Selanjutnya dalam pelaksanaan akad nikah, dalam traisi yang kuat, sebenarnya prosesnya hanya antara CPL dengan Ayah dari CPP. Selama proses itu, CPP tetap di dalam rumah. Baru setelah akad nikah selesai dengan sah, CPP yang telah resmi menjadi pengantin putri (PP) akan dipertemukan dengan CPL yang telah resmi menjadi pengantin laki-laki (PPL). Sebagian "menyiasati" dengan menyelenggarakan acara tukar cincin, setelah selesai akad nikah.
Rangkaian tata cara selanjutnya yang lebih menyita pergulatan adalah prosesi panggih. Dalam tradisinya ada serangkaian urutan seperti balang gantal (dua lembar daun sirih yang digulung bersama dan diikat benang putih). Saling melempar daun sirih ini sebenarnya bermakna kuat. Biasanya dinarasikan sebagai: roning sedah kaiket lawe pethak dadya gantal pralambang sanajan dinulu beda warnanne lamun ginigit nunggal rasane kadya temanten kekalih sanajan wujud jalu tanapi wanita, seje ing warna, beda ing rasa, hananging lamun wus kaiket ing palakrama dadya nunggal ing rasa, karsa saha ciptane tujumuju kulawarga sakinah mawaddah wa rahmmah".
Gantal itu sendiri sebenarnya ada makna masing-masing antara PL dan PP. Yang dilemparkan oleh PL disebut gondhang tutur, dimaknai sebagai kewajiban suami untuk mengayomi sekaligus mendidik istri, artinya menempatkan diri sebagai pelindung dan imam bagi keluarganya. Sedangkan yang dilempar PP disebut gondhang kasih melambangkan kewajiban istri untuk selalu hormat dan taat penuh kecintaan kepada suaminya. Indah bukan?
Makna itu akan makin kuat bila diselaraskan dengan apabila pada malam sebelumnya saat midodareni, sudah disampaikan pula nasihat dari calon mertua kepada kedua calon pengantin. Juga, dipilihnya mushaf Al Qur'an dan seperangkat alat sholat sebagai mahar. Tentu, adalah hal yang istimewa kalau misalnya mahar itu adalah hafalan Qur'an. Sungguh selaras dan indah....
Bagian berikutnya, ini yang sering menjadi perdebatan: ada tata cara menginjak telur. Dalam tradisi Jawa, ini menggambarkan telah sampainya saat bagi kedua pengantin untuk masuk ke jenjang keluarga. Pecahnya telur menandakan telah memuncaknya pamor (kehormatan diri) sebagai pribadi sehingga siap memasuki jenjang pernikahan adalah jalan untuk menyempurnakan puncak dengan menjadi sebuah keluarga. Suatu perlambang indah dari "menggenapkan separuh agama".
Selanjutnya, ini juga sering menjadi perdebatan, pengantin putri akan memberikan sembah kepada suaminya sambil bersimpuh sebelum membasuh kakinya dengan air kembang. Sungguh suatu penyerahan diri dan penghambaan yang luar biasa. Beberapa orang menyebut ini sebagai suatu yang "tidak Islami". Namun seorang pemandu acara yang "matang" akan menyampaikanan narasi bahwa hal itu sesuai ajaran "seandainya diperbolehkan seorang manusia itu menyembah manusia lain, maka akan aku wajibkan seorang istri menyembah kepada suaminya". Sembah sungkem sambil bersimpuh itu sekedar perlambang, bukan penyembahan dalam arti sebenarnya. Juga penggunaan bunga adalah perlambang kebersihan, kesucian sekaligus keharuman.
Sebenarnyalah itu lambang bakti pada suami, sekaligus sebuah "tamparan" keras bagi suami untuk selalu ingat bahwa: jangan pernah membawa kotoran ke dalam rumah. Karena tentu yang kotor itu cenderung melekat kuat, maka tentu saja maksudnya juga "jangan pernah bermain kotor di luar rumah". Mengapa? Karena jelas, suami adalah imam bagi keluarganya, sekaligus penyalur rejeki bagi istri dan anak-anaknya. Memberi makan hasil korupsi, sama saja menjerumuskan keluarganya.
Sebaliknya, itu juga menandakan nasihat bagi seorang istri untuk senantiasa menyambut suaminya dengan penghormatan dan kasih sayang, bukan dengan serangkaian tuntutan, cercaan dan omelan. Sebuah nasihat untuk menjadikan dirinya selalu sedap dipandang, menyejukkan hati sekaligus selalu patuh pada suami. Dan jelas, hanya suaminyalah yang layak mendapatkan semua itu. Luar biasa bukan?
Karena kesadaran itu pula, segera setelah istri membasuh kaki suaminya, bergegas sang suami akan merengkuh dan membimbing istrinya berdiri untuk kemudian segera bersanding di sisi suami. Selanjutnya, istri akan dengan tenang berjalan di sisi suaminya, sedikit di belakang, wajahnya sedikit menunduk dan merapatkan diri sambil memeluk erat lengan suaminya, karena merasa mendapatkan perlindungan, dan penunjuk jalan. Di sinilah wujud kesadaran seorang suami, wujud kesadaran akan tanggung jawab yang berat. Di sinilah wujud seorang istri yang pandai menempatkan diri. Indahnya....
Menuju ke pelaminan ini ada dua model. Pertama, Ayah pengantin putri akan menjadi cucuk lampah (membimbing jalan) bagi pasangan pengantin, sedangkan Ibu pengantin putri menyelimuti keduanya dengan sindur (kain). Model ini melambangkan peran orang tua untuk membimbing jalan di depan (ing ngarsa sung tuladha) sekaligus mendukung dan menjaga dari belakang (tut wuri handayani). Pengantin berjalan sampai nanti didudukkan di kursi pelaminan.Â
Model kedua, ada yang memilih bahwa kedua orang tua berada di belakang pengantin. Pada model ini, dimaknai bahwa begitu telah melakukan akad nikah, dimana Ayah pengantin putri telah menikahkan, maka tanggung jawab telah berpindah. Termasuk bahwa pengatin telah dianggap siap untuk berjalan mandiri. Posisi dan peran orang tua lebih pada Tut Wuri Handayani, tidak lagi secara literal berada di depan membimbing jalan.Â