Mohon tunggu...
Tomy Michael
Tomy Michael Mohon Tunggu... Dosen - --

Nec scire fast est omnia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memaknai Enak Dengan Enak Lainnya

25 Oktober 2023   21:30 Diperbarui: 25 Oktober 2023   21:37 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada bagian awal ini, harus ada penegasan bahwa tulisan ini harus dibaca dengan fokus makanan bukan agama. Saya ingin Anda sebagai pembaca menikmatinya. Tulisan ini mengulas makanan yang bisa diolah atau dicampur dengan B2*.

Saya memiliki keyakinan, orang-orang jaman dahulu kala pasti bisa mendeskripsikan makanan enak itu salah satunya seperti dalam Kitab Ulangan 8:8 "Negeri itu menghasilkan macam-macam gandum, anggur, buah ara, buah delima, pohon zaitun dan madu". Bisa saja mereka tersenyum, tertawa dan berdoa. Kemudian perkembangan teknologi menjadikan makanan tidak sekadar enak tapi hanya melihat foto saja menjadi lapar. Tak jarang seseorang membeli makanan hanya karena tampilan foto menggoda dengan warna yang kontrasnya dinaikkan.

Dulu waktu menempuh pendidikan sekolah menengah pertama, ada buku bergambar lidah dengan bagian-bagiannya yang menunjukkan letak rasa pahit, rasa manis, rasa asin dan lainnya. Tetapi tidak diajari mengenai fungsi lidah lainnya selain mengecap, apakah makanan yang terkena lidah mengandung B2 atau tidak. Nah berhubung cukup sering mengikuti acara adat khas Batak maka B2 adalah salah satu menunya. Efek sampingnya, lidah saya akhirnya sangat peka mendeteksi enak atau tidaknya makanan. Seperti teori jenjang dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maka enak pun juga demikian. Misalnya ketika melakukan kunjungan kerja dengan teman maka mampir di rumah makan adalah kewajiban dan mereka selalu mengatakan "ini enak pak Tom...ramai warungnya...".

Saya jawab, "Wah penasaran, yang penting bersih...". Akhirnya sepiring nasi yang digoreng dihidangkan, bagi saya rasanya tidak seenak yang didoktrinkan si teman tadi. Hal ini terjadi karena masakan yang saya makan menggunakan daging ayam dan jika diganti dengan B2 maka rasa enaknya juga melonjak jauh. Namun perlu diperhatikan lagi, tidak semua makanan diberi B2 pasti enak. Tetap harus ada olahan pendukungnya misal B2 direbus dahulu atau memilih bagian samsam misalnya. Kemudian tidak seluruh makanan bisa diberi olahan B2 misalnya soto olahan ayam, dagingnya diganti B2 sepertinya perut menolak karena tidak biasa.

Ada dua roh yang berdebat di pikiran ini, apakah saya akan mengatakan bahwa makanan ini enak sesuai standar mereka, saya mengatakan enak memang betul enak tanpa B2 atau saya mengatakan tidak begitu enak demi menjaga perasaan. Seluruhnya betul-betul rumit. Pekerjaan saya menyajikan kebenaran dalam perspektif ilmu sedangkan hati ini gundah gulana.

Di satu sisi saya ingin berkata dan berdebat "Apakah standar enak?". Memang pernah terjawab ketika bercerita santai antara lain diolah dengan bumbu yang fresh, dibayarin jadi enak, banyak pengunjungnya, tidak terlalu mahal, dagingnya besar, atau sambalnya cocok. Bagi saya itu bukan jawaban karena hanya melihat tanpa berusaha makan utuh. Semuanya serba rumit karena saya akan menjadi Lilith** (Bahasa Ibrani Ll) kalau merayu mereka mengkonsumsi B2 sementara itu dalam keyakinannya tidak boleh.

Namun ada juga teman saya yang diperbolehkan mengkonsumsi B2 tetapi tidak terlalu suka B2. Pada akhirnya pun, definisi enak mengalami penurunan. Khusus kasus ini, saya berani berdebat karena ada izinnya.

Kasus menarik melihat gambar ayam dengan sayap hitamnya dan semangkuk kuah tersaji di depan saya. Akhirnya memasukkan kuah dengan sendok bergambar pula dan dalam hati berujar "Lho, lho..." dan mencoba lagi kedua kalinya untuk meyakinkan diri sendiri. Seperti kata orang-orang "Ga bahaya ta...", pada akhirnya saya tetap makan karena lidah ini tidak bisa dibohongi. Kadangkala B2 ini menjadi dilema karena adakalanya penyedia makanan menganggap orang yang datang untuk membelinya adalah mereka anti B2 atau misalnya mereka mengetahui pasti mereka tidak ada ruginya buat diri mereka sendiri. Yang paling repot lagi jika membawa tamu penting untuk makan siang. Tim selalu berdebat mengenai kualitas, biaya hingga tempatnya. Perdebatan ini memakan waktu cukup lama dan saya menolaknya karena saya orang yang tidak suka hal ruet. Rasanya saya ingin menutup mulut mereka dan mengatakan "Ayo kesana saja, dijamin enak". Tetapi kembali lagi kepada pengaruh Lilith dalam hidup. Dari kesemuanya itu, saya tidak bisa mengatakan makanan itu enak sekali hanya dari gambar. Minimal saya harus mendekatinya untuk melakukan penghirupan aroma asap dari masakannya. Disatu sisi, hidung mengatakan ini B2 tetapi ketika masuk mulut rupanya bukan. Jika artis melakukan asuransi pada pita suara, apakah saya wajar melakukan asuransi lidah? Mungkin bagi penikmat B2 juga mengalami hal yang sama, ada sejenis indra "ke seratus dua belas" yang harus dijaga. Tetapi andaikata pun saya dikelabui bahwa makanan ini tidak mengandung B2, maka apakah saya merasa diuntungkan atau dirugikan? Hal ini yang tidak bisa jawab karena teman saya pun juga menghormati menu saya yang cukup doyan dengan B2. Hanya saja, referensi saya lebih unggul. Tetapi semuanya itu balik lagi kepada pemikiran kita, enak itu apa. Mungkin Anda bisa mendefinisikannya dan bisa saya jadikan referensi dalam memberikan jawaban.

*B2 adalah sebutan untuk babi

**Lilith adalah sosok mitologi kuno yang menggoda Hawa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun