Dalam semua klausul tersebut jeda waktu 3 bulan dan 6 bulan tentu berisiko. Sebaiknya dalam ukuran waktu tiap 1 bulan sehingga datanya lebih terkini. Dengan demikian meminimalkan risiko terjadinya selisih data yang dapat saja kemudian diduga ada upaya memperkaya diri sendiri dan/atau pihak lain. Bahkan sekarang ini salah prosedur pun tetap dianggap berpotensi tipikor.Â
Apalagi ada satu lagi yang belum didapatkan penulis di Peraturan BPJSK nomor 1/2014 yaitu PBI Daerah (yaitu PBI yang dananya dibayar oleh APBD Pemda). Tidak disebutkan dengan jelas apakah mengikuti alur di PBI nasional untuk melakukan proses rekonsiliasi berkala setiap 6 bulan (sebelum direvisi disesuaikan dengan PP 76/2012)?Â
Beberapa hal tersebut mengandung celah bahwa bisa terjadi kesalahan data dan pembayaran kapitasi bila proses rekonsiliasi tersebut tidak berjalan. Bahkan seandainya berjalan pun, masih ada celah yang dapat dianggap tidak mencerminkan pengelolaan secara akuntabel. Di titik inilah, ada potensi tipikor dapat diduga bisa dilakukan oleh pihak BPJSK dalam pengelolaan dana kapitasi.Â
Apakah hal demikian yang terjadi pada kasus Karawang? Kita tunggu prosesnya berjalan sekaligus untuk pembelajaran bersama. Kita tentu berharap, semua pihak telah menjalankan sesuai prosedur seharusnya: baik BPJSK dalam membayarkan kapitasi, proses rekonsiliasi bersama pihak terkait, maupun pihak Pemda dalam mengelola dana kapitasi yang diterima.
Sambil berproses, ada baiknya BPJSK segera merevisi klausul rekonsiliasi itu agar terhindar dari risiko pemahaman yang berbeda dari aparat penegak hukum. Dengan menyusun regulasi secara rinci dan lengkap, minimal berarti upaya sistematis telah dilakukan. Tinggal berikutnya soal: mengawal implementasinya.Â
#SalamKawalJKN
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H