[caption id="attachment_73043" align="aligncenter" width="563" caption="koleksi pribadi"][/caption]
Ketika mendengar kata industri, benak kita langsung mengasumsikan kegiatan yang berhubungan dengan aktifitas sebuah pabrik. Asumsi itu hanya berhenti pada pabriknya saja tanpa berkembang lebih jauh atau tak mau repot berpikir mengenai, ada apa saja dalam aktifitas sebuah pabrik ?
Istilah yang berkembang juga menyatakan bahwa sepak bola di negara-negara Eropa adalah industri. Berarti kata industri telah sepakat dipahami oleh masyarakat kita sebagai kegiatan yang dikelola dengan baik dan menghasilkan produk yang diminati oleh masyarakat penggunanya. Definisi ini ditetapkan saja dengan tidak mengurai lagi secara panjang lebar definisi sebenarnya menurut kamus ekonomi.
Dalam ranah pendidikan yang juga terdapat organisasi pengelola, ada proses, ada produk, ada standar kualitas atas produk tersebut dan tentu saja ada biaya yang ditimbulkan, berarti pendidikan juga layak dikatakan sebagai kegiatan “industri raksasa” dari sebuah negara.
Jika kita sepakat dengan istilah bahwa di Eropa sepak bola adalah industri, berarti ada pemahaman bahwa besarnya biaya produksi yang telah dikeluarkan masih tetap menghasilkan pendapatan yang lebih besar lagi ketika kontrol kualitas dari sepak bola mereka tetap terjaga.
Namun pada pendidikan bukan persoalan profit yang menjadi tolok ukur, tetapi lebih menekankan pada menjaga kontrol kualitas dari produk yang dihasilkan oleh pendidikan itu sendiri, yaitu mutu pendidikan.
Mari kita urai bagaimana pendidikan itu merupakan kegiatan “industri raksasa”. Pertama Kemdiknas, adalah organisasi pusat yang menangani pendidikan dengan alokasi dana operasionalnya yang menyedot 20% dana APBN yang seharusnya disebar ke 33 “cabang utamanya” yang ada diseluruh provinsi serta ± 416 “anak cabang” yang ada di kabupaten kota. Kemudian ada sekolah diibaratkan sebagai ribuan “pabrik” yang tersebar dalam pengawasan langsung oleh “anak cabang” dan beberapa “pabrik”(dikti) masih dalam pengawasan organisasi pusat.
Sebagaimana sebuah jaringan industri, berarti seluruh organisasi pendidikan ini bertanggung jawab kepada user pemakai jasanya yakni masyarakat melalui produk yang dihasilkan. Sebab apapun yang menjadi slogan, yang pasti user tetap dikenai biaya sebagai wujud peran sertanya terhadap produk “pabrik-pabrik” ini.
Dan sebagai user, masyarakat berhak menuntut kalau hasil produksinya(siswa), tidak menunjukkan kualitas seperti yang dinginkan.
Terlepas dari mana sumber dana terbesar dalam mengolah sumber daya ini berasal, yang pasti user masih kecewa dengan kontrol kualitas dari produk yang dihasilkan.
Kelemahan–kelemahan penyebab kualitas produk yang rendah ini telah disikapi oleh organisasi pengelola dengan menentukan sasaran tembaknya hanya pada peningkatan kulitas para “pekerja tehnis di pabrik”.
Tetapi sesungguhnya jika kita memaknai pendidikan itu layaknya sebuah industri, bukan “pekerja tehnis pabriknya” saja yang dijadikan sasaran tembak perbaikan kualitas produk. Sebab para “pekerja” ini juga adalah hasil produksi terdahulu dari “pabrikan” yang beroperasi pada sistim dan manajemen yang sama.
Jadi jika ini disadari dengan sesadar-sadarnya, berarti kelemahan ada pada sistim yang sudah berjalan yang semestinya dibenahi lagi. Sebab layaknya sebuah industri yang mempertahankan kualitas produk, maka sudah saatnya pendidikan mengkaji lagi lebih serius semua program yang telah dicanangkan, dengan catatan, berangkat dari perencanaan matang yang lahir dari analisis cerdas serta didukung sumber data yang akurat dan dilaksanakan dengan kontrol yang ketat.
Sendainya pembenahan ini dilakukan, maka pendidikan akan menjadi “industri” dengan keuntungan yang menyertainya, walaupun ditempuh dengan waktu break event point yang agak lama tapi pasti menjanjikan profit kemakmuran bagi masyarakat Indonesia.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H