pihak BPJSK dalam pengelolaan dana kapitasi.Â
Apakah hal demikian yang terjadi pada kasus Karawang? Kita tunggu prosesnya berjalan sekaligus untuk pembelajaran bersama. Kita tentu berharap, semua pihak telah menjalankan sesuai prosedur seharusnya: baik BPJSK dalam membayarkan kapitasi, proses rekonsiliasi bersama pihak terkait, maupun pihak Pemda dalam mengelola dana kapitasi yang diterima.
Sambil berproses, ada baiknya BPJSK segera merevisi klausul rekonsiliasi itu agar terhindar dari risiko pemahaman yang berbeda dari aparat penegak hukum. Dengan menyusun regulasi secara rinci dan lengkap, minimal berarti upaya sistematis telah dilakukan. Tinggal berikutnya soal: mengawal implementasinya.Â
#SalamKawalJKN
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H