Ada pertanyaan lain yang menarik di inbox. Ada beberapa hal terkait, maka akan ditampilkan per topik sehingga lebih fokus.
Jika ada pasien dok dari sbuah klinik. Dia dirawat inapkan..kemudian harus dirujuk. Dan dokter spesialis yang bersangkutan di klinik tersebut tahu bahwa diagnosa pasien sangat komplex sehingga RS tipe c/d tidak berkompeten juga untul menangani..apakah bisa klinik tersebut langsung rujuk ke tipe B?
Sama halnya dengan kasus.. misal tipe c tdk memiliki ketersediaan ruang intensif.. bisakah klinik merujuk langsung ke RS lebih tinggi? Polemik ini sering saya rasakan sebagai dokter ugd di RS tipe c. Puskesmas bersikeras hrs lewat tipe c dahulu padahal jelas bahwa kami juga terkendala sarana dan prasarana. Dan yg merugi sekarang adalah JELAS pasien dan keluarga. Karena pasien jd di otong-otong pindah RS..kemudian di rujuk kemabali..menunggu dapet rujukann.
Kasihan dok..kondisi mayoritas pasien malah memburuk di perjalanan. Inti dari pertanyaan saya yg pertama: Alur bpjs apakah selalu leterlek sperti itu?
Pertama, kita perjelas dulu tentang Faskes Klinik dan statusnya dalam jejaring JKN. Sesuai Permenkes 9/2014 ada dua jenis klinik: Pratama dan Utama. Pada keduanya, bisa hanya untuk rawat jalan, bisa juga disertai rawat inap (minimal 5 dan maksimal 10 tempat tidur, paling lama rawat inap 5 hari).
Klinik Pratama melayani medis dasar, dengan Dokter Umum. Sedangkan Klinik Utama, melayani medis dasar dan spesialistis. Artinya ada Dokter umum maupun Spesialis. Karena perbedaan ini, maka dalam skema JKN, Klinik Pratama termasuk FKTP (Faskes Primer atau PPK 1). Sedangkan Klinik Utama termasuk FKRTL (Faskes rujukan atau PPK 2).
Sebaliknya, ada satu klasifikasi yaitu RS tipe D Pratama. Permenkes 24/2014 menjelaskan bahwa RS tipe D Pratama adalah RS tipe D adalah rumah sakit umum yang hanya menyediakan pelayanan perawatan kelas 3 (tiga) untuk peningkatan akses bagi masyarakat dalam rangka menjamin upaya pelayanan kesehatan perorangan yang memberikan pelayanan rawat inap, rawat jalan, gawat darurat, serta pelayanan penunjang lainnya. Pemberi pelayanan adalah Dokter Umum tanpa layanan Dokter Spesialis, dengan jumlah tempat tidur minimal 10. Dalam skema JKN, RS tipe D Pratama masuk sebagai PPK 1.
Kembali ke pertanyaan tadi, ada yang harus dipastikan: bila benar ada layanan Dokter Spesialis, berarti termasuk Faskes Rujukan (PPK 2). Dengan demikian, pilihannya rujukan horisontal ke sesama RS tipe D atau C, atau ke RS tipe B atau juga ke tipe A. Lantas bagaimana urutannya? Akan dibahas pada bagian selanjutnya terkait sistem rujukan berjenjang.
Pertanyaan kedua, ini juga menarik. Sesuai Permenkes 340/2010 yang terakhir diperbarui dengan Permenkes 56/2014. Terkait keberadaan Layanan Intensif, maka RS tipe C HARUS memiliki Layanan Intesif. Lantas bagaimana? Secara regulasi, rujukan berjenjang diatur awalnya pada Permenkes 1/2012. Faskes dalam sistem rujukan berjenjang, Faskes dibagi menjadi 3 tingkatan. Rujukan berjalan berjenjang dari tiap-tiap jenjang tersebut.
Permenkes 1/2012
Konsep ini sudah sesuai dengan isi pasal 5 UU RS 44/2009 bahwa salah satu fungsi RS adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. Selanjutnya dengan pembagian itu kemudian diatur pola rujukan secara berjenjang:
Aturan rujukan berjenjang ini wajib dipatuhi oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan (PPK). Bahkan peserta asuransi kesehatan komersial pun sebenarnya tetap mengikuti alur pelayanan kesehatan berjenjang.
Sekarang, aturan itu berusaha diterapkan secara konsekuen. Lantas mengapa menjadi perdebatan?
Persoalan timbul karena ada beda penjenjangan antara Permenkes 1/2012 tentang Rujukan Berjenjang dengan Permenkes 340/2010 tentang klasifikasi RS. Dalam klasifikasinya, RS umum dibagi menjadi 4 tipe: D, C, B, A. Bahkan dalam perbaruan terakhir dengan Permenkes 56/2014 pun, klasifikasinya masih demikian. Untuk memudahkan pemahaman, secara ringkas berikut standar minimal tenaga Dokter yang harus ada sesuai tingkatan RS:
Dengan demikian, Tingkat 2 menurut Sistem Rujukan Berjenjang diisi oleh dua tipe 3 tipe RS: D, C, B. Sedangkan tipe A sudah tepat mewakili Tingkat 3. Di lapangan, BPJSK mengarahkan bahwa dari PPK 1 dirujuk secara berjenjang ke tipe D atau C lebih dulu, baru ke tipe B. Bila diperlukan baru ke tipe A.
Mengapa begitu? Apa alasannya? Kembali, tugas BPJSK mengacu pada pasal 24 ayat (3) UU SJSN 40/2004 untuk mengembangkan sistem yang efektif dan efisien. Apa yang memang bisa dilayani di RS tipe bawah, tidak boleh dirujuk ke tipe di atasnya. Dasarnya adalah kemampuan layanan di tiap-tiap tipe RS yang tersedia. Karena itu BPJSK melakukan kredensialing salah satunya memetakan apa saja kemampuan layanan pada tiap-tiap Faskes.
Semangat dan filosofinya tidak salah, memang demikian, sebagaimana dalam Permenkes tentang sistem rujukan. Rincian kebijakan rujukan berjenjang dalam skema JKN didasarkan pada Permenkes 71/2013. Termasuk di dalamnya ada mekanisme mapping atau rayonisasi.
Di lapangan, arahan BPJSK ini dianggap menimbulkan masalah karena “mempersulit pelayanan”. Salah satu yang sering menjadi laporan: kemampuan layanan yang ada tidak selalu sesuai dengan klasifikasi RS yang disematkan. Salah satu contoh pada pertanyaan tadi: RS tipe C tetapi tidak memiliki fasilitas pelayanan intensif.
Boleh jadi juga maksudnya adalah kekurangan tempat, karena sudah penuh. Pemahaman penuh ini pun sering menimbulkan salah paham. Padahal justru tempat tidur di RS itu tidak boleh penuh 100%, harus ada yang memang dikosongkan, atau terpaksa kosong karena masih proses desinfektasi (simak selengkapnya di RS berbohong soal tempat tidur penuh?).
Jadilah kemudian lagi-lagi BPJSK yang menjadi sasaran “tudingan negatif”. Bagaimana seharusnya? Permenkes 1/2012 jelas menyatakan bahwa sebenarnya tanggung jawab pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan Sistem Rujukan Berjenjang ada pada Dinkes dan Organisasi Profesi:
Mudah dipahami bahwa Dinkes adalah lembaga yang seharusnya paling tahu tentang peta kapasitas layanan sekaligus kebutuhan layanan kesehatan di wilayahnya. Dengan data tersebut, akan memudahkan pembentukan jejaring layanan agar efektif dan efisien. Demikian secara berjenjang dari Dinkes Kabupaten/Kota, Propinsi sampai ke Kemkes. Secara nasional, Kemkes telah menyusun konsep Pelayanan Rujukan secara berjenjang:
Sementara organisasi profesi berperan dalam mengatur peta sumber daya manusia sesuai kompetensinya. Ada satu pertanyaan besar sebenarnya: apa beda kualifikasi seorang Dokter Spesialis di RS tipe D, C, B dan A? Atau juga antara RS A dan B umum dengan RS A dan B Pendidikan? Jelas rasanya harus ada beda, karena kalau sama, lantas apa bedanya layanan antar tipe RS? Hal ini sesuai dengan amanah UU Praktek Kedokteran 29/2004. Wujud dari pasal itu diturunkan dalam Permenkes 1438/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran.
Ini salah satu pertanyaan mendasar untuk dapat memahami mengapa harus ada beda tarif untuk satu tindakan yang sama antara di tipe D, C, B dan A. Sangat jelas bahwa itu sebenarnya berkaitan erat dengan kemampuan layanan dan kualifikasi Dokter Spesialis di tiap-tiap tipe RS.
Langkah yang elegan, tentu kedua lembaga tersebut yang mengambil alih, menerapkan, mengawasi bahkan menindak bila ada rujukan berjenjang yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lebih elegan bahwa BPJSK menjalankan apa yang ditetapkan dan diterapkan oleh Dinkes dan Organisasi Profesi. Tidak perlu BPJSK terpaksa terlibat terlalu dalam menentukan pelaksanaan sistem rujukan berjenjang di suatu daerah selama Dinkes dan Organisasi Profesi sudah menjalankannya.
Mari bercermin bersama untuk mengawal JKN!
@ Menjelang Shubuh 3/10/2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H