[caption caption="2 BPJS: Melihat lebih jernih"][/caption]
Dini hari tadi penulis mendapat kiriman gambar tersebut. Kemudian penulis sengaja tambahkan beberapa kalimat agar tidak turut menyebarkan kesalah pahaman. Nampaknya, gambar ini dengan jelas menunjukkan satu wujud nyata kesenjangan dari Sindrom JKN: antara Persepsi, Regulasi dan Implementasi. Pemahaman seperti ini tentu perlu diluruskan, agar tidak menimbulkan salah paham. Apakah penulis melakukanya demi BPJSK? Tidak. Penulis meluruskannya demi JKN.Â
Pertama, ini yang paling penting. Tidak ada BPJS Kesehatan, tidak ada BPJS Ketenagakerjaan. Keduanya adalah Penyelenggara dari Program Jaminan Sosial. UU SJSN no 40/2004 mengamanahkan 5 Jenis Program Jaminan Sosial (pasal 18):
1. Jaminan Kesehatan (JK)
2. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
3. Jaminan Hari Tua (JHT)
4. Jaminan Pensiun (JP); dan
5. Jaminan Kematian (JKm)
Per 1 Januari 2014, PT Askes bertransformasi menjadi BPJSK mendapat ugas menyelenggarakan JKN. Sedangkan PT Jamsostek menjadi  BPJSTK dan menjalankan 4 lainnya (dengan sedikit catatan terkait masih adanya peran PT Taspen dan PT ASABRI sampai 2029).Â
[caption caption="Transformasi BPJS"]
Mengapa kemudian menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)? Karena pada saat yang sama, sampai 2016, masih ada Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) dalam berbagai nama dan bentuknya yang juga memberikan jaminan sosial bidang kesehatan seperti JKN di lingkup suatu daerah. Bahkan setelah 2016, pun juga setelah tercapainya Perlindungan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage) pada 2019, tetap saja ada peluang bagi Pemda untuk mengembangkan Jaminan Kesehatan Daerah dalam bentuk manfaat tambahan terhadap JKN. Maka penulis berpendapat, istilah JKN memang untuk mengantispasi hal-hal itu. Termasuk juga dalam hal ini, yang benar adalah Peserta JKN, bukan peserta BPJSK. Sama dengan adanya Akseptor KB, bukan Akseptor BKKBN.Â