Mohon tunggu...
Tomy Ishak
Tomy Ishak Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas,Pegiat Lingkar Studi Ilomata. Profil selengkapnya bisa dilihat di http://tomyishak.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Naikkan Harga BBM! Bukan Membatasi

8 Januari 2012   12:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:10 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lebih baik jujur

Menarik apa yang dikatakan Dr. Kurtubi beberapa waktu lalu di sebuah stasiun TV, bahwa pembatasan BBM bersubsidi untuk kenderaan pribadi plat hitam adalah tidak tepat, karena itu butuh pengawasan ekstra ketat. Meskipun telah menggunakan pengawasan dengan menempatkan polisi di masing-masing SPBU, tapi tetap saja, menurut Pak Kurtubi, hal itu “mustahil” mampu mereduksi penyelewengan.

Untuk soal yang sama, satu tahun lalu, dia pernah pula berucap bahwa pembatasan sama dengan menaikkan harga BBM secara terselubung. Hal ini rasional karena idiom “membatasi” dalam bahasa matematika ekonomi semester satu adalah meminimalkan supply yang sudah pasti akan menaikkan harga saat permintaan yang (anggaplah) tetap. Apakah kita tidak pernah belajar bagaimana kelangkaan premium pada waktu-waktu yang lalu telah menyebabkan kenaikan harga tak resmi alias “eceran” (jika tidak bisa dikatakan ilegal) rata-rata Rp 13.000 perliternya?

Sampai di sini, rasa-rasanya (elit) kita tidak pernah mau mengajarkan untuk sekadar berkata jujur dan lantang pada rakyatnya, “wahai rakyatku, karena alasan A, B, C, maka saya meminta pengorbanan dan pengertian kalian atas naiknya harga premium ini. Terimakasih”. Ini lebih genuine dan kesatria ketimbang mengajarkan rakyat kita untuk melakukan tindakan penyelewengan (mencuri, menimbun, dll).

Inflasi “politik

Sebagian ekonom berpandangan bahwa naikkan saja harga BBM premium untuk kenderaan pribadi plat hitam perlahan-lahan sampai batas garis subsidi sehingga akhirnya range-nya menjadi nol. Apa yang dimaksudkan oleh para ekonom itu sepertinya dapat dibaca sebagai upaya untuk meminimalkan efek domino dari kenaikan harga BBM atau yang sering kita dengar dengan istilah “bahaya inflasi” sehingga stabilitas harga-harga tetap terjaga.

Bahaya inflasi—yang menjadi ketakutan sebagian ekonom itu—dipandang sebagai sebuah keadaan naiknya harga-harga barang atau jasa secara umum dalam suatu skala ekonomi pada periode waktu tertentu. Sederhananya (bahasa awam) jika anda punya uang 10 perak yang mampu membeli 10 permen tahun lalu, jika telah terjadi inflasi sekitar 100% tahun ini maka jumlah uang itu hanya mampu membeli 5 permen. Artinya telah terjadi kenaikan harga 2 kali lipat dari sebelumnya, sekaligus berarti bahwa terjadi penurunan nilai dari mata uang kita.

Namun, rupa-rupanya, ketakutan elit kita tidak hanya sebatas itu. Ada ketakutan lain yang hampir mirip sehingga tidak secara gamblang bicara jujur pada rakyatnya. Ketakutan itu bernama “inflasi politik”. Logikanya sama, yaitu kenaikan biaya politik untuk mampu mempertahankan kekuasaan, atau dengan kata lain ketakutan “yang sangat” atas penurunan kepercayaan publik karena telah menaikkan harga BBM. Meskipun, itu dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun