Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lentur dan Lebur tapi Tidak Luntur....

24 Januari 2016   10:35 Diperbarui: 24 Januari 2016   11:36 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu hal menarik dari beberapa kali membantu hajatan pernikahan di daerah Solo dan sekitarnya, adalah berkaitan dengan tata cara upacaranya. Kita ketahui bahwa dalam adat Jawa, ada serangkaian upacara yang dilaksanakan ketika hajatan pernikahan. Urutan itu bahkan sudah dimulai jauh-jauh hari sebelumnya.

Awalnya, dalam tradisi yang kuat, ada cukup banyak acara. Saya pernah terlibat dalam sebuah hajatan yang bahkan urutannya sudah dimulai sejak satu bulan sebelumnya. Isinya banyak upacara yang saya sendiri termangu-mangu karena baru mengetahuinya. Sebutlah misalnya nontoni, nembung, naleni, asok tukon, lamaran, mbucal-bucali, pasang bleketepe, midodareni, nyantri, siraman, ijab, panggih, pahargyan dan seterusnya. Bagi yang memegang tradisi kuat, maka seluruh rangkaian itu dilaksanakan, dan dalam hari-hari yang terpisah bahkan terpilih. Maka menjadi wajar bila sampai satu bulan.

Dalam perkembangannya, orang cenderung meringkas, biasanya hanya menjadi 2-3 hari saja. Acara pasang bleketepe dan siraman biasanya dilangsungkan satu waktu. Disusul pasrah calon pengantin, dan midodareni pada satu waktu juga. Selanjutnya ijab dan panggih (baik menyatu dengan resepsi ataupun masing-masing) biasanya dalam satu hari juga. Sebagian menambahkan acara pendahuluan atau sebagai rangkaian dalam bentuk ibadah (pengajian, pembacaan Qur'an, ataupun Ibadah Nasrani - saya belum mendapat kesempatan mengikuti yang agama lain).

Khusus yang kebetulan berkeyakinan Islam, selalu ada diskursus tentang "apakah tata cara upacara itu tepat dilakukan"? Lebih sering, diskusrus ini berlangsung dalam senyap, dalam arti tidak dibahas secara terbuka. Biasanya dalam diskusi kelompok kecil. Cukup sering saya mendapat pertanyaan dari empunya hajatan, bagaimana menerapkannya dalam koridor yang diyakini (Islam)?

Sebagai bukan seorang ahli dalam hal agama Islam, saya sering melihat memang ada beberapa hal yang biasa menjadi fokus "pergulatan bathin". Yang mudah tentu dalam hal misalnya seperangkat "ritual" sebelum dan selama proses. Biasanya ditempatkan di beberapa tempat seperti sudut rumah, langit-langit rumah, di pintu gerbang bahkan ada yang sampai ke sekitar rumah. Isinya dari bunga, makanan, juga dupa. Untuk yang ini biasanya sudah banyak yang meninggalkan. Atau minimal, tidak banyak menjadi diskusi karena relatif "tidak menjadi tontonan orang lain".

Mengiringi rangkaian tata upacara itu pun, ada beberapa makanan yang secara khusus dipersiapkan. Bahkan ada juga tata upacara khusus yang melambangkan kedua orang tua persiapan memasak (cethik geni dan adang sepisanan) secara khusus. Misalnya saat pasang bleketepe dan sadean dhawet ada sega pecelnya. Ada juga sega golong sebagai perlambang sudah golong gilig (bulat tekatnya) disertai doa semoga lancar dalam memasuki jenjang pernikahan (atau bagi orang tuanya dalam menikahkan anaknya). Di hiasan kanan kiri pada pintu gapura ada gedhang ayu dan suruh ayu sebagai perlambang bahwa kedua pengantin mencapai puncak "manisnya" kehidupan. Dirangkai pula batang padi diikat dengan alang-alang dan daun apa-apa sebagai sarana membersihkan meja (dengan makna semoga tidak terjadi halangan apa-apa). Bleketepe dirakit dari daun kelapa yang dianyam denga pola tertentu. Dimaknai sebagai lambang keteduhan (pangiyupan) dan kesegeran. 

Saat siraman khusus disajikan sega tumpang. Jangan keliru lho ya, ini bukan soal persiapan "tumpang-tumpangan" tetapi sebagai perlambang persiapan mendaki tapak kehidupan yang lebih tinggi dari sebelum ke sudah menikah yang semua itu arahnya tetap hanya satu, menjadi lebih baik. Saat panggih, ada yang memberikan juga unjukan rujak degan tidak hanya sebagai minuman sehat berenergi, tetapi juga perlambang sudah tepatnya fase kehidupan sebagai kelapa muda, yang selanjutnya diharapkan menjadi "kelapa tua" yang semakin bersantan. Begitulah kurang lebih, atau sepengetahuan saya. Kalau soal makanan, biasanya masih diikuti tradisinya, karena tidak banyak bersinggungan dengan soal benturan keyakinan. Juga karena biasanya jarang yang memperhatikan secara rinci.

Bagaimana dengan yang merupakan bagian dari "tampilan" (part of the show)?

Sebenarnya, ada beberapa bagian yang menurut saya justru sudah selaras antara tradisi dan pemahaman Islam, walau hanya sebatas pemahaman saya. Misalnya, dalam acara lamaran, pasrah calon pengantin, atau malam midodareni, sebenarnya memang tradisi mensyaratkan tidak ada pertemuan antara calon pengantin laki-laki (CPL) dan calon pengantin perempuan (CPP). Bahkan dalam pandangan yang ketat, CPL tidak diperkenankan masuk ke rumah calon mertua. Dia hanya boleh di halaman setelah diserahkan dari pihak keluarga CPL. Setelah diserahkan kepada pihak orang tua CPP, maka CPL harus mondok (nyantrik) di tempat yang disediakan pihak keluarga CPP. Tidak boleh terjadi CPL menginap di rumah CPP. Proses nyantrik ini sebenarnya merupakan proses ujian bagi CPL untuk tetap bersabar dan menahan diri. Sungguh indah keselarasan ini.

Yang juga menarik dalam proses midodareni itu, ada proses pemberian nasehat dari calon mertua kepada CPL yang biasa disebut Sabda Tama (atau disebut juga Catur Wedha). Isinya adalah nasihat dari Ayah CPP sekaligus calon mertua sebagai persiapan untuk memasuki jenjang pernikahan dan berumah tangga. Memang ada semacam narasi baku untuk Sabda Tama ini. Tetapi, bisa menjadi luar biasa pula karena dalam proses itulah, sebagian calon mertua akan menyelipkan pula beberapa nasihat bernafaskan keagamaan bahkan dicuplik dari ayat Qur'an (sebut saja misalnya soal pernikahan sebagai perjanjian luhur - mitsaqon gholidzo -, tentang hak dan kewajiban suami dan istri, serta mengenai kewajiban mendidik anak dengan merujuk ke nasihat Luqman kepada anak-anaknya).

Hal ini kadang terlupakan, karena justru dalam acara itu, kedua CPL dan CPP dipersandingkan duduk di kursi pelaminan. Bahkan biasanya disertai juga prosesi tukar cincin. Dalam tradisi Jawa, sebenarnya tidak dikenal acara tukar cincin. Artinya tidak ada proses dimana CPL "bersentuhan" dengan CPP sebelum akad nikah. Jangankan menyentuh, karena saling bertemu atau memandang saja belum diperkenankan. Dalam sudut pandang ini pula, sebenarnya foto berdua - apalagi cenderung dengan gaya-gaya "mesra" - sebelum menikah (biasa disebut pre-wedding photo) jelas tidak dikenal dalam tradisi Jawa. Demikian pula tentu saja dalam ajaran Islam. 

Selanjutnya dalam pelaksanaan akad nikah, dalam traisi yang kuat, sebenarnya prosesnya hanya antara CPL dengan Ayah dari CPP. Selama proses itu, CPP tetap di dalam rumah. Baru setelah akad nikah selesai dengan sah, CPP yang telah resmi menjadi pengantin putri (PP) akan dipertemukan dengan CPL yang telah resmi menjadi pengantin laki-laki (PPL). Sebagian "menyiasati" dengan menyelenggarakan acara tukar cincin, setelah selesai akad nikah.

Rangkaian tata cara selanjutnya yang lebih menyita pergulatan adalah prosesi panggih. Dalam tradisinya ada serangkaian urutan seperti balang gantal (dua lembar daun sirih yang digulung bersama dan diikat benang putih). Saling melempar daun sirih ini sebenarnya bermakna kuat. Biasanya dinarasikan sebagai: roning sedah kaiket lawe pethak dadya gantal pralambang sanajan dinulu beda warnanne lamun ginigit nunggal rasane kadya temanten kekalih sanajan wujud jalu tanapi wanita, seje ing warna, beda ing rasa, hananging lamun wus kaiket ing palakrama dadya nunggal ing rasa, karsa saha ciptane tujumuju kulawarga sakinah mawaddah wa rahmmah".

Gantal itu sendiri sebenarnya ada makna masing-masing antara PL dan PP. Yang dilemparkan oleh PL disebut gondhang tutur, dimaknai sebagai kewajiban suami untuk mengayomi sekaligus mendidik istri, artinya menempatkan diri sebagai pelindung dan imam bagi keluarganya. Sedangkan yang dilempar PP disebut gondhang kasih melambangkan kewajiban istri untuk selalu hormat dan taat penuh kecintaan kepada suaminya. Indah bukan?

Makna itu akan makin kuat bila diselaraskan dengan apabila pada malam sebelumnya saat midodareni, sudah disampaikan pula nasihat dari calon mertua kepada kedua calon pengantin. Juga, dipilihnya mushaf Al Qur'an dan seperangkat alat sholat sebagai mahar. Tentu, adalah hal yang istimewa kalau misalnya mahar itu adalah hafalan Qur'an. Sungguh selaras dan indah....

Bagian berikutnya, ini yang sering menjadi perdebatan: ada tata cara menginjak telur. Dalam tradisi Jawa, ini menggambarkan telah sampainya saat bagi kedua pengantin untuk masuk ke jenjang keluarga. Pecahnya telur menandakan telah memuncaknya pamor (kehormatan diri) sebagai pribadi sehingga siap memasuki jenjang pernikahan adalah jalan untuk menyempurnakan puncak dengan menjadi sebuah keluarga. Suatu perlambang indah dari "menggenapkan separuh agama".

Selanjutnya, ini juga sering menjadi perdebatan, pengantin putri akan memberikan sembah kepada suaminya sambil bersimpuh sebelum membasuh kakinya dengan air kembang. Sungguh suatu penyerahan diri dan penghambaan yang luar biasa. Beberapa orang menyebut ini sebagai suatu yang "tidak Islami". Namun seorang pemandu acara yang "matang" akan menyampaikanan narasi bahwa hal itu sesuai ajaran "seandainya diperbolehkan seorang manusia itu menyembah manusia lain, maka akan aku wajibkan seorang istri menyembah kepada suaminya". Sembah sungkem sambil bersimpuh itu sekedar perlambang, bukan penyembahan dalam arti sebenarnya. Juga penggunaan bunga adalah perlambang kebersihan, kesucian sekaligus keharuman.

Sebenarnyalah itu lambang bakti pada suami, sekaligus sebuah "tamparan" keras bagi suami untuk selalu ingat bahwa: jangan pernah membawa kotoran ke dalam rumah. Karena tentu yang kotor itu cenderung melekat kuat, maka tentu saja maksudnya juga "jangan pernah bermain kotor di luar rumah". Mengapa? Karena jelas, suami adalah imam bagi keluarganya, sekaligus penyalur rejeki bagi istri dan anak-anaknya. Memberi makan hasil korupsi, sama saja menjerumuskan keluarganya.

Sebaliknya, itu juga menandakan nasihat bagi seorang istri untuk senantiasa menyambut suaminya dengan penghormatan dan kasih sayang, bukan dengan serangkaian tuntutan, cercaan dan omelan. Sebuah nasihat untuk menjadikan dirinya selalu sedap dipandang, menyejukkan hati sekaligus selalu patuh pada suami. Dan jelas, hanya suaminyalah yang layak mendapatkan semua itu. Luar biasa bukan?

Karena kesadaran itu pula, segera setelah istri membasuh kaki suaminya, bergegas sang suami akan merengkuh dan membimbing istrinya berdiri untuk kemudian segera bersanding di sisi suami. Selanjutnya, istri akan dengan tenang berjalan di sisi suaminya, sedikit di belakang, wajahnya sedikit menunduk dan merapatkan diri sambil memeluk erat lengan suaminya, karena merasa mendapatkan perlindungan, dan penunjuk jalan. Di sinilah wujud kesadaran seorang suami, wujud kesadaran akan tanggung jawab yang berat. Di sinilah wujud seorang istri yang pandai menempatkan diri. Indahnya....

Menuju ke pelaminan ini ada dua model. Pertama, Ayah pengantin putri akan menjadi cucuk lampah (membimbing jalan) bagi pasangan pengantin, sedangkan Ibu pengantin putri menyelimuti keduanya dengan sindur (kain). Model ini melambangkan peran orang tua untuk membimbing jalan di depan (ing ngarsa sung tuladha) sekaligus mendukung dan menjaga dari belakang (tut wuri handayani). Pengantin berjalan sampai nanti didudukkan di kursi pelaminan. 

Model kedua, ada yang memilih bahwa kedua orang tua berada di belakang pengantin. Pada model ini, dimaknai bahwa begitu telah melakukan akad nikah, dimana Ayah pengantin putri telah menikahkan, maka tanggung jawab telah berpindah. Termasuk bahwa pengatin telah dianggap siap untuk berjalan mandiri. Posisi dan peran orang tua lebih pada Tut Wuri Handayani, tidak lagi secara literal berada di depan membimbing jalan. 

Setelah duduk di pelaminan, akan dilangsungkan serangkaian tata cara. Di awali dengan bobot timbang yang menandakan bahwa bagi orang tua, sekarang tidak ada lagi anak dan menantu. Yang ada adalah anak. Berarti pula, tidak perlu ada rahasia antar suami istri dalam hal memperlakukan kedua orang tua masing-masing.

Selanjutnya, suami istri baru itu akan saling menyuapi, menunjukkan kemesraan dan saling percaya serta tekat untuk mandiri tidak lagi bergantung pada orang tua. Begitu juga ketika suami menyerahkan rejeki yang diperolehnya kepada istri - dengan perlambang beras kuning campur biji kacang hijau dalam tilam lampus- dengan amanah untuk dikelola secara hati-hati (gemi, setiti lan permati) agar menjadikan kebahagiaan keluarga (cukup, mentes lan mungkasi). Jelas, di sana tidak ada sebenarnya konsep "uang laki-laki" karena semua adalah milik suami-istri. Juga bahwa tidak ada ruang bagi "simpanan dan simpenan" rahasia antara keduanya.

Prosesi selanjutnya, kedua pengantin melakukan sungkem kepada kedua orang tua dari kedua pihak. Ini juga wujud kesadaran bahwa mereka telah menjadi bagian dari kedua keluarga besar. Kesadaran bahwa pernikahan dalam konsep Jawa, bukan sekedar antar dua orang manusia, tetapi adalah antara dua keluarga. Tentu, ada konsekuensi, ada risiko benturan, tetapi itulah memang keniscayaan karena manusia memang diciptakan untuk tidak hanya memiliki satu sifat dan kepribadian yang sama.

Begitulah, sebenarnyalah, banyak makna bisa dipetik. Sudut pandang kita yang lebih menentukan: apa makna yang bisa kita ambil. Biasanya, saya diajak diskusi kecil untuk menyepakati beberapa hal terkait seluruh rangkaian tersebut. Selalu saya sampaikan pandangan saya dengan hati-hati. Hal-hal yang prinsip, saya tegaskan sebagai sikap saya. Sebutlah misalnya soal sesajian, soal ritual tertentu, atau soal penggunaan lafal doa yang tidak ditujukan kepada Allah SWT.

Tetapi segera pula saya sampaikan, bahwa pada dasarnya, itu semua adalah hak penuh empunya hajat. Sebagai yang diminta membantu, saya akan siap melaksanakan apa yang menjadi keyakinan, selama saya tidak harus terlibat sebagai pelaku untuk hal-hal yang saya yakini tidak benar. Tugas saya adalah menyusun rencana dan memastikan semua berjalan lancar.

Hal yang cukup sering mengganggu saya adalah pelaksanaan siraman. Sebenarnyalah makna siraman ini cukup dalam: menjaga kebersihan diri untuk dalam keadaan suci memasuki jenjang pernikahan. Agar tidak perlu ada "beban masa lalu" apalagi "trauma masa silam", yang akan mengganggu ketika memasuki pernikahan. Masalahnya, sebenarnyalah prosesi itu sebaiknya dilakukan di ruang privat. Bukan tempatnya untuk dilakukan di ruang semi publik apalagi dipertontonkan secara terbuka. Sebaiknya acara ini menjadi acara keluarga inti, dengan mempertahankan bahwa "hanya muhrimnya lah yang layak ikut menyaksikan".

Ada satu yang juga sering menjadi pertanyaan ke saya: apakah pengantin putri harus mengenakan jilbab ketika akad nikah? Saya menjawab: mengenakan jilbab sesuai tuntutan, adalah kewajiban yang disyariatkan dalam Islam. Namun, semua berpulang kepada pribadi masing-masing serta orang tua sebagai walinya. Apakah mengenakan, atau tidak mengenakan, itu adalah hak, dengan kesadaran penuh sebagai pribadi dewasa.

Selanjutnya saya hanya sampaikan, akan lebih baik bila dilakukan sesuai keyakinan dan integritas saja: kalau memang sudah mantap memakai, tentu harus memakai seterusnya. Namun bila belum sampai kesiapan, justru lebih baik apa adanya sehingga lebih terjaga integritasnya. Pada akhirnya, saya serahkan semua kepada empunya hajat dan calon pengantin. Saya sekedar menyampaikan pendapat sesuai permintaan.

Ada juga saatnya, saya tidak diajak diskusi. Saya tentu berpikir positif bahwa tentu empunya hajat sudah melakukan banyak kajian dan sudah memutuskan. Maka saya tinggal mengikuti saja bagaimana yang dikehendaki. Tidak pada tempatnya saya mengatur atau menghalang-halangi, selama itu bukan hal yang prinsip. Biasanya, saya hanya sangat berusaha menjaga dalam proses akad nikah (pernah saya bahas sebelumnya) karena itulah sebenarnya inti acaranya. Saya berusaha memastikan bahwa proses itu berjalan benar-benar seperti seharusnya (by the book). Untuk itu perlu persiapan yang sangat matang, termasuk mempertimbangkan apakah akan dilangsungkan di masjid, di rumah atau di tempat lain. Sedangkan untuk rangkaian acara yang lain, saya cenderung mengikuti apa yang menjadi kehendak dari empunya hajat.

Hemat saya, bila berdiri sebagai pihak luar, lebih baik kita berpikir positif setiap kali mengamati dan mengikuti rangkaian acara pernikahan. Biarlah pergulatan itu menjadi wilayah empunya hajat dan pelakunya. Selama tidak diminta, atau karena kita adalah bagian dari keluarga. lebih baik kita berposisi tenang. Bila memang merasa ada yang kurang pas, pilihannya mudah: hadirlah pada rangkaian yang kita merasa selaras, dan memilih menjauh pada rangkaian yang kita anggap kurang tepat.

Sungguh, bagi saya, ada pembelajaran berharga, dari menjalani tugas sosial membantu hajatan pernikahan. Saya bagi, siapa tahu ada manfaatnya bagi yang lain. Namun, jelas ini jauh dari menggurui, saya sekedar berbagi.

6 Juni 2015

Di ketinggian 29.000 kaki antara Manado - Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun