Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Standar Pelayanan: Verifikasi

2 Februari 2016   19:58 Diperbarui: 2 Februari 2016   20:05 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terhadap tulisan kemarin tentang Verifikasi, ada yang menuliskan komentar berikut ini di FB:

... ada hal yang mau saya tanyakan, tentang TKMKB. Bila TKMKB dibentuk oleh BPJSK, tentunya ini menurut saya tidak tepat dan bukan tupoksinya. Seharusnya itu menjadi tupoksi dari Komite Medis RS melalui Subkomite mutu, dimana bila terdapat hal2 seperti kasus tadi (verifikatornya mempermasalahkan teknis medis), maka solusinya adalah audit medis oleh Subkomite mutu. Sesuai dengan UUPK, tiap dokter dan dokter gigi di RS wajib melakukan kendali mutu kendali biaya, dan KMKB yang dimaksud adalah audit medis. Jadi, TKMKB bentukan BPJSK tidak diperlukan dan KMKB bukan tupoksi BPJSK, tapi merupakan kewenangan staff medis di RS.

Terima kasih tanggapannya. Ada beberapa hal penting dalam pertanyaan ini. 

Bila TKMKB dibentuk oleh BPJSK, tentunya ini menurut saya tidak tepat dan bukan tupoksinya.

Esensinya sepakat. Akan lebih tepat bila TKMKB itu dibentuk oleh Kemkes, agar lebih mudah menegakkan independensinya. Tulisan sebelumnya telah membahas lebih mendalam tentang apa itu TKMKB. Namun, apa hendak dikata, regulasi JKN sejak dari UU SJSN 40/2004, Perpres 12/2013 dan Perpres 111/2013 memang mengamanahkan Kendali Mutu dan Kendali Biaya (KMKB) itu kepada BPJSK. Kemudian tugas itu diterjemahkan dalam salah satu bagian dari Peraturan BPJSK nomor 1/2014 tentang Pembentukan TKMKB. Jadi, dari sisi regulasi sampai hari ini, memang pembentukan TKMKB menjadi wewenang dan tupoksi BPJSK. 

Wah, berarti tidak mungkin independen lah wong dibentuk dan dibiayai BPJS kok...

Bagi saya, mengapa tidak? Bagi saya, di era JKN ini, BPJSK jelas tidak berdiri sebagaimana PT. Askes. BPJSK sekarang adalah bagian dari JKN, bukan suatu perusahaan asuransi yang berdiri sendiri (dan menyusun klausul-klausul pertanggungan sendiri). Sedangkan bagi BPJSK, banyak klausul dan regulasi JKN disusun bukan oleh BPJSK sendiri. Tentu perlu pembahasan tersendiri dalam hal ini, namun yang jelas, BPJSK adalah badan nirlaba untuk menyelenggarakan juga JKN secara nirlaba (UU SJSN 40/2004 dan UU BPJS 24/2011). 

Bagi saya, TKMKB dibentuk BPJSK sebagai amanah JKN, bukan amanah BPJSK. Fasilitasi dan dukungan kegiatannya adalah menggunakan "uang rakyat", bukan uang BPJSK. Jadi, yang harus dibela oleh TKMKB (dalam arti dikawal agar berjalan baik dan sinambung) adalah JKN. BPJSK juga harus berpikir yang sama: membela JKN. Karena itu, mengapa tidak bisa independen? 

Tapi audit medis kan tupoksinya Komite Medis?

Sebagaimana dalam tulisan sebelumnya tentang Verifikasi, memang sering terjadi gesekan dalam proses verifikasi. BPJSK mendapat tugas begitu berat dari UU SJSN, sementara tentu kapasitas dan kemampuannya sebenarnya tidak untuk menjadi panglima dalam hal pengendalian mutu. Tidak jarang begitu tajamnya gesekan itu, sampai menjadi kabur pangkal masalah sebenarnya. Sampai-sampai ada meme tentang klasifikasi kasus berbasis BPJS. Padahal meme seperti ini justru mengaburkan masalah sebenarnya.

Apa pasal? Poin utama perbedaan itu berpangkal pada beda perspektif. Gambar di bawah ini biasanya untuk menggambarkan perbedaan perspektif antara manajemen dan klinisi. Tetapi hemat saya juga menggambarkan beda perspektif antara RS dan BPJSK. Dengan perbedaan ini, maka mudah muncul perbedaan pendapat dalam proses verifikasi. 

 Ujung-ujungnya: saling bersikukuh. Padahal risiko bagi RS adalah klaim akan ditunda. Tentu ini bukan pilihan menyenangkan bagi RS. Namun kecenderungan untuk “sudahlah daripada tidak dapat sama sekali” sehingga berwujud “ikuti sajalah apa kata verifikator daripada pending” tentu juga bukan yang kita harapkan. Ujung selanjutnya, muncullah meme seperti dalam awal catatan ini.

Nampak jelas bahwa titik temu sekaligus titik solusi perbedaan perspektif itu ada pada Standar Pelayanan. Wujudnya dari PNPK, SPO dan PPK (Permenkes 1438/2010). Untuk menilainya, melalui Audit Medis. Dalam JKN, diwadahi dalam TKMKB.  Betul bahwa sesuai Pasal 49 UU Praktek Kedokteran 29/2004 bahwa audit medis itu merupakan wewenang Organisasi Profesi. Di RS, diwadahi dalam Komite Medis. Perpres 77/2015 tentang organisasi RS juga tetap menyatakan demikian. 

Karena itulah, susunan keanggotaan TKMKB itu ada dua: Tim Teknis dan Tim Koordinasi. Susunan Tim Teknis inilah yang dipilih orangnya oleh RS dari jajaran Komite Medis. Tim Teknis lah yang melaksanakan Audit Medis. Baru nanti hasil-hasilnya, bila memang diperlukan, menjadi bahan pembahasan di TKMKB. Dengan demikian, tidak melampaui wewenang yang memang menjadi ranah dan tupoksi Komite Medis.

Sedangkan Tim Koordinasi diperlukan karena pada akhirnya JKN melibatkan banyak RS. Jadi tidak bisa bila hanya mengandalkan Audit Medis di masing-masing RS. Dalam Tim Koordinasi itu ada wakil Tim Teknis masing-masing RS, digabungkan dengan 5 Organisasi Profesi maupun Pakar dan Akademisi. Dengan demikian proses diskusi di Tim Koordinasi dapat menampung, membahas dan merumuskan rekomendasi bagi banyak pihak. 

Memang masih ada ganjalan dalam hal pembentukan TKMKB ini, termasuk juga meletakkan soal audit medis ini dalam kerangka kewenangan organisasi profesi dan tupoksi TKMKB. Kita berharap, revisi Perpres dapat lebih menjernihkan masalah ini. Dua tahun ini, JKN masih banyak diwarnai saling curiga, sebaiknya kita minimalkan pada tahun ketiga. 

Kembali ke topik awal, bagaimanapun banyak hal berpangkal dari proses verifikasi. Sudah selayaknya para pihak saling menyadari peran dan fungsinya. Sebaiknya Kemkes menegaskan bahwa tentang verifikasi adalah wilayah Kemkes. Apa alasan saya? Karena Perpres 12/2013 menyatakan bahwa kendali mutu dan kendali biaya untuk soal standar pelayanan medis adalah ranah Kemkes. Ini memang berarti Perpres membagi beban pasal 24 ayat (3) UU SJSN 40/2004 agar BPJSK tidak terlalu berat menyangganya. Maka tentang HTA, Dewan Pertimbangan Klinis maupun tarif (INA-CBGs) dan obat (Fornas), adalah ranah Kemkes. Begitu juga pengawasan terhadap pelaksaan JKN dari aspek pelayanan medis adalah ranah Kemkes. Standar Pelayanan Kedokteran pun adalah ranah Kemkes.

Dengan demikian, selayaknya pula bahwa Kemkes yang menerbitkan Pegangan Verifikasi. Baik apa saja input yang dipersyaratkan, acuan proses yang harus diikuti, dan luaran yang diharapkan. Dengan demikian, para pihak mendapatkan pegangan yang sama, agar meminimalkan perbedaan pendapat. Bahwa tetap ada perbedaan pendapat, regulasi JKN menyatakan Kemkes pula melalui Dewan Pertimbangan Klinis sebagai pemutusnya.

Untuk itu, saya mendorong para pihak, tidak perlulah menyebarkan meme seperti ini karena rawan bias dan menyebar tanpa kejelasan. BPJSK dan teman-teman verifikator, mari kita kembalikan ke mekanismenya baik dari acuan Permenkes maupun prosedur di TKMKB. Teman-teman di RS, mari kita dudukkan diri kita sebagai mitra sebanding terhadap BPJSK justru agar mengurangi friksi.

#SalamKawalJKN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun