[caption caption="Sumber: detik.com"][/caption]Tanggal 29 Februari 2016, presiden menandatangani Perpres 19/2016. Kemudian diundangkan tanggal 1 Maret 2016. Sebenarnya banyak hal yang diatur dan diperbarui dengan Perpres tersebut. Namun nampaknya yang paling "seksi" adalah soal kenaikan (atau pemerintah lebih senang menyebutnya sebagai penyesuaian) premi JKN (jelas bukan premi BPJS).Â
Perpres 19/2016 menyatakan bahwa mulai berlaku 1 April 2016. Tetapi kemudian menjadi ramai dan tarik ulur. Terakhir kemarin ada berita bahwa Presiden Joko Widodo telah memutuskan iuran BPJS Kesehatan kelas 3 tidak naik. Sampai di sini, tinggal soal menghitung pengurangan potensi pemasukan premi dari Kelompok Mandiri kelas 3 terhadap estimasi potensi defisit, dan bagaimana pilihan pemerintah untuk mengatasinya: mengurangi manfaat yang nampaknya tidak mungkin secara politis, menaikkan premi yang ternyata menjadi tarik ulur, atau seperti yang sudah dilakukan yaitu dengan memberikan dana talangan. Begitu juga dengan tetap tidak samanya besaran premi PBI dengan Kelompok Mandiri kelas 3.
Menariknya dalam berita tersebut bahkan disebutkan bahwa kini pemegang BPJS kelas 3 bisa mendapatkan perawatan kelas 1. Tentu saja ini mengagetkan bila tidak hati-hati. Meskipun dalam berita lain disebutkan lebih jelas bahwa walau mendaftar sebagai kelas 3, tetapi bila dalam perjalanan membutuhkan perawatan kelas 1, maka dapat naik ke kelas 1.Â
Bagaimana Sebenarnya Ini?Â
Sejak kemarin sore, penulis menahan diri berkomentar terlalu jauh karena menunggu dulu rincian Perpres yang dimaksud oleh Mensesneg tersebut. Sampai ditulisnya catatan ini, laman resmi Setneg belum menampilkan revisi Perpres dimaksud. Bahkan Perpres 19/2016 pun belum tercantum dalam daftar di sana. Karena itu, kita belum bisa mencerna benar yang dimaksudkan presiden.Â
Bagaimana Sebenarnya Soal Pindah Kelas Ini?
Ada dua istilah yang hampir sama tetapi perlu kita jernihkan dulu. Pertama, pindah kelas dalam arti Hak Perawatan. Setiap kali mendaftar sebagai Peserta JKN (bukan Peserta BPJS), kita memilih Hak Kelas Perawatan. Hal itu berlaku untuk kelompok PBPU dan BP (atau lazim kita sebut Kelompok Mandiri). Sedangkan bagi PBI, otomatis di kelas 3. Untuk PPU, sesuai dengan golongan kepegawaian (PNS/TNI/Polri/Purna/Pensiun) dan sesuai gaji (untuk pegawai swasta). Selengkapnya dapat disimak dalam regulasi terakhir di Perpres 19/2016.Â
Peserta JKN Kelompok Mandiri boleh mengajukan pindah Hak Kelas Perawatan paling cepat setelah 1 tahun pada hak kelas yang dipilih sebelumnya. Mengapa dibatasi waktu minimal, tentu karena ini berkaitan dengan pengelolaan likuiditas JKN. Juga kelancaran pelayanan.Â
Khusus untuk PPU, klausul awal pada Perpres 111/2013 menyatakan batas atas gaji sebagai dasar pemotongan premi JKN bagi PPU adalah 2 kali PTKP untuk KW1. Kisaran waktu itu adalah 4.725.000,-an rupiah. Batas bawah adalah UMK setempat. Sedangkan batas hak kelas perawatan adalah 1,5 kali PTKP (3.543.750 rupiah). Lebih dari batas tersebut berhak di kelas 1, kurang dari batas itu di kelas 2.Â
Kemudian pada bulan Juli 2015, terbit Permenkeu baru tentang PTKP. Batasnya naik. Kalau mengikuti aturan baru tersebut, seharusnya batas atas menjadi sekitar 7 jutaan. Begitu juga batas Hak Kelas Perawatan pada angka sekitar 5.250.000,-an rupiah. Perpres 19/2016 kemudian menetapkan batas atas pada 8 juta rupiah, dan batas Hak Kelas Perawatan pada angka 4 jutaan rupiah.Â
Kedua adalah pindah kelas dalam arti, pindah kelas perawatan selain Hak Kelas Perawatan ketika menjalani rawat inap. Dalam hal rawat jalan, tidak ada perbedaan kelas. Semua mendapatkan pelayanan dan tarif pelayanan yang sama. Tetapi ketika harus rawat inap, maka peserta mendapatkan hak sesuai Hak Kelas-nya.Â
Apakah Beda?
Prinsip dasar dan harapan sistem JKN adalah: beda kelas TIDAK BERBEDA layanan medisnya. Artinya: pemeriksaan, tindakan operatif, obat, semua sama di semua kelas. Yang membedakan adalah layanan akomodasi (non-medis) antar kelas. Tidak perlu diperdebatkan bahwa ini adalah tantangan bagi kita semua: peserta, penyedia layanan, industri pendukung layanan kesehatan maupun pemerintah sebagai regulator. Dengan prinsip ini, maka tidak perlu ada kekhawatiran tentang manfaat medis walau memilih hak kelas manapun.Â
Pada awal JKN, Pasal 21 Permenkes 71/2013 menyatakan bahwa:
- Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan,
- Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan tidak diperkenankan memilih kelas yang lebih tinggi dari haknya.
Hal itu juga sesuai dengan Peraturan BPS no 1/2014 pasal 62:
- Peserta dapat meningkatkan kelas ruang perawatan lebih tinggi dari yang menjadi haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan berdasarkan tarif INA-CBG’s dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan,
- Peningkatkan kelas ruang perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan.
Maka kemudian selama sekitar paruh pertama 2014, berjalan dengan kondisi demikian. Hanya kemudian ada sebagian kecil penyedia layanan yang terjebak untuk "begitu naik kelas, jadi seperti lepas kendali". Begitu juga peserta ada yang terjebak: naik kelas agar lebih "puas" tapi begitu diminta membayar selisih malah marah-marah karena merasa seharusnya gratis.
Pada tanggal 3 Juni 2014, Kemkes menerbitkan Permenkes 28/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan JKN. Terkait naik ke kelas perawatan lebih tinggi, disebutkan di sana:
- Peserta JKN, kecuali peserta PBI, dimungkinkan untuk meningkatkan kelas perawatan atas permintaan sendiri pada FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan,
- Untuk pasien yang melakukan pindah kelas perawatan atas permintaan sendiri dalam satu episode perawatan hanya diperbolehkan untuk satu kali pindah kelas perawatan,
- Khusus bagi pasien yang meningkatkan kelas perawatan (kecuali peserta PBI Jaminan Kesehatan)
a. Sampai dengan kelas I, maka diberlakukan urun biaya selisih tarif INA-CBGs kelas ruang perawatan yang dipilih dengan tarif INA-CBGs yang menjadi haknya.
b. Jika naik ke kelas perawatan VIP, maka diberlakukan urun biaya sebesar selisih tarif VIP lokal dengan tarif INA-CBGs kelas perawatan yang menjadi haknya.
Yang dimaksud dengan tarif INA-CBGs adalah yang ada pada Permenkes 69/2013 yang telah diperbarui dengan Permenkes 59/2014. Hal ini berbeda dengan aturan sebelumnya pada Permenkes 71/2013. Perubahan ini sempat menimbulkan kebingungan dan ketegangan di lapangan, terutama bagi RS swasta. Apalagi Permenkes 28/2014 tersebut baru diketahui oleh pelaksana di lapangan 1-2 bulan setelah terbit.Â
Pada bulan April 2015, terbit Peraturan BPJSK nomor 1/2015 yang mengatur tentang Kepesertaan kelompok Mandiri per 1 Juni 2015. Disusul kemudian terbit Peraturan Direktur nomor 32/2015 berlaku per 1 Juli 2015. Poin penting surat tersebut dalam hal ini adalah bahwa salah satu poin yang harus disetujui dalam pendaftaran peserta per 1 Juli 2015, Pasal 5 Ayat 2 huruf (k) berbunyi: "... menyetujui tidak meningkatkan kelas perawatan dengan membayar sendiri selisih biaya perawatan untuk Peserta yang memilih kelas perawatan kelas III."
Penulis mengritik kebijakan BPJSK dalam Peraturan BPJSK 1/2015 dan Per Dir 32/2015 itu. Tapi penulis bisa memahami mengapa harus dilaksanakan demikian. Pengalaman JKN selama 1,5 tahun waktu itu, menunjukkan kurang berimbangnya penggunaan biaya pelayanan kesehatan. Padahal ada ketergesa-gesaan untuk menudingkan soal defisit kepada BPJSK. Padahal masalahnya memang ada pola penggunaan layanan di lapangan.Â
Di tengah kondisi itu, maka ada upaya-upaya untuk lebih menekankan efisiensi biaya pelayanan kesehatan khususnya kepada Kelompok Mandiri. Maka klausul lain dalam Peraturan BPJSK nomor 1/2015 itu juga tentang masa tenggang 14 hari: baru 14 hari setelah mendaftar, pembayaran pertama bisa dilakukan, dan manfaat bisa mulai diperoleh untuk Kelompok Mandiri. Jadi awalnya bisa mendaftar dan langsung berlaku, kemudian ada masa tenggang 7 hari per November 2014, dan terakhir menjadi 14 hari per Juni 2015. Itulah dinamika regulasi kepesertaan, khususnya untuk Kelompok Mandiri. Â
Ini untuk meminimalkan potensi adverse selection (baru mendaftar ketika ada kebutuhan pelayanan kesehatan terutama yang berbiaya besar) dan anti-selection (sengaja tidak mendaftar karena merasa belum wajib dan belum membutuhkan). Di lapangan, ada laporan bahwa ada memang yang memilih: daftar kelas 3 dulu toh untuk rawat jalan sama saja haknya, kalau nanti terpaksa rawat inap, baru naik kelas, wong juga hanya bayar selisih INA-CBGs kok. Bukan salah benar dalam hal ini, karena memang regulasinya waktu itu demikian.Â
Secara substansi, kebijakan itu sebenarnya tidak sejalan dengan isi Perpres yang memberi kesempatan semua peserta untuk naik kelas perawatan, kecuali untuk kelompok PBI. Maka hemat penulis seharusnya kebijakan seperti itu lahir di level Perpres karena sudah mengatur soal manfaat. Atau minimal di Permenkes sebagai penjabaran batasan manfaat dalam Perpres. Karena lahir dari BPJSK, maka yang muncul adalah sentimen negatif.Â
Tetapi nampaknya, secara informal, kebijakan itu memang disepakati dan diterima sebagai upaya mengerem potensi defisit semakin besar. Mengubah Perpres tentu perlu waktu, sehingga dugaan penulis, memang langkah itu diambil walau ada risiko. Toh sampai kemudian terbit Perpres 19/2016, tidak juga ada koreksi terhadap masa tenggang maupun tentang hak naik kelas perawatan bagi Kelompok Mandiri di kelas 3.Â
Di titik inilah, menarik mencermati berita kemarin sore bahwa Kelompok Mandiri kelas 3 juga berhak naik kelas perawatan ke kelas 1. Apakah yang dimaksud adalah mengembalikan seperti bunyi eksplisit Perpres bahwa semua boleh naik kelas kecuali Kelompok PBI? Bila benar demikian, semoga juga sudah disusun langkah antisipasi terhadap risiko beban pembiayaan pelayanan kesehatan bila masih ada yang memanfaatkan celah regulasi tersebut.Â
Tentu tidak ada pilihan yang benar-benar tepat untuk semua (one fit for all). Semoga sudah jelas langkah antipasi dan mitigasinya.Â
#SalamKawalJKN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H