Beberapa hari lalu, saya menuliskan cukup panjang mengenai dinamika regulasi kepesertaan JKN. Tulisan yang sudah relatif panjang itu ternyata masih tetap menyisakan pertanyaan terkait justru untuk kelompok non-PBPU. Aturan untuk kelompok Non-PBPU (PBI, PNS, TNI, Polri dan PPU) pada dasarnya “tidak banyak berubah” tetapi sekaligus juga berarti tetap banyak pertanyaan yang belum terjawab dengan jelas. Khususnya yang terkait dengan kelompok mantan Peserta Askes (PNS/TNI/Polri)
Sejak PP, Perpres 12/2013, Perpres 111/2013 dan Permenkes 71/2013, pada dasarnya menyatakan bahwa untuk kelompok Non PBPU cenderung tidak banyak berubah. Untuk PBI, diatur dalam PP 101/2012 bahwa pemerintah menetapkan kuota bagi PBI. Awal JKN, diketahui bahwa jumlah penduduk yang berhak mendapat perlindungan sosial adalah 40 persen penduduk Indonesia dengan kondisi sosial eknomi terendah yang meliputi 96,7 Juta Individu atau 24,7 Rumah Tangga. Syarat atau kriteria masuk kelompok PBI ini diatur dalam Kepmensos nomor 146/2013. Tapi untuk Program JKN sejak 1 Januari 2014, Pemerintah baru sanggup menanggung PBI untuk 86,4 juta orang.
Bagi yang belum termasuk maka menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (Perpres 111/2013, Permenkes 28/2014). Mekanismenya melalui pengusulan sampai ke tingkat Kabupaten/Kota. Selanjutnya ada dua pilihan: (1) ditanggung sebagai PBI oleh Pemerintah Daerah (Pasal 6A Perpres 111/2013) atau diusulkan pada perbaruan data PBI Nasional setiap 6 bulan. Masalahnya tetap pada kuota.
Masuk tahun 2015, Pemerintahan yang baru menjanjikan perluasan cakupan PBI. Sesuai isi APBNP 2015, pada tahun 2015 jumlah PBI ditambah sebesar 1,8 juta untuk menampung kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan masyarakat binaan di LP. Total menjadi 88,2 juta orang.
Bagaimana dengan yang belum tercakup? Tanggal 7 Oktober 2015 terbit PP nomor 76/2015 sebagai revisi terhadap PP nomor 101/2012 yang memungkinkan ada perubahan update yang bisa dilakukan paling lambat setiap 6 bulan. Artinya bisa dilakukan perbaruan data sebelum 6 bulan. Juga ada klausul penambahan jumlah PBI melebihi kuota bila masih terdapat anggota masyarakat yang berhak. Ini adalah perubahan baru, semoga kita bisa melihat efektifitasnya dalam waktu dekat.
Masalah yang masih sering timbul di lapangan: ketika hendak beralih dari PBI ke mandiri. Dalam regulasinya, dapat dilakukan perpindahan status dengan membayar sebagai peserta mandiri. Tetapi ada klausul bahwa tidak boleh ada kepesertaan ganda, maka harus ada klarifikasi dari pihak Dinas Sosial bahwa sudah dihapus dari kepesertaan PBI (atau sejenisnya seperti Jamkesmas). Proses ini kadang tidak mudah, karena mudah menjadi saling lempar antar lembaga. Sebenarnya ada Lembaga Monev JKN yang di daerah terdiri dari para Sekretaris Daerah. Melalui Lembaga ini diharapkan dapat diselesaikan hambatan ketika ada yang ingin pindah dari PBI ke mandiri.
Khusus untuk bayi baru lahir dari peserta PBI, dengan PP 76/2015 menjadi jelas bahwa bayi baru lahir dari peserta PBI OTOMATIS menjadi peserta PBI. Aturan baru ini menegaskan kembali apa yang menjadi aturan di awal JKN dulu. BPJSK harus segera menyesuaikan, karena Peraturan Direksi 32/2015 masih mengharuskan adanya rekomendasi Dinas Sosial. Sebaiknya segera terbit petunjuk teknis agar klausul dalam PP 76/2015 itu segera dilaksanakan.
Menjelang 2016, Kepmensos menerbitkan SK Mensos nomor 168, 169 dan 170 tahun 2015 berdasarkan hasil validasi per 20 November 2015. Hasilnya 1,7 juta orang tidak lagi aktif sebagai PBI. Yang termasuk 1,7 juta itu adalah mereka telah mampu secara ekonomi (979.096 peserta), meninggal (615.665 peserta), dan tercatat ganda (159.648 peserta). Hal ini menimbulkan masalah di lapangan karena meski SK itu telah terbit 9 Desember 2015, namun pengumumannya baru dirilis oleh Kemensos pada 7 Januari 2016.
Calon peserta PBI pengganti 1,7 juta orang yang dikeluarkan dari daftar PBI akan diverifikasi dan divalidasi Kemsos. Dengan usulan 1,8 juta peserta, tambahan usulan peserta baru tahun ini 3,8 juta orang, dan perkiraan ada 400.000 bayi yang lahir dari peserta PBI, maka jumlah peserta PBI yang iurannya dibayar pemerintah pada 2016 92,4 juta jiwa. Iuran dibayar pemerintah per peserta per bulan Rp 23.000 (bila nanti Perpres terkait telah terbit).
Implikasinya, merepotkan bagi pelaksana pelayanan terutama untuk PPK 1 dan Faskes jejaring. Bagi RS, juga berisiko yaitu bagi peserta PBI yang terlanjur mendapatkan pelayanan selama tanggal 1-7 Januari 2016, padahal kemudian ternyata adalah termasuk mereka yang non-aktif. Pemerintah didesak untuk memberi kebijakan khusus bagi kondisi di luar rencana ini agar pemberi pelayanan tidak dirugikan.
Bagi peserta, jelas terjadi kebingungan, ketika tiba-tiba kartu peserta PBI nya tidak aktif lagi. Bahkan ada yang baru saja menerima KIS di akhir tahun 2015, yang ternyata kemudian menjadi tidak aktif lagi ketika ganti tahun 2016. Hal ini terjadi karena proses perbaruan data baru dilakukan di awal 2016, sementara penerbitan KIS mendasarkan pada data Kemensos sebelumnya. Kekacauan data ini banyak ditemukan di lapangan, diduga karena memang proses verifikasi dan validasinya masih terus berjalan. Dalam hal ini, BPJSK menerima data jadi dari Kemensos yang diberi kewenangan penetapan data PBI. Tugas BPJSK adalah mencetak kartu dan menetapkan status kepesertaan PBI sesuai data dari Kemensos.