Sedangkan yang jelas-jelas diatur dalam Peraturan BPJSK nomor 1 tahun 2014 dalam pasal 84-86 tentang KMKB, yang jelas diatur adalah TKMKB. Sama sekali tidak ada yang menyinggung tentang DPM. Ternyata di lapangan, saya mendapati bahwa Pembentukan TKMKB itu sendiri baru dimulai pada bulan Juni 2014 . Penelusuran saya, SK dimaksud adalah Surat Direktur Pelayanan Nomor 4745/III.1/0614 tanggal 10 Juni 2014 tentang Pembentukan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya.
Sayangnya, sampai pertengahan tahun 2015 ini pun, masih sangat sedikit kalangan dokter yang tahu apa itu TKMKB. Kalaupun sudah terbentuk, mereka merasa belum ada kegiatan nyata. Petunjuk Teknis TKMKB pun baru terbit pada Oktober 2015. Artinya, dari sisi regulasi, sesuatu yang jelas diatur dalam Peraturan BPJSK sendiri, malah kurang mendapat perhatian. Sementara DPM yang tidak ada dalam Peraturan BPJSK sendiri, justru lebih sering “terdengar suaranya”.
Apa maksud “terdengar suaranya”? Sejak sekira September 2014, mulai muncul keluhan bahwa proses verifikasi klaim di lapangan, berujung pada kata-kata “tidak sesuai rekomendasi DPM”. Bahkan ternyata sampai hari ini pun, masih ada keluhan seperti itu di banyak daerah. Saya berani mengatakan karena saya mendengar langsung, melihat langsung maupun dari diskusi di media sosial.
Apa pasal? Karena verifikator menolak ajuan klaim berdasarkan “rekomendasi DPM”. Apa itu rekomendasi DPM? Gambar-gambar di bawah ini menunjukkan salah satu contoh penerapan rekomendasi itu yang secara resmi disebutkan dalam surat dari sebuah cabang BPJSK.
Gambar 4
Salah contoh hasil rekomendasi “Diagnosis Sepsis harus disertai bukti pemeriksaan kultur yang positif”. Padahal jelas bahwa “hasil kultur negatif tidak pernah menyingkirkan diagnosis sepsis”. Demikian juga soal “diagonsis pneumonia harus disertai foto thorak yang khas”. Atau juga “disebut agranulositosis hanya bila jumlah netrofil adalah NOL”. Contoh-contoh serupa masih banyak ditemukan seperti dalam gambar 4 tersebut. Di lapangan, rekomendasi ini menjadi persoalan besar. Apakah ini yang disebut “second opinion” sebagai salah satu fungsi DPM dalam tabel gambar 2?
Akhirnya, rekomendasi itu menjadi kontroversial. Menjadi perdebatan, termasuk “kok bisa muncul rekomendasi seperti itu?” Mari kita simak berita berikut ini, yang adalah salah satu contoh bagaimana BPJSK menerapkan dan menempatkan soal DPM dalam berita bulan Juni 2014: Laporan 11 kasus ke DPM Sumut.
Siapa anggota DPM? Anggota DPM adalah Pakar Klinis (sebagaimana disebut dalam tabel di gambar 2). Dari berita tersebut, berderet para Dokter Konsultan (bahkan Profesor Doktor).
Apa DPM itu menurut salah satu Kepala Divre BPJSK? Gambar berikut petikan dari berita tersebut. Jelas terlihat bahwa ada kesimpang siuran pemahaman dari Kepala Divre tersebut terhadap kedudukan dan fungsi DPM. Yang seharusnya dibentuk sebagai Lembaga “INDEPENDEN” adalah TKMKB. Bukan DPM. Itu jelas dalam regulasi Peraturan BPJSK nomor 1 tahun 2014.