Sebuah survei yang dilakukan pada 469 ahli dari latar berbeda—pemerintah, pelaku industri, akademisi, dan masyarakat sipil—menyimpulkan bahwa akan ada 50 resiko global yang akan dihadapi (paling tidak) dalam 10 tahun mendatang.
Berbagai resiko itu dibagi dalam 5 kategori besar: ekonomi, lingkungan, geopolitik, sosial, dan teknologi. Paling tidak, di sana dimuat 3 sampai 5 resiko tertinggi dan paling mungkin terjadi. Yang menarik adalah kategori geopolitik, yang memuat resiko-resiko seperti: bercokolnya kejahatan yang terorganisir, meluasnya perdagangan gelap, dan nasionalisasi sumberdaya secara sepihak.
Tidak heran, kemudian, ini menjadi salah satu wacana sentral yang akan dibahas dalam pertemuan para pemimpin dunia di Davos, Swis, 25 sampai 29 Januari nanti. Pertemuan yang dihadiri para politisi, akademisi, dan pengusaha dari seluruh dunia itu, tidak hanya sekadar membahas—secara tunggal dan parsial—berbagai resiko global tadi, namun juga (yang terpenting bagi mereka) adalah bagaimana menangani efek tunggal dari berbagai resiko tersebut.
Tiga ancaman
Setidaknya, ada tiga kasus besar yang dinilai sebagai ancaman yang patut diseriusi, yaitu munculnya benih dystopia, sistem perlindungan yang akan melemah, dan sisi hitam konektivitas. Ancaman-ancaman itu terungkap dalam survei, dan dilokalisir menjadi tema pokok yang (dianggap) mampu menggambarkan berbagai pola hubungan antara resiko-resiko yang ada.
Ketiganya seolah-olah mewujud menjadi “ketakutan” khusus, terutama bagi aktor-aktor dari negara-negara maju. Mereka—politisi, konglomerat, pengusaha raksasa—yang nantinya akan mendominasi berbagai diskusi di Davos, menanggapinya dengan sangat serius dan sunguh-sungguh. Sayangnya dalam survei itu tidak diungkap secara konkret siapa atau wilayah mana saja yang memiliki resiko terbesar. Atau dengan kata lain, siapa akan mengancam apa dan di mana?
Jika ditilik lebih dalam, ancaman itu akan muncul pada tiap-tiap negara dan mewujud (in the making ) sebagai masalah internal yang rumit. Narasi sentralnya—tidak lain, tidak bukan—tidak akan "beranjak" dari wacana kesejahteraan dan keamanan. Pada titik inilah, sepertinya, mereka yang akan ada di Davos itu seolah-olah mengkhawatirkan suatu efek tunggal yang akan dimulai dari suatu krisis ekonomi kompleks—yang tentunya akan memberi efek pada kelesuan pada berbagai skala ekonomi yang ada, menciptakan berbagai ketimpangan sosial-politik, hingga munculnya resiko perang antar negara.
Ini semakin menemukan justifikasi yang rasional, saat tiap-tiap negara dihadapkan pada semakin menipisnya sumberdaya dan ancaman lonjakan populasi yang sangat tajam, yang tentunya akan meningkatkan (secara signifikan) skala konsumsi masing-masing.
Pada saat-saat semacam itulah, tiap-tiap negara di dunia akan semakin memperkuat konsolidasi internal masing-masing. Menjadikan kepentingan nasional sebagai yang pertama dan utama. Dan ini, seharusnya menjadi warning yang serius untuk Indonesia yang sampai hari ini, sepertinya, terlalu banyak mengabaikan kepentingan nasionalnya sendiri.
Sumber Bacaan: Global Risks Report 2012, Seventh Edition, World Economic Forum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H