[caption id="attachment_214822" align="aligncenter" width="500" caption="Pelajar yang terlibat tawuran ditahan polisi beserta barang bukti (republika)"][/caption] Entah ada angin apa, tetiba media massa ramai angkat berita tentang tawuran pelajar. Kalau dulu tawuran pelajar hanya mendapat porsi kecil di dalam berita, maka sudah hampir sepekan ini naik ke headline. Sudah ada beberapa orang siswa yang meninggal karena luka akibat tusukan atau sabetan senjata tajam. Ini sudah sangat keterlaluan. Keterlaluan, karena menimbulkan korban jiwa dan karena hal ini sudah berlangsung sejak zaman dulu (selalu terulang). Polisi, kepala sekolah, bahkan menteri pendidikan pun seolah tak berkutik sama sekali menghadapi persoalan tawuran pelajar ini. Berita mengenai hal ini bisa di lihat di kompas.com. Masyarakat yang menyaksikan ini turut geram dan gemas. Kenapa masalah tawuran pelajar tidak pernah bisa diselesaikan dengan tuntas? Kenapa seolah jadi sangat sulit? Atau memang sengaja "dilestarikan" dengan tujuan-tujuan tertentu? Sebenarnya sudah banyak alternatif solusi yang diusulkan oleh para pakar pendidikan, pengamat sosial, maupun oleh masyarakat. Tinggal bagaimana para pengambil kebijakan memutuskan tindakan nyata yang akan dilakukan. Berikut ini adalah sekadar usulan alternatif solusi atasi tawuran pelajar: 1. Ubah mindset dan bentuklah opini bahwa tawuran pelajar bukanlah "kenakalan remaja", tetapi "perbuatan kriminal". Setiap pelajar yang terlibat, terlebih lagi para provokator dan aktor intelektualnya, harus ditangkap dan diperlakukan sama dengan para kriminal. Kenakan sanksi pidana plus denda sekian juta rupiah. Kalau tidak sanggup bayar denda, tambah lagi hukuman kurungannya. Provokator dan aktor intelektual serta pembunuh harus mendapatkan hukuman paling berat. Ini supaya ada efek jera. Sehingga semua pelajar akan berpikir seribu kali kalau mau tawuran. 2. Sekolah yang siswanya terlibat tawuran harus diturunkan peringkat/grade-nya (sebagaimana berita ini). Selain itu sekolah tersebut juga dilarang menerima siswa baru selama tiga tahun. Ini supaya ada tanggung jawab dari pihak sekolah. Sementara pelarangan menerima siswa baru dimaksudkan untuk "potong generasi" dan memutus tradisi lama. Sehingga siswa baru setelah tiga tahun kemudian adalah siswa yang akan memulai budaya baru yang harus dijamin bersih dari kekerasan. 3. Melarang segala macam bentuk ospek yang berisi perploncoan (kekerasan dan pembodohan). Ospek harus berisi pencerahan yang mengarahkan siswa baru menjadi lebih semangat berilmu dan menjadi orang cerdas. Perploncoan yang diselenggarakan di luar sekolah (yang biasanya diadakan oleh senior dan alumni) harus dibubarkan paksa dan setiap siswa yang terlibat harus dihukum. Jika ada ancaman kekerasan dari senior dan alumni kepada siswa baru untuk ikut perploncoan, maka mereka harus diadukan ke kepolisian. 4. Aktifkan dengan serius kegiatan ekstra kurikuler, seperti keagamaan (ROHIS, ROHKRIS, ROHHIN, ROHBUD, dsb.), KIR, PMR, Pencinta Alam, Bela Diri, Teater, Olah Raga, Musik, Film, dan lain-lain. Dengan berbagai aktivitas ekskul yang positif, tentu para pelajar tidak akan "kurang kerjaan". Waktu mereka akan habis untuk hal-hal yang berguna. Bukan untuk nongkrong. 5. Ajak para mahasiswa untuk "turun gunung", membantu membina para adiknya di sekolah. Undang para aktivis HMI, KAMMI, PMKRI, GMNI, GMKI, GMNI, PMII, dll untuk berperan memberikan pencerahan kepada para pelajar mengenai leadership, sosial politik, ekonomi, dst. 6. Jadwalkan agenda silaturahim antar sekolah. Saling berkunjung satu sama lain. Terutama sekolah yang pernah tawuran. Pertemukan seluruh siswanya. Jalin komunikasi. Saling berbagi informasi kegiatan di sekolah masing-masing. Dengan silaturahim akan terjalin rasa persaudaraan. 7. Para siswa yang pernah terlibat tawuran, jika sudah lulus dan menjadi alumni, harus dilarang untuk selamanya berhubungan dengan siswa yang masih sekolah. Siswa harus diwajibkan melapor ke sekolah jika ada alumni kriminil melakukan pendekatan kepada mereka, supaya para alumni kriminil ini bisa ditindak segera. Karena biasanya para alumni kriminil provokator tawuran selalu melakukan "kaderisasi" kepada siswa baru untuk terlibat tawuran. Ada pewarisan "nilai-nilai" kekerasan. Ini pernah diceritakan langsung oleh seorang kawan yang sewaktu sekolah dulu pernah terlibat tawuran. Menurutnya, alumni dan seniorlah yang menjadi biang keladi. Psikolog forensik, Reza Indragiri pun berpendapat demikian, sebagaimana berita ini. Itulah 7 solusi jangka pendek dan menengah untuk atasi tawuran pelajar. Sementara untuk jangka panjangnya perlu dibenahi sistem pendidikan, tatanan sosial budaya, pemerataan kesempatan kerja, peningkatan kesejahteraan, dan sebagainya. Semua hal itu saling terkait. Mari kita selamatkan generasi muda Indonesia. Kalibata. 27 September 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H