Letakkan jari anda di atas keyboard, kemudian ketik kata “sandal” pada mesin pencari (google, yahoo, dll), maka paling tidak akan ditemukan dua berita—satu media nasional, satu media internasional—soal anak laki-laki, AAL, berumur 15 tahun yang menghadapi tuntutan hukuman lima tahun karena telah memungut “sandal” yang bukan miliknya.
Kejadian yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, ini telah menjadi pokok pemberitaan hampir di seluruh media mainstream nasional, baik cetak maupun elektronik. Yang lebih “heboh” lagi, kejadian itu telah menjadi berita headline pada beberapa media internasional. Sebut saja, misalnya, BBCnews, Dailynews, CBSnews, yang kemudian mencuplik kejadian “memalukan” itu dengan narasi yang hampir sama, bahwa kita (orang-orang Indonesia) telah menemukan satu simbol baru ketidakadilan: sandal.
Sandal dan ketidakadilan
Sandal yang dalam bahasa mereka disebut flip-flops itu adalah alas kaki yang harganya kurang dari 3 dollar. Barang murah dan dapat ditemukan pada setiap kebudayaan—paling terbelakang sekalipun—di dunia saat ini. Barang yang berkembang pesat di tangan Bangsa Romawi 600 SM, yang kemudian menjadi masif ketika para petani meninggalkan ladang mereka untuk bekerja di pabrik saat revolusi industri di Inggris, kini di Indonesia (kata mereka) tiba-tiba mewujud menjadi simbol baru ketidakadilan.
Di sinilah, rasa-rasanya, bahasa mereka terasa sangat mengiris nurani, dan menjadi tamparan hebat, bahwa sepertinya ketidakadilan di negeri ini sudah sedemikian masif, sistemik, sehingga benar-benar menjadi barang “obral” yang sudah selayaknya disimbolkan dengan produk-produk kebudayaan paling primitif sekalipun.
Betapa tidak, ketidakadilan makin mudah ditemukan di negeri ini. Di tengah-tengah deretan kasus korupsi—Bank Century; Nazarudin; Nunun yang pelupa—yang sampai detik ini belum mampu diputuskan satu-satu berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, justru negara menjadi kehilangan nurani dan perasaan, dengan bersikap seolah-olah “berat sebelah” serta menjelma menjadi “dewi keadilan” yang sepertinya sudah kehilangan “timbangan” rasionalitasnya yang seutuhnya.
Negara menjadi mudah kalap dan beringas pada soal-soal sepeleh—pencurian coklat, pisang, piring, sandal, dll—namun sebaliknya mudah kehilangan semangat saat dihadapkan dengan kasus-kasus korupsi besar yang sudah pasti merenggut masa depan kebahagiaan anak-anak bangsa, sebagaimana AAL di Palu itu. Telak sudah bahasa mereka, “it’s unfair that corrupt officials are treated leniently by the courts, while those without money or influence can receive severe sentences”, menghantam tepat di muka kita semua.
Logika (hukum) yang “bablas”
Sebagaimana yang diketahui telah terungkap sebuah fakta dipersidangan, bahwa sandal yang dipungut AAL bukanlah milik oknum polisi. Artinya, sandal itu adalah milik orang lain yang entah siapa. Fakta ini, kemudian, melahirkan perdebatan. Sebagian ahli hukum memandang bahwa sandal itu tidak berpunya, dan dapat dikategorikan sebagai barang temuan, bukan barang curian sebagaimana yang dituduhkan.
Yang menarik adalah pendapat seorang hakim “agung” pada sebuah stasiun TV atas penafsiran Pasal 362 KUHP tentang pencurian biasa. Sang Agung bersikukuh bahwa sandal itu tetap dapat dipandang sebagai barang curian dari pemilik yang bernama “orang lain”. Konsepsi kepemilikan “orang lain” inilah yang kemudian dapat dipakai sebagai justifikasi bahwa AAL tetap dapat dikatakan sebagai “pencuri” sehingga perlu dihadapkan pada tuntutan 5 tahun penjara, karena telah mengambil sebagian atau seluruh barang yang bukan haknya.
Jika memang harus mengikut logika yang agung itu, maka bagaimana kita menakar putusan kasus korupsi yang telah merugikan hak yang jelas-jelas bukan milik “orang lain”, tapi milik rakyat seperti AAL? Bagaimana putusan (hanya) 2 tahun yang dijatuhkan pada seorang koruptor dapat kita masukkan dalam logika sehat kita, sedang itu nyata-nyata telah menyebabkan kerugian miliyaran rupiah?