Tetapi sekarang, dengan era JKN, lagu "padamu negeri" menjadi tidak lagi merdu. Banyak keluhan, kritikan, bahkan omelan, terdengar terhadap pelaksanaan JKN. Mengapa? Karena 80 bahkan ada yang 90% pasiennya adalah peserta BPJSK. Perdebatan banyak terjadi, perbedaan pendapat mewarnai komunikasi hampir tiap hari. Semakin "garang" satu pihak, akan mendorong kedua pihak semakin defensif.
Lho, setelah sudah ada Permenkes 27/2014, mengapa masih ada perbedaan pendapat? Karena ternyata belum menjawab semua persoalan yang sehari-hari dihadapi. Selalu masih ada celah beda pendapat. Dalam setiap perbedaan pendapat itu, kembali ke "birokrasi keuangan" tadi, verifikator mensyaratkan bukti otentik, hitam putih, sesuai prosedur. Di sisi lain, ada lagi kenyataan di sisi penyedia layanan. Kita lebih sering menyodorkan konsep ilmiah, tataran teori dan "logika". Bukan soal konsep itu tidak lagi utuh , atau teori itu sudah runtuh atau pun logika itu tidak kukuh. Masalahnya, ya itu tadi, harus jelas bukti otentik hitam putihnya. Jujur harus kita akui, amanah Permenes 1438/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, belum sepenuhnya kita jalankan. Bahkan, maaf, kebanyakan kita masih kedodoran.
Jadilah kemudian perdebatan itu begitu rentan timbul: yang satu menyorongkan logika, teori dan "ini lho kami sudah bekerja, sudah berusaha maksimal", sisi lain, "kami hanya bekerja berdasarkan aturan, selama tidak ada bukti otentik dan dasar regulasinya, kami tidak bisa menerima". Ketika ujung perdebatan itu klaim dipending, maka terjadilah rasa frustasi. Jangan salah, rasa frustasi itu sebenarnya juga dirasakan oleh kedua pihak, tidak hanya yang klaimnya tertolak. Lagilagi, ini semakin merenggangkan jarak antar keduanya.
Menghadapi itu, ada yang kemudian "terserahlah yang penting tidak hilang seluruhnya". Ada juga yang "entah bagaimana caranya bukti dapat diadakan". Ada juga yang "kami tetap teguh memegang pendapat, walau risikonya klaim tidak terbayar". Di sisi lain, ada yang kemudian berpikir "pokoknya kami sesuai aturan". Ada lagi yang "asal nggak keterlaluan kami juga pengertian". Meski harus diakui masih ada juga yang berpikir "kami berhasil menekan minimal". Kondisi-kondisi ini jelas sama-sama tidak menguntungkan.
Dalam perjalannya kemudian terbukti bahwa pekerjaan verifikator itu menjadi tidak sesederhana "birokrasi keuangan" karena pelayanan kesehatan memang sering dalam wiilayah tidak setegas hitam dan putih. Apalagi ketika verifikator bukan kalangan medis, apalagi bukan tenaga kesehatan. Jangka pendek, dimintakanlah rekomendasi dari Dewan Pertimbangan Medis. Namun langkah ini kurang tepat hemat penulis, karena walaupun DPM terdiri juga dari kalangan Dokter senior, tetapi dalam pelaksanaannya bersifat "satu arah". DPM menerima pertanyaan dari verifikator, kemudian merumuskan rekomendasi. Lebih tepat bila menggunakan jalur Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB), yang di dalamnya bersifat independen: menerima pertanyaan dari verifikator BPJSK sekaligus juga mendengarkan, atau minimal membawa, aspirasi dari penyedia layanan.
Kalau dikembalikan lagi ke regulasi, memang ada yang disharmoni dalam hal ini. Awal-awal JKN, jelas belum ada regulasi dari Kemenkes tentang tata cara verifikasi. Yang ada baru Buku Petunjuk Teknis Verifikasi Klaim terbitan BPJS Kesehatan. Ketika Juni 2014 terbit Permenkes 28/2014, tentang regulasi diatur sebagai berikut: [caption caption="Proses Verifikasi"]
Satu sisi, proses verifikasi dinyatakan "hanya" pertanggung jawaban administratif, tetapi di sisi lain mengesahkan penggunaan Buku Petunjuk Teknis Verifikasi Klaim terbitan BPJS Kesehatan.Â
Bila diperdebatkan, maka jelas ini potensial menimbulkan pertentangan. Karena itu mari kita kembangkan saling memahami. Mari kita satukan pandangan bahwa antara isi dan kemasan, seharusnyalah bisa berjalan beriringan agar tidak berselisih jalan. Dengan demikian, pelayanan dapat diberikan secara optimal, sekaligus tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan bahwa klaim akan hilang.
Salah satu caranya: mari sama-sama memandang bahwa semua, verifikator maupun penyedia layanan, sama-sama bekerja untuk negara, untuk kemaslahatan masyarakat, bukan untuk "sekedar" keuntungan satu pihak.
Mari kawal JKN!
Â