Mohon tunggu...
Tomy Ishak
Tomy Ishak Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas,Pegiat Lingkar Studi Ilomata. Profil selengkapnya bisa dilihat di http://tomyishak.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Naikkan Harga BBM! Bukan Membatasi

8 Januari 2012   12:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:10 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menarik juga membaca beragam pandangan terkait opsi “pembatasan” BBM bersubsidi untuk kenderaan pribadi plat hitam bulan April 2012 nanti. Dari berbagai pandangan yang ada, seperti biasa, ada yang setuju dan tidak setuju. Jika ditelusuri lebih teliti (dari berbagai berita yang ada di media massa), lebih dominan dibanjiri pandangan yang tidak setuju. Alasan mereka macam-macam, dari soal pencitraan, ketidakberpihakan pada rakyat kecil, hingga manajemen “panik” pemerintah.

Nah, dari berbagai pandangan itu tidak banyak dijumpai alasan-alasan yang cukup rasional yang mampu mendudukkan persoalan BBM bersubsidi secara lebih arif dan bijaksana. Suasana perdebatan yang dihadirkan lebih berbau “politis”, yang pada akhirnya (jika terus-menerus dilakukan) sangat mungkin melahirkan suasana psikologis yang sebenarnya tidak perlu.

Tidak terkecuali elit kita yang memegang kunci-kunci keputusan. Mereka terlihat setengah hati dan ragu-ragu untuk sekadar mengucap satu kalimat “menaikkan harga BBM”. Elit kita itu lebih mudah dan terbiasa bicara soal “membatasi”, “mengurangi”, “memindahkan” atau “mengalihkan”. Lahir sebuah tanda tanya: semahal itukah kata “naik” dibanding yang lain?

Ketidakadilan “subsidi BBM” dan kepentingan kelas menengah

Polemik soal BBM bersubsidi bukan barang baru di Indonesia. Masih lekat dalam ingatan kita soal naiknya harga BBM bulan Mei 2008 silam. Saat itu, sebagaimana hari ini, juga lahir berbagai polemik yang isinya adalah komentar “pedas” atas kebijakan pemerintah yang dicurigai tidak adil. Komentarnya menjadi kemana-mana dan sepertinya telah jauh masuk dalam wilayah abu-abu. Negara (baca: pemerintah) diklaim telah melakukan kebohongan publik karena telah mencabut biaya subsidi dengan alasan defisit APBN.

Pun, sebagaimana yang hadir hari ini dihadapan kita, itu karena ketiadaan keberanian untuk sekadar bicara “mencabut subsidi BBM” karena biaya subsidi yang harus ditanggung APBN telah melenceng jauh dari asumsi-asumsi yang ada.

Jika kita tilik secara seksama data analisis pola konsumsi BBM yang dilansir oleh Bappenas tahun 2011, maka akan timbul sebuah pema’luman bahwa sudah sepantasnya harga BBM premium untuk kenderaan pribadi plat hitam “dinaikkan” lewat skenario-skenario tertentu.

Betapa tidak, di situ secara “gamblang” dinyatakan, bahwa sepanjang 20 tahun terakhir konsumsi BBM kita terus mengalami peningkatan dari 30 juta kiloliter (1990) menjadi 60 juta kiloliter (2010). Kenaikan jumlah itu diikuti oleh kenaikan volume BBM impor dari 5 juta kiloliter menjadi 30 juta kiloliter (2010). Lebih lanjut, disebutkan pula bahwa premium merupakan BBM bersubsidi yang paling banyak dikonsumsi, sekitar 60% (22,1 juta kiloliter) dari total realisasi BBM bersubsidi.

Yang menarik adalah konsumsi itu terjadi paling besar di daerah Jawa-Bali (terbesar di Jabodetabek) yang menghisap premium terbesar dari total konsumsi premium nasional, yakni sekitar 59%. Dan, yang paling mengejutkan bahwa dari total konsumsi premium bersubsidi itu, didominasi oleh konsumsi mobil pribadi, sebesar 53% atau sekitar 13,3 kiloliter.

Dari penjelas-penjelas rinci semacam itu, olehnya akan dapat ditolerir berbagai pertanyaan: rakyat yang mana yang telah dibuat tidak adil oleh negara? Apakah kepentingan kelas menengah, yang memiliki mobil rata-rata satu itu, yang harus dibela oleh negara? Lalu, apakah, karena kepentingan kelas menengah itukah, yang menjadi (satu-satunya) dasar pertimbangan untuk me-nol-kan berbagai asumsi rasional dari sebuah kebijakan?

Tentunya, kita tidak boleh lantas menyalahkan berbagai pandangan atau komentar itu, karena ada keyakinan penuh bahwa ia dihadirkan atas dasar pilihan yang (benar-benar) rasional. Tapi, juga tidak terlalu tepat pula jika kita habis-habisan menyalahkan kebijakan yang dilandaskan pada rasionalitas yang tidak asal. Kita mungkin sudah waktunya belajar bagaimana memandang segala sesuatu secara lebih objektif dan berimbang, sehingga mampu mengambil keputusan dengan lebih berani demi keselamatan bersama walau harus kehilangan muka.

Lebih baik jujur

Menarik apa yang dikatakan Dr. Kurtubi beberapa waktu lalu di sebuah stasiun TV, bahwa pembatasan BBM bersubsidi untuk kenderaan pribadi plat hitam adalah tidak tepat, karena itu butuh pengawasan ekstra ketat. Meskipun telah menggunakan pengawasan dengan menempatkan polisi di masing-masing SPBU, tapi tetap saja, menurut Pak Kurtubi, hal itu “mustahil” mampu mereduksi penyelewengan.

Untuk soal yang sama, satu tahun lalu, dia pernah pula berucap bahwa pembatasan sama dengan menaikkan harga BBM secara terselubung. Hal ini rasional karena idiom “membatasi” dalam bahasa matematika ekonomi semester satu adalah meminimalkan supply yang sudah pasti akan menaikkan harga saat permintaan yang (anggaplah) tetap. Apakah kita tidak pernah belajar bagaimana kelangkaan premium pada waktu-waktu yang lalu telah menyebabkan kenaikan harga tak resmi alias “eceran” (jika tidak bisa dikatakan ilegal) rata-rata Rp 13.000 perliternya?

Sampai di sini, rasa-rasanya (elit) kita tidak pernah mau mengajarkan untuk sekadar berkata jujur dan lantang pada rakyatnya, “wahai rakyatku, karena alasan A, B, C, maka saya meminta pengorbanan dan pengertian kalian atas naiknya harga premium ini. Terimakasih”. Ini lebih genuine dan kesatria ketimbang mengajarkan rakyat kita untuk melakukan tindakan penyelewengan (mencuri, menimbun, dll).

Inflasi “politik

Sebagian ekonom berpandangan bahwa naikkan saja harga BBM premium untuk kenderaan pribadi plat hitam perlahan-lahan sampai batas garis subsidi sehingga akhirnya range-nya menjadi nol. Apa yang dimaksudkan oleh para ekonom itu sepertinya dapat dibaca sebagai upaya untuk meminimalkan efek domino dari kenaikan harga BBM atau yang sering kita dengar dengan istilah “bahaya inflasi” sehingga stabilitas harga-harga tetap terjaga.

Bahaya inflasi—yang menjadi ketakutan sebagian ekonom itu—dipandang sebagai sebuah keadaan naiknya harga-harga barang atau jasa secara umum dalam suatu skala ekonomi pada periode waktu tertentu. Sederhananya (bahasa awam) jika anda punya uang 10 perak yang mampu membeli 10 permen tahun lalu, jika telah terjadi inflasi sekitar 100% tahun ini maka jumlah uang itu hanya mampu membeli 5 permen. Artinya telah terjadi kenaikan harga 2 kali lipat dari sebelumnya, sekaligus berarti bahwa terjadi penurunan nilai dari mata uang kita.

Namun, rupa-rupanya, ketakutan elit kita tidak hanya sebatas itu. Ada ketakutan lain yang hampir mirip sehingga tidak secara gamblang bicara jujur pada rakyatnya. Ketakutan itu bernama “inflasi politik”. Logikanya sama, yaitu kenaikan biaya politik untuk mampu mempertahankan kekuasaan, atau dengan kata lain ketakutan “yang sangat” atas penurunan kepercayaan publik karena telah menaikkan harga BBM. Meskipun, itu dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun