[caption caption="Alur Entri INA-CBGs"][/caption]Dalam banyak kesempatan kita mendengar kata-kata bahwa "80% lebih RS tidak rugi karena JKN". Minimal 3 kali penulis mendengar langsung dari Pejabat Tinggi Pemerintahan. Belum yang terlontar eksplisit maupun tersirat di media. Bahkan dalam suatu ksempatan pun, Presiden pernah menyatakan "lha itu nyatanya RS tidak rugi kok, malah untung". Agar tidak menimbulkan salah paham, penulis berusaha menjelaskan soal angka "80%" dan apa yang hemat penulis perlu kita lakukan.
Setiap kali RS mengajukan klaim, maka dalam aplikasi INA-CBGs ada kolom untuk memasukkan berapa "tarif" RS kita. Dari sana lah, maka terkumpul data. Memang regulasi JKN mewajibkan BPJSK melaporkan Analisis Utilitas setiap bulan kemudian melaporkan secara berkala kepada Kemenkes. Salah satunya hasil dari pengisian kolom tersebut.
Pengisian itu terserah kepada kita, mau diisi berapa. Tetapi tentu diharapkan yang realistis. Bahkan dalam klausul verifikasi klaim, sebenarnya kita diharuskan menyertakan juga billing (daftar biaya) kasus tersebut. Tujuannya mendapatkan data perhitungan unit cost secara rinci dari setiap kasus yang klaimnya kita ajukan. Namun untuk penyertaan billing ini menjadi polemik antara manajemen dengan BPJSK, dan sekarang tidak di semua tempat masih mau menyertakan billing.
Dari data tersebutlah maka Kemenkes memiliki simpulan bahwa 80% lebih RS mengalami "surplus" karena tarif INA-CBGs masih di atas tarif RS. Tentu saja, simpulan tersebut perlu ditelisik lebih dalam karena:
1. Kebanyakan RS negeri menggunakan tarif kelas I-II-III secara politis ditetapkan rendah, dengan mengandalkan subsidi silang dari kelas di atasnya.
2. Kebanyakan RS memilih hati-hati mengisikannya ketika misalnya merasa tarifnya jauh di atas tarif INA-CBGs karena tentu saja akan menjadi perhatian, padahal kadang-kadang penetapannya belum benar-benar berbasis perhitungan unit cost. Apalagi kalau sampai menyertakan dokumen billing-nya. Kadang sengaja diisikan tarif yang lebih rendah daripada tarif INA-CBGs.
3. Sebagian RS khawatir ada risiko bila misalnya tarif yang diisikan tersebut kemudian akan menjadi klausul tertentu di kemudian hari terutama bila ternyata melebihi tarif INA-CBGs. Misalnya ada audit kecukupan maupun kedalaman padahal kita juga belum siap benar dengan data pendukung yang akurat (terutama dalam perhitungan unit cost).
Untuk itu, memang data yang dimiliki Kemenkes itu harus diakui valid secara data, tetapi tidak dapat disimpulkan tergesa-gesa. Kita pun harus menanggapinya dengan elegan justru agar tersampaikan bahwa ada pertimbangan-pertimbangan minimal seperti poin 1-3 tersebut.
Satu hal lagi, Kemenkes melihat dari data akumulasi total, bukan data kasus per kasus. Karena memang cara pandangnya dari sisi subsidi silang. Di lapangan, kita masih melihat cara pandang yang kasus per kasus. Data kasus per kasus itu sebenarnya diharapkan dari penyertaan data billing pada ajuan klaim. Tetapi tentu ini juga bukan hal yang mudah bagi manajemen.
Untuk itu, penulis mengusulkan beberapa hal:
1. Mari kita dorong keterbukaan di RS masing-masing agar jelas berapa dan bagaimana sebenarnya posisi keuangan dalam mengelola JKN. Tentu sebagai suatu data akumulasi, bukan hanya kasus-kasus tertentu yang tidak jarang dirasa memojokkan bagi klinisi.
Jangan sampai sebagai klinisi, hanya diberi data-data tentang keterbatasan uang saja berbasiskan pembahasan kasus per kasus. Sebagai satu tolok ukur, rata-rata sebenarnya 70-80% berkas klaim itu lancar-lancar saja (artinya secara implisit tidak bermasalah bagi RS juga). Tentu itu rata-rata, ada barangkali RS yang belum mencapai yang demikian. Hanya berarti kita perlu keterbukaan agar jelas tentang bagaimana analisis terhadap yang 20-30% itu dan bagaimana yang 70-80% itu berimbas kepada kasus-kasus yang potensial masalah bagi finansial RS.
2. Mari kita dorong untuk justru RS memberikan data dalam ajuan klaim itu yang lebih mendekati biaya sebenarnya. Bila perlu juga menyertakan data billing agar jelas berapa sebenarnya perhitungan unit cost untuk suatu kasus. Jangan sampai Kemenkes mendapatkan impresi yang salah hanya karena data-data dari RS memang tidak menunjukkan yang sebenarnya.
Salah satu poin permintaan kepada Kemenkes adalah adanya tarif khusus atau top up untuk kasus-kasus perawatan intensif yang berjangka rawat panjang sehingga biayanya tinggi. Untuk mendukung hal ini, mari kita sodorkan data lebih lengkap, tanpa indikasi suatu potensi fraud dalam hal "berapa lama dirawat dengan ventilator" misalnya. Wujudnya tentu dengan melengkapi data-data seperti ringkasan lembar monitor (yang memang masuk dalam ringkasan medis sebagaimana isi Permenkes 269/2008) sebagai bagian dari resume medis dalam berkas ajuan.
3. Mari kita "buktikan" diri dengan melengkapi Standar Pelayanan Kedokteran agar jelas bahwa kita adalah profesional. Alhamdullillah, dari UU PK 29/2004, turun ke Permenkes 1438/2010, didorong juga oleh Akreditasi RS versi 2012, kita dulu memulai JKN pada posisi baru ada 5 PNPK. Saat ini, informasi yang didapatkan oleh penulis pada diskusi di Kemenkes pekan lalu, sudah lebih dari 40 PNPK. Mari kemudian kita wujudkan dalam SPO-PPK (yang sekitar 30% diantaranya dapat dilengkapi CP) agar ketika kita mendesakkan suatu tarif, jelas bahwa kita memiliki dasar berpikir yang sudah komprehensif, termasuk mendukung efisiensi.
Pekan kemarin, dalam sebuah paparan di forum rapat resmi, seorang Direktur RS khusus tipe A menyatakan bahwa setelah era JKN, harga sebuah alkes penting di RS beliau, dengan penerapan e-purchasing berbasis e-catalog maupun pembelian tender non e-purchasing, bisa ditekan sampai tinggal 40% dari harga sebelum era JKN. Dari sanalah efisiensi bisa dicapai. Itu hanya salah satu contoh beliau dalam hal penerapan SPO-PPK dikaitkan dengan usaha efisiensi dimana semua pemberi pelayanan di RS tersebut, menggunakan alkes yang ditenderkan bersama-sama, tidak satu persatu.
Bisa jadi masih ada yang lain, tetapi minimal dengan poin-poin inilah usaha advokasi menjadi lebih mudah dilakukan. Bila Kemenkes terus mendapatkan data dari ajuan klaim sebagai "80% RS surplus", maka menjadi tidak mudah saat kita berhadapan dengan Kemenkes. Sudah kita sampaikan tentang poin-poin mengapa didapatkan hasil tersebut, tetapi tentu saja, nyatanya datanya seperti itu. Maka mari kita perbaiki datanya, agar mendukung pernyataan kita di hadapan Kemenkes.
Terkait soal Jasa Medis, Kemenkes masih melihat bahwa masalahnya adalah antara Manajemen dan klinisi, karena sekali lagi, toh nyatanya secara data 80% RS surplus. Kemenkes merasa sementara ini sudah cukup dengan menetapkan regulasi bahwa 40-60% dari kapitasi untuk FKTP dan 30-50% dari klaim adalah untuk jasa pelayanan di FKRTL. Ini sudah kemajuan karena dalam era Jamkesmas dan Askes, jasa pelayanan dipatok "sebesar-besarnya 44%". Ketika dipatok "sebesar-besarnya" maka cenderung ditekan serendah-rendahnya. Dengan memberikan batasan minimal 30% maka diharapkan tidak kemudian ditekan serendah-rendahnya. Yang juga perlu diperhatiakan adalah sudah terbit Permenkes 85/2015 tentang pola tarif.Â
Dalam hal cara pembagiannya, termasuk berapa porsi Jasa Medis, sudah ada Kemenkes 625/2010. Dalam regulasi itu pun tidak kaku, karena yang diberikan adalah rambu-rambunya saja. Penerapannya secara rinci, tetap diberikan sepenuhnya kepada masing-masing RS. Mari kita aktif dalam proses penerapannya agar terkawal dan terjaga aspirasi kita.
Berarti langkah awal adalah mendapatkan data yang valid. Tetapi kalau keterbukaan dengan manajemen belum tercapai, darimana datanya?
Untuk hal ini, penulis ada usul, walau kemungkinan bisa saja ditanggapi sinis. Agar kita tahu persis, berapa sebenarnya penerimaan RS tempat kita bekerja, maka ada jalan "mudah": minta saja data-data itu ke BPJSK Cabang setempat. Secara organisasi, tentu permintaan itu tidak mudah diberikan karena: bukankah datanya sudah ada di RS kita. Tetapi ada juga yang memberikan secara tidak resmi, karena mereka merasa: daripada kami yang dituding-tuding terus, mending kami berikan sekalian data-datanya, agar jelas bahwa masalahnya bukan di kami.
Nah, agar permintaan itu bisa dipenuhi secara legal: mintalah melalui jalur TKMKB. Karena memang TKMKB memiliki tugas menganalisis utilitas, termasuk penerimaan klaim dari BPJSK. Selanjutnya, sesuai pasal 11 UU BPJS 24/2011, kita "tantang" BPJSK untuk bersama-sama mengusulkan penyesuaian tarif ke Kemenkes berbasis Analisis Utilitas tersebut.Â
Bagi teman-teman di sini yang adalah Manajemen RS, penulis merasa tidak ada yang negatif dari tulisan ini, selain berusaha mendorong keterbukaan agar tidak muncul saling curiga. Juga keterbukaan dalam mengisikan data ke aplikasi INA-CBGs agar Kemenkes mendapatkan data yang lebih mendekati kenyataan.
Mangga kita perbaiki bersama.
#SalamKawalJKN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H