Mohon tunggu...
Tommy AR
Tommy AR Mohon Tunggu... -

Semoga tidak menjadi individu yang merasa benar di jalan yang sesat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kopi + Rokok = Cabe Rawit

4 Februari 2011   09:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:54 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi yang cerah,  disaat saya lagi asyik menyelesaikan berita pagi yang menyiarkan kerusuhan di Mesir yang menuntut Husni Mubarak yang berpikir tidak akan mati dan tidak bersedia untuk mundur. Ketika si Adul sebut saja namanya begitu sebab nama lengkapnya Abdulah,  muncul di pintu samping rumah saya tepat di ruangan tempat saya lagi nonton TV. Saya persilahkan saja si Adul masuk dan duduk bersama saya yang lagi asyik menonton tv sebelum saya tanya apa keperluannya untuk mendatangi saya pagi-pagi begini. Istri saya yang melihat si Adul, menyapanya dan menuju ke dapur untuk membuatkan kopi buat si Adul (maklum kami  belum mampu menggaji pembokat),  walaupun sebenarnya istri saya sudah siap berangkat lebih dulu ke tempat kerjanya di sekolah dekat tempat tinggal kami. Setelah mempersilahkan si Adul untuk ngopi, istri saya pamitan pergi dan diikuti dengan ekor matanya si Adul. Saya melihat gelagat ini dan berpikir mungkin Adul ingin menyampaikan pesan rahasia ke saya dan menunggu istri saya pergi dulu. Penasaran saya pun bertanya apa maksud kedatangannya ke rumah saya sambil menawarinya rokok. Tapi jawaban si Adul membuat saya juga bingung. Katanya dia hanya ingin menemani saya nonton berita di tv. Lho.. ? Tapi saya maklum saja sebab di rumahnya si Adul memang belum punya tv. Yang membuat saya heran, kenapa baru kali ini dia datang nonton bareng dan siarannya berita lagi. Biasanya dia noreng dengan saya pas ada acara live sepak bola. “Ada apa Dul, apa iya kamu datangi saya pagi-pagi Cuma sekedar nemanin saya nonton tv ?” “Begini Bos..” Katanya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam dan menyeruput kopinya. Orang ini memang selalu memanggil saya “Bos”, dan selalu saya diamkan saja sepanjang itu bukan pelecehan buat saya. Adul merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar uang seribuan yang sudah lecek. “Ini bos yang membuat saya mendatangi bos pagi-pagi begini.” Katanya sambil memperlihatkan uang seribu tersebut. “Waktu saya bangun tidur tadi, saya tidak menjumpai anak-anak dan istri saya. Anak-anak saya ke sekolah dan istri saya sudah pergi ke rumah majikannya buat kerja.” Katanya. “Terus.. ?” Tanya saya lagi. “Saya ke dapur mau bikin kopi. Ternyata gulanya habis. Saya merogoh kantong celana saya, mencari uang seribu ini. Rencananya saya mau ke warung si Fardi buat beli gula ketengan yang harganya 700 perak sebungkus itu.” Katanya lagi sambil nyeruput kopinya. Dan saya masih diam menunggu kelanjutan ceritanya. “Tapi, niat itu saya batalkan dulu bos. Sebab kalau saya beli gula, saya bisa ngopi tapi sisanya yang 300 perak tidak cukup buat beli sebatang rokok. Kalau saya beli rokok sebatang kan harganya 750 perak sebatang. Berarti saya tidak bisa ngopi. Padahal saya ingin ngopi sambil merokok dulu sebelum pergi cari obyekan bos.” Katanya sambil tersenyum dan mohon ijin untuk minta rokok saya sebatang lagi. Saya sempat terdiam sesaat. “Oo..jadi itu maksudnya kamu mau noreng berita pagi di tv dengan saya ?“ “Iya, bos..Sewaktu saya masih mempertimbangkan antara kopi atau rokok, tiba-tiba bayangan wajahnya bos melintas di benak saya.” Katanya lagi. “Kok.. jadi wajah saya Dul ?” Tanya saya sedikit bingung. “Iyalah bos...apa wajahnya Pak Lurah ? Ya..gak lah bos. Sekarang kan masanya BLT sudah lewat..Dan yang pasti kalau ke sini, saya pasti bisa ngopi sambil merokok, sebab bos kan hobinya itu juga..” Ujar Adul sambil tertawa dan membuat saya juga ikut gembira bersamanya. Sambil menatap punggungnya si Adul yang pamitan pulang, dalam hati saya bergumam bahwa si Adul yang tetangga, saudara sesuku, sebangsa dan setanah air dengan saya ini, barangkali juga sudah lupa dia dengan pedasnya sebiji cabe rawit.- (Tulisan ini terinspirasi dari mahalnya harga kopi luwak, cukai tembakau yang selalu naik dan melambungnya harga cabe rawit di negeriku yang tercinta ini. Dan Sekedar info buat kompasiner bahwa khusus cabe rawit, sekarang ini telah menjadi status simbol kekayaan seseorang. Artinya untuk menilai seseorang kaya atau tidak, lihatlah pada cabe yang menempel di giginya...pissss.-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun