Mohon tunggu...
Tomy Zulfikar
Tomy Zulfikar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bawah Pohon Kamboja

9 September 2018   11:28 Diperbarui: 9 September 2018   12:55 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pura Puhsarang / Wikipedia

Gama sedang berada di kedai kopi di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan pada siang itu. Dia telah menjadi pelanggan tetap kedai kopi itu sejak duduk di bangku kuliah. Dia sering berkunjung ke kedai kopi itu hampir setiap hari, walaupun hanya sebatas ingin menulis catatan kaki pada sebuah karya tulisnya. Memiliki profesi sebagai penulis fiksi, dia terbiasa menepi dari keramaian kota dan berdiam diri di suatu tempat yang sunyi untuk mendapatkan inspirasi. Kedai kopi itu memberikan kepuasan itu kepadanya.

Kedai kopi itu bernama Amavasya, kedai kopi yang memiliki luas relatif kecil dibandingkan dengan jaringan kedai kopi global asal Amerika Serikat, menawarkan bermacam-macam varian kopi nusantara. Salah satu varian kopi yang menjadi favorit di kedai kopi itu ialah Bajawa, berjenis kopi Arabica yang menyisipkan rasa asam di tepi lidah.

Suasana kedai kopi itu memberikan kedamaian bagi Gama. Bunga kamboja bersemarak di halaman depannya dan gemericik suara air mengalir dari sungai kecil mengiringi di halaman belakangnya. Selain itu, aroma kopi yang kuat semakin meneduhkan suasananya. Karenanya, banyak inspirasi mengalir ke dalam relung imajinasi Gama.

Gama telah menyendiri di kedai kopi itu sejak pagi. Menurutnya, pagi hari merupakan waktu yang tepat untuk menikmati suasana yang teduh di kedai kopi itu. Oleh sebab itu, dia sangat bersemangat untuk melanjutkan penulisan novel ketiganya sejak pagi. Novel itu merupakan hasil dari metamorfosa kenangan pahitnya. Dia ingin mengungkapkan sebuah kontradiksi yaitu kepiluan hati dapat bermetamorfosis menjadi perasaan yang damai dan setiap tangis tidak selalu berujung tragis. Bagaikan secangkir kopi hitam, meskipun terasa pahit, tetapi memberikan sensasi kenikmatan bagi penikmatnya.

Setelah selesai menyendiri di kedai kopi itu, dia pergi ke sebuah sekolah dasar dimana keponakannya bersekolah di sekolah itu. Setiap hari dia biasa menjemputnya setelah pulang sekolah. Sebelum dia sampai di sekolah, dia mampir terlebih dahulu ke sebuah gereja dimana letaknya bersebelahan dengan sekolah keponakannya itu. Dia ingin bertemu seseorang yang selalu menunggunya di gereja itu. Seorang perempuan Jawa berparas ayu, gerak-geriknya yang anggun dan mempesona, selalu bertutur kata dengan sopan, dan memiliki kepribadian yang sederhana. Panggilan namanya adalah Wana.

Gama telah mengejar cinta Wana dalam setahun terakhir. Dia telah jatuh hati kepada Wana setelah sering memperhatikan Wana membaca buku di depan halaman gereja. Setelah saling mengenal, dia semakin jatuh hati kepada Wana karena cara pandang hidupnya. Kedamaian merupakan suatu hal yang utama pencarian hidup Wana.

Namun demikian, Wana selalu menghindari Gama meskipun dia memiliki perasaan yang sama kepada Gama. Hubungan cinta antara Gama dan Wana memiliki kendala prinsip hidup yang mendasar yaitu perbedaan keyakinan. Gama merupakan seorang muslim, sedangkan Wana merupakan seorang katolik. Selain itu, Wana merupakan seorang Biarawati yang meimiliki komitmen untuk tidak menikah karena telah mengucapkan atau mendeklarasikan 3 kaul yakni kaul kemurnian, kaul ketaatan, dan kaul kemiskinan.

Pada siang itu, di bawah pohon Kamboja, Gama bertemu dengan Wana. Perasaan cinta selalu merekah setiap hari sejak pertama kali dia mengenal Wana. Di setiap pertemuan, mereka pasti saling bertukar surat. Setiap surat selalu bercerita tentang pengalaman, perasaan, dan diakhiri pertanyaan.

Gama bersikeras sangat ingin menikahi Wana, tetapi Wana selalu menolaknya. Wana selalu menolaknya dengan memberikan alasan sudut pandang mengenai Tuhan dan agama yang dia yakini. Dia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan ketuhanan.

"Apakah kamu masih berduka?" Gama bertanya kepada Wana. Seperti diketahui, Wana baru saja ditinggal pergi selamanya oleh Bapaknya sebulan yang lalu. Padahal Bapaknya merupakan satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa. 10 tahun yang lalu Ibunya telah wafat terlebih dahulu karena sakit. Dan dia merupakan anak tunggal di keluarga kecilnya itu. Tinggal hanya kepada Tuhan lah saat ini tempat dia mengadu.

"Aku selalu baik-baik saja, Gama. Aku selalu ikhlas terhadap apapun yang terjadi di dalam hidupku. Terima kasih banyak atas perhatianmu." Wana menjawab pertanyaan Gama sambil mengalihkan pandangannya ke arah sembarang tempat. Gama tahu bahwa perasaan Wana pasti sangat terpukul sekali, tetapi dia selalu menampakkan ketegarannya kepada orang lain.

Setelah Gama dan Wana saling bertukar surat, Wana mengatakan kepada Gama, "Aku mohon ke kamu, baca surat itu setelah sampai di rumah." Ada kejanggalan di dalam hati Gama karena tidak seperti biasa Wana menegaskan kalimat seperti itu kepadanya. Setelah itu, Wana berpamitan masuk kembali ke dalam gereja karena akan ada kegiatan doa bersama.

Walaupun gerimis turun, Gama mengindahkannya. Dia tetap terpaku berdiri di bawah pohon Kamboja melihat punggung Wana yang lambat laun menghilang di balik pintu Gereja. "Rasanya aku ingin mencegahnya pergi dan ingin memeluknya selama gerimis ini turun. Sepertinya dia akan pergi meninggalkanku selamanya." Gama berbisik di dalam hatinya.

Perlahan Gama membuka surat dari Wana di kamar tidurnya dengan ditemani redupnya lampu hias kamar. Dia sangat ragu untuk membaca rangkaian kata yang tersusun menjadi beberapa paragraf di surat itu seolah-olah berita duka akan menghampirinya.

"Aku tahu pelangi takkan hadir sebelum hujan turun. Aku tahu malam takkan hadir sebelum senja tiada. Dan aku tahu rindu takkan hadir sebelum jarak memisahkan.

Seorang anak merindukan induknya. Seorang ratu merindukan sang raja. Dan sebuah doa merindukan keagungan Tuhan

Dan aku tahu kamu sangat mencintaiku, begitu juga sebaliknya aku.

Namun, aku harus memutuskan pergi meninggalkanmu walaupun itu pedih bagai diiris dengan sembilu. Tekadku sudah bulat untuk mengikhlaskanmu, sama halnya seperti mengikhlaskan kedua orangtuaku pergi meninggalkanku. Aku telah berjanji kepada Tuhan bahwa aku akan selalu taat kepadaNya hingga akhir hayat hidupku.

Akhir pekan ini Aku akan pindah tempat tinggal ke Desa Puhsarang, Jawa Timur dan menetap di sana. Aku akan mengabdi di Gereja Puhsarang karena sepertinya tenagaku sangat dibutuhkan di sana.

Maafkan aku atas keputusanku ini untuk pergi meninggalkanmu. Selamat tinggal dan sampai jumpa, Gama..."

Hati Gama bergetar setelah membaca surat itu. Tubuhnya terpaku. Tenaganya seperti terkuras lemas. Kemudian dia tersungkur di dalam gelapnya malam. Malam itu seolah-olah semakin gelap gulita karena tidak ada bintang yang menghiasi. Walaupun waktu telah dini hari, bintang Kejora pun enggan menampakkan dirinya di ufuk timur. Perasaan cinta Gama yang telah lama merekah seketika layu.

Seminggu berlalu, Wana mulai berusaha mengalihkan pikirannya tentang Gama. Di sepanjang jalan, di balik jendela kereta, dia selipkan perasaan rindu. Namun demikian, dia harus rela juga membiarkan perasaannya memudar terbawa angin, menyelinap di balik pohon, atau menyisih di bawah kaki gunung. "Selamat tinggal, Gama." Di dalam hatinya dia berbisik.

Pada sore itu, seperti biasa Gama duduk di sudut ruang kedai kopi Amavasya. Dengan menggenggam foto Wana, dia duduk terpaku. Dia harus bisa membuang jauh-jauh pikiran tentangnya. Tentang seseorang yang tidak bisa dia gapai bagaikan bintang jatuh yang hanya bisa dia lihat sekelebat.

Jika perasaannya sedang terguncang, maka dia semakin semangat untuk menulis. Dia dapat mengobati rasa sakit hatinya dengan menulis. Dia ingin menyelesaikan cerita pada novel ketiganya pada sore itu dengan mengingatkannya kembali bahwa kepiluan hati dapat bermetamorfosis menjadi perasaan yang damai dan setiap tangis tidak selalu berujung tragis.

 

Appendix

  • Gama memiliki nama lengkap Negarakertagama yang berarti Negara dengan tradisi (agama) yang suci. (sumber: Wikipedia)
  • Wana memiliki nama lengkap Tribhuwana Wijayatunggadewi yang merupakan Penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Putri dari Rajapatni. (sumber: Wikipedia)
  • Amavasya memiliki makna Moon is not visible. (sumber: Wikipedia)
  • Bajawa merupakan kopi yang berasal dari dataran tinggi di kabupaten Ngada, daerah yang berada di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). (sumber: Wikipedia)
  • Biarawati merupakan seorang perempuan yang secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan hidupnya untuk kehidupan agama di suatu biara atau tempat ibadah. (sumber: Wikipedia)
  • Gereja Puhsarang merupakan sebuah Gereja Katolik Roma yang terletak di Desa Puhsarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur. Gereja Pohsarang terletak di lereng Gunung Wilis dan berada pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara yang cukup sejuk, yakni rata-rata 21-25 derajat Celcius. (sumber: Wikipedia)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun